2. Teror

Rinjani sedikit terkejut saat bangun tidur terdapat sosok Dave yang berbaring di depannya dan menatap dirinya dengan penuh senyuman, seakan menggambarkan cinta tersorot dari pancaran bibirnya yang melengkung.

"Kenapa kamu lihat aku begitu? Apa aku terlihat jelek saat bangun tidur?" tanya Rinjani dengan suara serak khas bangun tidur.

"Justru kamu sangat cantik. Sepertinya langit sedang kehilangan satu bidadarinya."

Gombalan dari Dave mampu membuat wajah Rinjani seketika memerah menahan malu. Namun, hal itu justru membuat Dave semakin terlihat gemas pada wanita yang baru saja menyandang status sebagai istrinya.

"Aku mandi dulu, aku akan siapkan makanan untuk kita."

"Kan ada Bibi."

"Kamu nggak mau merasakan masakan aku?"

"Ya udah mau."

Jawaban dari Dave membuat Rinjani beranjak dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Seperti wanita pada umumnya, mereka akan menghabiskan waktu selama lima sampai sepuluh menit berada di sana, entah apa yang mereka lakukan hanya mereka yang tahu.

"Buruan mandi, Mas!" titah Rinjani duduk di meja rias.

Sedang asyik berkutat dengan make up. Ponsel Rinjani yang jarang ia gunakan bergetar pendek. Dengan segera ia mengecek apakah ada pesan yang masuk atau

"Email?" gumam Rinjani lirih seraya  mengerutkan kening.

[Hati-hati dengan suamimu, Rinjani!]

Rinjani membaca pesan yang tertera di emailnya tersebut. Ia semakin dibuat bingung. Ia tak tahu siapa yang mengirim pesan tesebut, karena pemilik email memakai nama yang aneh dan tak terbaca, seperti huruf yang diketik asal.

Bukan itu yang Rinjani herankan. Tapi hal lain, yakni tak ada satu pun yang tahu alamat email Rinjani ini selain dirinya dan juga Raga, calon suami Rinjani yang tewas. Lalu siapa yang mengirim email begitu padanya, jika salah satu orang yang tahu email rahasia Rinjani hanyalah Raga? Bukankah Raga sudah meninggal?

"Hayo, ngelamunin apa istriku ini?"

Saking fokusnya dengan email yang baru saja ia baca, Rinjani tak sadar bahwa Dave sudah keluar dari kamar mandi. Saking terkejutnya, Rinjani sampai melempar ponselnya ke lantai.

"Ada apa sayang?"

"Astaga, Mas. Kamu bikin aku kaget, hape aku sampai ke lempar." Rinjani berdiri dan memungut ponselnya yang tergeletak tak jauh darinya.

"Lagian kamu ngelamunin apa, sih? Masa aku keluar dari kamar mandi kamu nggak tahu, ada apa? Apa ada sesuatu terjadi?"

"Nggak ada kok, Mas. Ada pesan masuk dari nomor nggak dikenal aja tadi, iseng aja mungkin. Ya udah kita turun, yuk!"

Sepasang pengantin baru itu berjalan menuju meja makan dengan tangan yang saling bertautan. Begitu sampai di meja makan nampak meja makan tersebut sudah penuh dengan makanan. Gagal sudah rencana Rinjani untuk memasak makanan untuk suaminya itu.

"Ternyata kita terlambat bangun, Mas. Semua makanan sudah siap, itu artinya kamu harus menunda dulu keinginanmu untuk makan makanan aku," bisik Rinjani di telinga suaminya.

"Emang aku tadi bilang mau makan makanan kamu? Kamu sendiri yang bilang tadi mau masak buat aku, bukan aku yang minta."

Rinjani hanya terkekeh mendengar jawaban suaminya. Lalu ia menggeret pria itu untuk berjalan lebih cepat agar cepat sampai di meja makan, karena sejak tadi perutnya sudah meronta-rota ingin diberi asupan.

"Eh kalian udah bangun, makan dulu, yuk!" Ajak Bu Niken pada Rinjani dan menantunya.

"Selamat pagi, apakah Ayah terlambat untuk makan pagi hari ini?" tanya Pak Surya dengan nada suara yang gembira dan juga setengah berteriak.

"Tidak Ayah, Ayah tidak terlambat untuk makan pagi hari ini, hanya saja Ayah terlambat mengetahui kenyataan."

Semua orang yang berada di meja makan tentu saja mengarahkan pandangan pada Dave. Seakan mereka memberikan tatapan yang sama, tatapan penuh dengan permintaan penjelasan untuk maksud dari apa yang ia ucapkan barusan.

"Kenapa kalian semua menatapku begitu? aku hanya bercanda, maksud aku katakan Ayah terlambat mengetahui kenyataan adalah Ayah terlambat mengetahui kalau Rinjani sebenarnya ingin membuat sarapan untukku dan ternyata begitu sampai di bawah, kita sudah melihat meja makan penuh dengan makanan, itu saja." Sadar diperhatikan membuat Dave berkilah dengan cepat.

"Oalah kirain apa Dave, bikin Ibu kaget aja kamu."

Terlambat mengetahui kenyataan soal menantumu.

Dave memberi tatapan yang tak biasa pada kedua mertuanya.

Di tengah makannya, jujur saya Rinjani tidak bisa lupa dengan kalimat pesan email yang baru jadi dibaca olehnya. Untuk sejenak ia menatap laki-laki yang duduk di sampingnya, yang tengah menikmati makan paginya dengan nikmat. Ia meneliti setiap inci wajah pria itu, tidak ada yang aneh. Ia adalah Dave, laki-laki yang ia kenal jauh sebelum ia mengenal Raga. Tidak ada yang lebih tahu siapa suaminya sekarang, kecuali dirinya sendiri, karena memang mereka sudah bersahabat dari lama.

Semua orang menatap ke tempat yang sama ketika dering telepon rumah berbunyi sepagi ini. Dengan sigap asisten rumah tangga yang tak jauh dari meja makan segera menghampiri telepon itu dan mengangkatnya.

"Halo selamat pagi dengan keluarga Pak Surya Abdi. Ada yang bisa saya bantu?"

"Halo, halo selamat pagi. Halo."

Ucapan dari Bibi yang sejak tadi nampak tak dijawab oleh penelepon tentu saja membuat semua orang yang berada di meja makan menoleh ke arahnya.

"Dari siapa Bi?"

"Nggak tahu, Non. Dari tadi Bibi sapa tapi nggak ada yang jawab."

"Mungkin orang iseng, biarkan saja!" sahut Pak Surya.

Tak berselang lama, telepon kembali berdering. Kali ini Rinjani berinisiatif untuk menjawab teleponnya. Entah kenapa rasanya ingin sekali dirinya memaki jika memang kali ini yang menelepon adalah orang iseng. Bukankah ini masih terlalu pagi untuk iseng pada seseorang?

"Halo."

"Hati-hati dengan suamimu!"

Rinjani terdiam di tempat, nafasnya seakan terhenti. Mendengar kata-kata dari seberang sana membuat ia teringat pada pesan email yang baru beberapa detik yang lalu mencoba untuk ia lupakan.

Suara yang ia dengar adalah seperti suara laki-laki, namun entah bagaimana ceritanya suara itu terdengar sangat berat dan seperti dibuat-buat. Seperti suara samaran agar tak terdengar suara aslinya.

"Siapa kamu?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, berhati-hatilah pada suamimu!"

Tuuuut tuuuut

"Halo, siapa kamu. Kenapa kamu sangat menganggu?" Rinjani berteriak dengan keras dan nafas yang sudah tak teratur. Nafasnya tersengal-sengal seperti habis berlarian dengan jarak jauh.

Semua orang berhamburan menghampiri Rinjani. Nampak wajah panik dari ketiga orang yang berada di sana.

"Kamu kenapa, Sayang? Siapa yang nelpon?" 

"Jangan ganggu aku. Jangan ganggu!" teriak Rinjani sekali lagi.

Pak Surya seketika mengambil telepon kabel yang sudah tergelak. Beliau mencoba bicara di sana, namun sama sekali tak terdengar sahutan dari seberang.

"Ssst. Nggak ada yang ganggu, Sayang. Nggak ada. Tenang, kamu tenang, ada aku di sini. Nggak akan ada yang ganggu." Dave mendekap kepala Rinjani dan mengelusnya dengan lembut.

Dasar bodoh, kenapa mereka malah neror menggunakan telepon rumah?

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!