Rinjani terbangun begitu ia merasa ada yang menepuk pelan pipinya. Nampaklah sosok Dave yang duduk tak jauh darinya. Terkadang wanita itu masih suka lupa jika ia sudah bersuami.
"Makan siang di sini apa di bawah?"
"Makan siang? Apakah selama itu aku tidur?" Rinjani berusaha untuk duduk.
"Iya, sengaja aku biarkan. Aku bangunin kamu sekalian sama pamit keluar ke kantor sebentar, ya. Ada sesuatu yang harus aku urus. Nggak lama kok, sebelum jam empat sore aku balik. Jangan lupa siapin baju buat kita liburan."
Rinjani hanya mengangguk tersenyum. Ia baru ingat jika dirinya dan Dave nanti sore akan berlibur ke suatu tempat.
Dave mengecup singkat bibir istrinya sebelum bertemu dengan seseorang, bukan ke kantor. Kantor hanyalah kata yang ia jadikan alasan untuk menemui seseorang yang menemaninya dari ia kecil.
Sambil berjalan Dave mengetik-ngetik ponselnya. Tak berselang lama, "Halo, tunggu aku di markas! Aku sedang dalam perjalanan ke sana."
Kembali lagi pada Rinjani, setelah kepergian suaminya, ia beranjak dari ranjang. Baru saja selangkah berjalan, langkahnya sudah dihentikan oleh dering ponselnya.
"Email lagi?" gumamnya melipat keningnya.
[Tetap hati-hati dan jangan terkecoh dengan kebaikan Dave. Percayalah padaku, dia tidak sebaik yang kau kira]
Hati Rinjani ingin membalasnya, namun jika dipikir-pikir tak ada gunanya juga ia membalas, ia tak mau membuat orang yang berada di seberang sana merasa senang karena keisengannya di ladeni olehnya.
Rinjani kembali meletakkan ponselnya di laci dan berjalan ke luar kamar. Ingin berusaha untuk melupakan pesannya tadi, namun tak bisa dipungkiri, Rinjani tipe orang yang memikirkan hal yang tidak penting sekalipun, apalagi kini ia merasa terganggu dengan adanya pesan tersebut.
Rinjani yang berjalan melamun hampir saja tersungkur di akhir anak tangga. Untunglah Bu Niken menyadari bahwa sejak tadi Rinjani berjalan dengan melamun dan menyusul sang anak.
"Astaga, Rin. Kamu kenapa? Ibu perhatikan jalan sambil ngelamun."
"Ha? Nggak, Bu. Nggak apa-apa."
"Apa kamu masih memikirkan siapa yang telpon tadi? Memang yang telpon siapa, sih, Rin?" Bu Niken bertanya seraya menuntun anaknya ke meja makan.
"Aku nggak tahu siapa yang telepon, Bu. Yang telpon tadi tuh cuman bilang, aku suruh hati-hati sama Mas Dave. Aku nggak tahu maksudnya dia ngomong itu apa. Sebelum ada telpon tadi pagi itu, aku juga dapat email dari orang. Aku nggak tahu siapa yang ngirim email itu, karena username nya huruf acak. Yang ngirim email juga nulis pesan yang sama. Suruh hati-hati sama Mas Dave."
"Hanya iseng, jangan dipikirkan!"
Rinjani pun ingin berpikir seperti itu, 'hanya iseng', tapi bagaimana dengan hal lain yang tidak bisa dilupakan bahwa yang mengetahui email itu hanya dirinya dan Raga?
°°°
Setelah beberapa saat berkendara, Dave sampai di sebuah gedung tua yang sudah lama kosong. Gedung tersebut terletak jauh dari keramaian kota. Entah bekas apa tempat itu, Dave tak tahu dan tak mau tahu. Tapi yang jelas, ia menemukan gedung terbengkalai itu dari beberapa tahun yang lalu dan sekarang ia gunakan gedung itu untuk markas pertemuannya dengan sahabat sang Paman yang sudah dari kecil bersamanya.
Dave berjalan masuk menuju gedung melalui semak-semak yang cukup panjang, hingga akhirnya perjalanan itu membawanya sampai ke dalam gedung.
Dave berjalan sedikit masuk ke dalam hingga ia menemukan tiga lantai dengan warna yang berbeda dari teman-temannya. Ia menginjak ketiga lantai tesebut dan tiba-tiba saja lantai dengan warna berbeda itu terbuka setelah diinjak. Ia membawa tubuhnya masuk ke dalam dan luar biasa, ruangan bawah tanah itu nampak terawat dan rapi meski lembab dan terasa hawa yang berbeda dari ruangan pada umumnya.
Dave duduk di salah satu sudut ruangan dengan meja panjang di depannya. Di sisi yang lain sudah ada seorang pria yang diperkirakan berusia di atas lima puluh tahun, berpakaian rapi, nampak berwibawa dan terlihat cukup jahat jika dilihat dari wajahnya.
"Aku mau kau lakukan aksi di rumah nanti malam. Aku akan beberapa hari di luar, kau bisa lakukan apa pun yang kau mau baik di rumah atau kantornya. Kau boleh melakukan apa pun, tapi pastikan semua rapi dan ada perkembangan dalam tindakan mu. Pastikan aku kembali nanti, akan ada efek yang aku lihat dari apa yang kau lakukan. Sekarang tunjukkan padaku apa yang sudah kau lakukan!"
Pria itu lalu beranjak dari duduknya dan mengambil sebuah laptop. Ia meletakkan benda itu ke meja dan membukanya.
"Saya sudah meletakkan alat penyadap suara dengan dilengkapi kamera kecil di alat itu. Kita bisa memantau Pak Surya dengan alat itu dan sudah saya hubungkan di sini." Pria itu menunjukkan aktivitas Pak Surya selama di ruangan.
Melihat kinerja dari sahabat sang Paman ini membuat Dave menyunggingkan senyum tipis. Ia nampak manis dengan sedikit lesung pipi yang menghiasi kedua pipinya, namun sayangnya kemanisan itu ditutup oleh aura yang kurang bagus yang terpancar dari wajah Dave.
"Kau hanya meletakkan ini di ruangannya?"
"Iya, Tuan. Saya berpikir jika Pak Surya pasti akan melakukan apa pun di ruangannya. Ini rahasia yang sudah terkubur belasan tahun, jadi saya rasa dia akan menunjukkan wujud aslinya hanya di ruangannya dan tidak ditunjukkan di mata orang lain."
"Bagus! Terus awasi jangan sampai lengah dan jangan biarkan dia tenang. Jika dia terlihat tenang, kau harus menggangunya."
Tak berselang lama datang seorang pemuda dengan serangan SMA nya. Ia mendudukkan diri samping Dave dan menyandarkan kepalanya di kepala sofa. Ia nampak lelah, hal itu terlihat dari wajahnya.
Tak berselang lama dari ia duduk, ia merogoh tasnya dan mengambil satu bungkus rokok, mengambilnya satu batang dan mulai menyalakan korek untuk membakar benda panjang itu. Belum sempat ia membakar rokoknya, benda itu sudah diambil oleh Dave lalu dibuangnya.
"Jangan terlalu sering menghisap benda ini, kau masih muda, tidak baik untukmu. Kau pernah bilang padaku kau ingin menikmati penderitaan seseorang, aku sedang dalam proses itu dan kau malah mencoba untuk membunuh dirimu sendiri."
"Kak, kenapa kau tidak bunuh saja dia? Lebih cepat dia ke neraka pasti akan jauh lebih baik. Aku tidak perlu berlama-lama melihat dia dengan keluarganya bahagia seperti itu."
"Terlalu cepat membuat dia mati, maka akan semakin cepat selesai penderitaannya. Dan aku tidak mau dia mati dengan mudah."
Dave selalu merubah raut wajah yang begitu menakutkan saat membahas seseorang yang membuatnya kehilangan seluruh keluarganya dalam satu waktu. Emosi dan rasa sakit saat ia masih berusia sepuluh tahun masih ada hingga kini, rasa sakit dan luka yang tidak pernah akan sembuh bahkan jika ia berhasil membuat seseorang yang membuatnya seperti ini mati sekalipun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments