"Ini, Rin. Minum dulu!" Bu Niken menyuapkan satu gelas ke arah bibir sang anak yang masih terduduk di pelukan suaminya.
Rinjani sedikit tenang setelah meneguk beberapa tegukan air putih. Nafas dan emosinya sudah bisa kembali normal, tidak se paranoid tadi.
"Tadi ngomong apa yang telepon sama kamu? Pas Ayah bicara nggak ada suaranya soalnya, kayaknya udah ditutup setelah kamu teriak tadi."
Rinjani masih menjawab dengan gelengan kepala, nampaknya ia masih belum sepenuhnya sembuh dari sakit yang pernah ia alami sebelum menikah.
"Ayah, sepertinya Rinjani belum bisa ditanya banyak. Lebih baik aku bawa ke kamar untuk istirahat, ya. ini sangat tidak baik untuk psikisnya. Dia baru saja sembuh."
"Iya-iya, bawa saja. Bawa saja istrimu istirahat di kamar."
Dave akhirnya kembali ke lantai dua untuk menenangkan istrinya. Ia masih nampak syok meski emosinya sudah stabil dan jauh lebih baik.
Sementara Rinjani, kata demi kata yang ia dengar barusan masih saja terngiang di telinganya. Pesan email dan penelepon membicarakan hal yang sama. Apakah mereka orang yang sama juga?
Untuk yang kesekian kalinya, Rinjani kembali menatap wajah suaminya. Bagaimana bisa ia diteror dengan ucapan yang sama? Kenapa ia harus hati-hati dengan suaminya sendiri? Bagaimana bisa ada yang menilainya jahat ketika ia saja ditemani selama lima tahun terakhir meski dalam kondisi yang berantakan dan dalam titik hidup yang paling bawah.
Kenapa? Nggak mungkin, suamiku nggak jahat, kenapa aku harus hati-hati? Dia satu-satunya laki-laki yang ada di samping aku. Dia hanya orang iseng.
"Jangan dipikirkan apa yang kamu dengar tadi, ya. Apa pun yang tadi dia ucapkan, itu tidak benar. Jangan dipikirkan, itu akan mengganggu pikiranmu. Alangkah lebih baik kalau kamu minum obat ini lagi, ya. Untuk hari ini aja, biar kamu bisa istirahat dan menenangkan diri." Dave mengambil botol obat yang biasa diminum Rinjani saat dirinya merasa gelisah.
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, pria itu memberikan sentuhan di puncak kepala istrinya agar wanita itu bisa tidur dengan cepat.
Akhirnya tidur juga.
Dave beranjak dari tempat tidur dengan pelan agar tak menimbulkan suara. Ia melangkah ke balkon untuk menelepon seseorang. Rasanya ia sudah tak tahan untuk maki seseorang.
"Kau bodoh, udah nggak punya otak atau bagaimana? Aku sudah berkali-kali mengatakan untuk telepon dan teror Surya di telepon pribadinya, bukan melalui telepon rumah. Tidak bisakah kau diajak bicara memakai bahasa manusia?"
"Maaf, Tuan. Tapi saya belum bicara apa pun, saya juga belum melakukan apa pun. Jangankan menelepon rumah Pak Surya, nomornya saja saya tidak tahu. Bagaimana bisa saya menelpon ke rumahnya?"
Mendengar penuturan dari antek-anteknya tentu saja Dave terkejut, "Apa? Kau belum melalukan apa pun? Apa kau yakin? Tadi ada seseorang menelepon di telepon rumah, kau yakin kau tidak melakukannya? Kau jangan berbohong padaku!"
"Sangat yakin, Tuan. Saya belum merencanakan apa pun untuk menghubungi Pak Surya. Tapi jika untuk yang lain, saya sudah melakukannya."
"Kalau begitu pikirkan dan laksanakan mulai dari sekarang! Aku tidak suka sesuatu yang diulur-ulur."
Dave memutus sambungan telepon secara sepihak. Ia mulai berpikir keras, lalu siapa yang menelepon telepon rumah tadi kalau bukan antek-anteknya? Apakah Pak Surya memiliki masalah juga dengan orang lain selain dirinya? Kalau memang, iya, kenapa harus caranya sama dengan dirinya? Meneror ... Bukankah masih banyak cara untuk melakukan sebuah kejahatan?
°°°
Pak Surya baru saja menginjakkan kakinya di teras ketika ponselnya berdering. Dahi pria itu berkerut ketika melihat layar ponselnya. Nomor yang tidak dikenal sedang berusaha ingin berbicara dengannya. Sembari melanjutkan langkah, beliau menggeser tombol hijau untuk menghentikan bunyi di gawainya.
"Halo, selamat pagi," sapa pria itu ramah.
"Surya, apa kabar? Masih ingat denganku?" Seseorang di seberang sana bicara dengan nada berbisik, namun masih terdengar dengan jelas.
"Aku tidak akan tahu kau siapa kalau kau tidak menyebutkan nama."
"Aku adalah mantan pegawaimu yang sudah berusaha kau lenyapkan hanya karena sebuah rahasia."
Langkah Pak Surya yang tadinya terus berjalan, seketika terhenti tepat di depan lift.
"Hahaha. Apa kau berusaha untuk menipuku? Dia sudah lama mati. Katakan apa yang kau inginkan dariku! Jangan bertele-tele."
"Siapa bilang dia mati? Kau hanya berhasil membuat dia tidak bernapas untuk beberapa menit saja. Setelah itu kau tinggal dia, kan? Apa kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku rasa tidak. Jadi apa yang membuatmu sangat percaya bahwa kau telah benar-benar membunuhnya? Nyatanya dia masih bisa menghubungimu sekarang."
"Apa kau pikir kau bisa menipuku? Buang jauh-jauh pikiranmu itu! Dasar bodoh!"
Pak Surya dengan tak sabar memutuskan sambungan teleponnya. Beliau merasa ini hanya orang iseng yang memang sengaja mengganggunya. Beliau sudah sangat yakin apa yang dilakukan belasan tahun yang lalu sudah aman dan terkubur dalam. Bagaimana bisa tiba-tiba ada yang datang dengan mengakui sebagai orang yang sudah beliau lenyapkan? Itu adanya hal yang mustahil.
Beberapa saat kemudian, Pak Surya sampai di ruangan kebesarannya. Beliau meletakkan tas di meja dan menyeruput kopinya sedikit dan ... Tunggu, apa ini? Sebuah amplop?
Ada sebuah amplop yang tertindih oleh piring kecil sebagai alas cangkir yang berisi kopi. Beliau ambil amplop tersebut dan membukanya. Begitu tahu isi amplop tersebut, beliau langsung membuangnya ke sembarang arah.
Isi di amplop itu sangat mengejutkan Pak Surya. Saking terkejutnya, beliau sampai sedikit tertegun dan sedikit ngos-ngosan.
"Siapa yang berani mempermainkan ini?"
Tangan beliau seketika menekan telepon kabel yang berada di meja dan meminta seseorang untuk mengecek CCTV pada hari ini sebelum beliau sampai di kantor.
Tangan Pak Surya menunggu dengan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Beliau menunggu dengan gusar dan menunggu dengan sedikit emosi yang sudah mulai muncul. Bagaimana bisa beliau kecolongan seperti ini? Dengan mudahnya ada orang lain yang masuk ke ruangannya sebelum dirinya.
Tak berselang lama, terdengar pintu yang diketuk. Pintu terayun ke dalam setelah beliau meminta orang tersebut masuk.
"Maaf sekali, Pak. Seluruh CCTV di kantor kita mati setelah subuh tadi dan baru menunjukkan aktivitas setelah Bapak sampai di kantor. Saya sudah cek seluruh CCTV, tidak ada satu pun yang aktif sebelum Bapak tiba di kantor?"
"Kau yakin?"
Pak Surya semakin gusar. Jika memang orang yang melakukan ini adalah orang iseng, bagaimana bisa ia bekerja dengan begitu rapi? Pak Surya mau tak mau mulai memikirkan siapa orang ini.
"Ya sudah, kau kembali!"
Pria yang sudah memiliki uban itu akhirnya kembali mengotak-atik ponselnya. Mencari nomor yang tadi sempat menghubunginya, entah kenapa beliau merasa bahwa orang yang meneleponnya barusan adalah orang yang sama dengan tersangka pengiriman foto ini.
"Sialan, nomornya sudah tidak aktif."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments