Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka berdua keluar dari kamar dengan barang bawaan yang cukup banyak. Padahal perjalanan ini hanya satu hari saja tapi mereka terlalu murka membawa barang-barang.
"Kalian ini, sudah datang terlambat dan membawa barang banyak sekali" Tegurnya saat melihat 2 koper besar seperti ingin ke luar negeri saja.
"Daddy, kita itu harus rapi dan membawa persiapan yang cukup banyak. Jadi sepatutnya kita harus sedia payung sebelum hujan"
"Betul sekali apa yang dibicarakan oleh kak Ana" Sambung El yang mengikuti gaya kakaknya.
Bela hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan kedua saudaranya itu. Sedangkan Bela hanya membawa satu ransel dan itupun kecil dan ringan karena hanya berisi baju sepasang saja.
"Sudah, sudah jangan ribut. Cepat kita akan segera berangkat" Bentakan itu membuat semuanya terdiam.
Di luar sudah tersedia mobil yang akan membawa mereka pergi. Ada 3 mobil disana, satu khusus untuk ayahnya Bela, selanjutnya untuk Ana dan El, dan terakhir mobil untuk Bela.
Pak Pras memang sengaja tidak menggabungkan Ana, El dan Bela dalam satu mobil. Karena mereka bertiga pasti akan ribut dan akan terjadi masalah sehingga membuat perjalanan menjadi tidak nyaman.
"Cepatlah masuk ke mobil kalian masing-masing" Perintahnya.
Ketiga anaknya segera masuk ke dalam mobil yng sudah di sediakan. Bela satu mobil dengan pak Taryo, sopir kesayangannya sekaligus teman bela di rumah ini. Mereka berdua sudah sangat akrab, ibarat ayah dan anaknya. Karena Bela hanya menganggap bi Siti dan pak Taryo saja sebagai keluarganya.
Dalam perjalanan netra Bela hanya mematap jalanan dengan terpukau, yang saat ini sedang diterpa gerimis. Otaknya lagi jauh berfikir tanpa banyak bicara. Pemandangan di luar sana menarik perhatiannya, karena dia sangat suka dengan pepohonan yang sangat rindang.
"Indah gak non bukitnya? "
"Indah sekali pak, aku baru sekali ini datang ke tempat yang indah"
Matanya terpesona dengan pemandangan di kiri kanannya yang menampilkan jajaran pohon yang kokoh. Seakan-akan Bela di sambut riang kedatangannya oleh para alam di sini. Gerimis juga semakin memberikan keindahan tersendiri yang sangat alami.
"Memangnya kita mau kemana sih pak? "
"Saya kurang tau non, katanya sih mau ke vila Tuan Pras yang ada di bukit sana"
"Hmmm"
Baru kali ini Bela tau jika ayahnya memiki vila yang ada di dekat pegunungan. Karena selama ini dia tidak pernah di ajak kemanapun saat ayahnya pergi, jangankan ke vila untuk membeli baju saja dia akan berangkat sendiri.
Hidupnya yang malang karena terasa asing di dalam keluarganya sendiri. Dia selalu mandiri semenjak mamanya pergi. Tidak ada yang diajak bicara, kecuali bi Siti dan pak Taryo atau hanya sahabatnya saja.
"Kok mobil ayah begitu cepat sih pak? " Keluh Bela saat melihat mobil ayahnya dan kedua saudaranya melaju dengan cepat. Sedangkan mobil Bela berada di belakang sendiri.
"Tidak apa-apa non, saya tau jalannya kok"
"Hmmm baiklah"
Jalan yang licin membuat pak Taryo memilih untuk melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Karna umurnya yang sudah setengah tua, dia hanya ingin berkendara dengan mementingkan keselamatannya.
Mata Bela kembali menatap pemandangan hijau yang sangat indah. Hatinya sangat senang, merasakan kesejukan dan kedamaian saat melihatnya. Seperti masuk ke suasana surga yang indah.
Saat mobil melaju dengan kecepatan sedang, Tiba-tiba muncul seseorang yang tidak tau darimana asalnya. Dia berada langsung ke tengah membuat pak Taryo terkejut dan membanting setir.
"Aaaaaaaaaa"
"Aaaaaaaaa"
*brak, brak, brak*
Kecelakaan tidak bisa di hindarkan. Mobil jatuh ke dalam jurang dan hanya ada sisa-sisa suara teriakan amatir dari pak Taryo dan Bela. Mobil semakin masuk ke dalam jurang yang dalam. Hingga suara mereka berdua tidak bisa di dengar kembali.
Sementara itu ayah Bela dan kedua saudaranya sudah sampai ke villa yang sangat mewah. Di depannya terdapat lapangan dengan rerumputan yang sangat luas. Apabila seseorng datang kesana maka dia akan terpaku menatapnya.
*drettt, drettt* (dering telepon)
"Halo, apa? Kecelakaan?" Wajah tuan Pras membeku saat mendengar kabar bahwa mobil yang ditumpangi oleh salah satu anaknya masuk ke dalam jurang.
"Siapa dad, siapa yang kecelakaan? " Ana terus bertanya-tanya tentang orang yang sedang kecelakaan itu.
Wajah tuan Pras begitu cemas. Dia langsung menyuruh kedua anaknya untuk diam di vila karena dia akan pergi ke tempat kejadian perkara.
Dengan melakukan kecepatan yang tinggi, mobil tuan Pras segera tiba di tempat kejadian itu. Matanyanya terpaku saat melihat pembatasan jalan sudah hancur dan hanya ada mobil yang masuk ke dalam jurang.
Bibirnya terdiam membisu seakan tidak percaya apa yang telah terjadi pada anak keduanya. Tidak habis pikir jika melihat pembatas jalan ajaa hancur lebur, mobil di bawah juga sama maka semua orang sudah pasrah dengan keadaan.
"Selamat siang Pak, apakah benar anda adalah bapak Pras? "
"Benar saya pak, bagaimana keadaan anak saya pak. Disana ada anak saya pak" Tangisnya sangat kencang melihat mobil sudah tidak ada rupa.
Mobil yang jatuh terlihat sangat ringsek saat dilihat jauh dari atas. Polisi juga kesulitan untuk mengevakuasi mobil dan korban. Semua yang ada di sana sudah berfikir bahwa Bela dan pak Taryo telah meninggal dalam kecelakaan itu.
*duarrrrrr* ledakan besar terdengar dari bawah jurang. Api besar melalap mobil yang ada di bawah.
"Bela" Teriakan pilu tuan Pras. Tubuhya terasa lemas memanggil salah satu anaknya.
"Cepat bantu dia, cepat tolong anakku. Jangan buang-buang waktu.... Bela.... Hiksss.... " Dia menangis sampai hampir pingsan. Teriakannya sangat lielrih penuh dengan kedukaan.
Semua orang terkejut melihatnya. Pikirnya mengarah pada hal buruk, sepertinya Bela meninggal dan tidak bisa selamat lagi. Apalagi tempatnya yang cukup curam membuat evakuasi mobil dan korban sangat sulit.
Saat tim penyelamat datang, mereka masih merasa kesulitan untuk turun ke bawah. Sedangkan api terus menyala besar-besaran. Melalap habis mobil itu seperti tersisa kerangkanya saja.
"Anakku Bela...., mengapa kamu meninggalkan ayah nak" Dia duduk bersimpuh di samping jalan dengan didampingi supir pribadinya serta bapak polisi yang mencoba menenangkan hatinya yang sedang kacau.
Dia tidka peduli tentang apapun, rasanya ingin loncat dan menolong anaknya. Matanya penuh dengan pilu, suaranya serak sampai tak tersisa karena terus memanggil nama Bela.
Ledakan kembali terdengar dengan keras. Semua netra menatapnya dengan runtuh, hatinya juga hancur seketika saat melihat seorang ayah yang baru saja kehilangan anaknya.
Tim penyelamat menemukan cara untuk turun tapi keadaan mobil yang terbakar tidak memungkinkan dia untuk mengevakuasi korban. Sedangkan pemadam kebakaran belum juga datang.
"Semua tim apakah kalian siap? "
"Siap komandan"
Satu per satu dari mereka turun dengan hati-hati karena api sudah padam. Sesampainya dibawah mereka terkejut karena mobil sudah menjadi kerangka dan semua isinya hangus terbakar.
Mereka hanya membawa barang-barang yang tersisa karena terlempar keluar dari mobil serta barang-barang yang masih bisa di selamatkan dari kebakaran tersebut.
Di Villa
"El kemarilah"
"Aduh kakak mengangguku bersantai saja" El kesal karena dia sedang istirahat dan Ana membangunkannya dengan wajah yang tidak biasa.
"Lihatlah di berita" Tangannya yang sibuk memegang ponsel kini gemetar. Menunjukkan berita yang sangat membuat dirinya tertegun. Bibirnya membisu tanpa bisa berkata apapun.
*Kecelakaan mobil menewaskan 2 korban*
"Bukankah itu mobil yang ditumpangi oleh kak bela? "
"Benar, sebentar aku akan menelpon daddy untuk mencari tau semuanya"
Ana menelpon daddynya dan benar saja dia terkejut bukan main saat mendengar kabar dari ponsel bahwa adiknya Bela telah tewas dalam kecelakaan mobil. Hal tersebut dikarenakan mobil terbakar membuat jasad Bela dan pak Taryo hangus terbakar tanpa sisa tulang belulang sedikitpun.
"Apa dad? dia meninggal? " tangannya gemetar selama tidak bisa melakukan apapun. Bibirnya terpaku tak bisa bersuara sekalipun setelah mendengar berita itu.
*brak*
"Kak bangun, kak Ana. Pak Supri tolong" Teriak El dari dalam kamar. Dirinya merasa ketakutan karena melihat kakaknya tergeletak pingsan.
Pak Supri segera masuk dan membantu mengangkat Ana ke atas kasur. El terus mencoba membangunkan kakaknya itu dengan memberikan beberapa pijatan serta minyak angin agar dia segera siuman.
"Kak bangunlah, jangan seperti ini karena aku takut" El merengek sambil menggoyangkan tubuh Ana agar dia segera bangun.
Beberapa menit kemudian Ana bangun dan menangis begitu keras. dirinya merasa terpukul saat mendengar adiknya yang bernama bela sudah meninggal.
Doa masih tidak percaya dengan hal itu, tapi kenyataan sudah tidak bisa di rubah bahwa Bela benar-benar meninggal. Rasanya hari itu sangat runtuh bagi Ana yang hanya bisa mengingat kenangan masa kecilnya bersama Bela.
"Kenapa terjadi padanya El, aku memang benci dan ingin menyingkirkan Bela tapi bukan berarti dia harus mati seperti ini"
"Hikssss, hikssss, hikssss" Ana dan El menangis dengan rasa yang teramat dalam. Dirinya sangat sedih saat mendengar salah satu saudaranya telah tiada.
Tangisan terus menggema tiada henti, entah karena merasa kehilangan, entah penyesalan, atau ada hal yang lain yang memasuki pikiran Ana saat itu.
"Permisi non, bapak memberitahukan bahwa kita harus segara pulang" Dengan berat hati Ana dan El harus pulang ke rumah untuk melakukan upacara kematian saudaranya.
Sementara tuan Pras sudah ada di rumah dengan membawa genggaman gelang yang biasa Bela pakai. Entah bagaimana caranya gelang itu bisa lolos dari kebakaran sedangkan orangnya tidak.
Wajah sayu menatap kekosongan dengan segala kehidupannya. Sekali lagi rasa hampa hadir dalam kehidupan mereka atas kematian Bela yang tidak pernah diduga.
"Wiliam, cepat siapkan upacara pemakaman anakku" Suaranya lirih menyuruh asistennya, tangannya terus memutar gelang dengan tatapan pilu. Banyak luka yang dia sesali di benaknya.
"Tuan, apakah benar non Bela dan pak Taryo sudah tiada? " Bi Siti yang mendengar Samar-samar tentang berita ini keluar dari dapur. Menanyakan langusung pada Tuannya untuk memastikan bahwa itu berita bohong.
"Benar bi, Bela sudah tiada. Hiksss.... Hikss... " Tangisnya pecah kembali saat dia berbicara tentang Bela.
Bi Siti yang mendengar hal tersebut merasakan bahwa hatinya sangat hancur. Kakinya lemas seketika tidak bisa berdiri sehingga dia dibantu oleh beberapa pembantu rumah tangga lainnya untuk di bawa ke kamar bi Siti.
"Kenapa non Bela meninggalkan saya" Tangisnya meraung saat dia sendiri di dalam kamar. Bi Siti sudah menganggap Bela sebagai anaknya sendiri karena sejak kecil dialah yang merawat Bela sehingga ikatan mereka berdua terasa sangat erat.
Semua orang sibuk mempersiapkan pemakaman terakhir Bela dan pak Taryo walaupun yang dibawa pulang hanya sisa abu mereka. Kerabat dekat ataupun kerabat jauh mulai berdatangan. Karangan bunga ucapan belasungkawa memenuhi halaman rumah.
"Daddy"
"Daddy" Ana dan El sudah datang, mereka berdua menangis dalam Duka yang mendalam. Hati mereka hancur seketika di hari itu juga.
Sedangkan tuan Pras masih terdiam mematung dengan tatapan kosong. Duduk di sofa yang besar, tempat biasa dia bersantai tapi kini penuh dengan renungan. Semua orang yang datang menatap ibah seorang ayah yang berpenampilan sangat menyedihkan.
Apalagi saat masuk dalam berita, terlihat Tuan Pras sangat terpuruk karena dirinya duduk bersimpuh di atas aspal sambil menjerit nama putrinya yang telah tiada di dalam jurang.
"Bersiaplah untuk pemakaman saudara kalian. Daddy hanya bisa membawa abu mereka, karena jasadnya telah hangus" Ucapnya sambil mengelus lembut rambut Ana dan El yang duduk bersimpuh di masing-masing kaki tuan Pras.
Membutuhkan 1 jam lebih persiapan pemakaman Bela sudah disiapkan. Anggaplah ini pemakaman tentang pembakaran mayat, karena jasadnya telah menjadi abu.
Pemakan dilakukan dengan dipimpin oleh pemuka agama mereka yang sudah dipercaya. Jerit tangis menghiasi seluruh rumah. Bela yang malang tidak akan pernah kembali lagi.
"Malang nasibmu Bela, kemana lagi aku harus mencari sahabat terbaik sepertimu" Hati Roy sangat tak kuasa menahan pedihnya duka yang Bela berikan. Di benaknya masih terbayang senyum Bela saat masih bersamanya.
Dia duduk di pojokan sambil termenung pilu
Pikirannya kacau saat melihat satu-satunya sahabat yang dia sayang kini telah tiada. Air matanya tidak berhenti mengalir deras dari kelopak matanya.
Roy memang lelaki, tapi apakah lelaki tidak boleh menangis. Tentu lelaki boleh menangis sekeraa apapun saat dia dirundung pilu. Dan kali ini Roy melakukannya, tangisan yang sangat penuh arti dari beberapa kisah yang pernah mereka ukir.
"Baiklah tuan, sekarang anda bisa mengalirkan abu ini ke lautan" Perintah pemuka agama.
Tuan Pras menguatkan diri untuk membuang kenangan anaknya untuk terakhir kalinya. Ana dan El jiga ikut beserta beberapa rombongan yang juga ingin mengantarkan Ana ke tempat istirahat terakhirnya.
"Selamat jalan Bela, aku menyayangimu"
"Selamat jalan kak, aku akan selalu membuat rumah ini tersenyum kembali. Mendengar perkataan tersebut, tatapan tuan Pras semakin tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments