Milly duduk di kursi dengan tidak tenang. Apalagi setelah kejadian yang baru saja dia alami. Dimana, Yaya melihat dirinya sedang bercumbu bersama lelaki yang sangat Yaya kenal.
"Elo kenapa?" tanya rekan kerjanya, melihat Milly duduk dengan raut wajah gelisah.
"Gue." Milly menunjuk ke arah wajahnya sendiri. "Gue kenapa?" tanya Milly, seolah dirinya baik-baik saja.
"Aneh." cicit rekan kerja Milly. Ditanya malah balik tanya. Mana lagi pertanyaannya aneh.
Yaya kembali ke ruang kerja. Tanpa menatap ke arah Milly, Yaya langsung duduk di kursi.
"Ehh,,, kuda nil, elo kencing apa ngisi galon. Lama banget." celetuk rekan kerja Yaya.
Yaya hanya mendengarkannya, tanpa berniat untuk menimpalinya. Bagi Yaya, hal itu merupakan hal yang sudah biasa bagi Yaya.
Meski perasaan Yaya terluka. Tapi Yaya sebisa mungkin tetap diam. Beranggapan semua yang diucapkan mereka semua hanya angin lalu.
Ting...
Ponsel Yaya di atas meja menyala. Di sela-sela pekerjaannya, Yaya menyempatkan diri untuk melihatnya.
Dada Yaya berdetak kencang, melihat siapa yang mengiriminya pesan tertulis. Milly.
Dengan tangan berkeringat dan sedikit bergetar, Yaya membuka pesan yang dikirim oleh Milly.
Milly meminta untuk Yaya menemui dirinya di roof top paling atas di gedung setelah jam pulang kerja.
Yaya meremas ponselnya. Tentu saja Yaya takut. Untuk apa Milly mengajaknya untuk bertemu. "Aku temui atau tidak ya." batin Yaya.
Ting.... kembali ponsel Yaya berbunyi.
"Hey, kuda nil. Matikan ponsel kamu. Berisik. Menganggu tahu." tegur rekan kerjanya dengan cara kasar.
"Lagian elo main ponsel terus. Kerja woeeey... Mau elo dipecat." seru rekan kerjanya yang lain.
Miko hanya mendengarkan celotehan tak berguna mereka tanpa ikut menimpali. Entah apa yang Miko pendam dalam hatinya. Sama seperti mereka yang tidak menyukai Yaya, atau malah sebaliknya.
Sebenarnya, hanya sekali ini saja ponsel Yaya berbunyi selama dia bekerja. Dan selama bekerja, Yaya sama sekali tidak pernah memainkan ponsel.
Malahan, mereka semua yang bermain ponsel di saat bekerja. Bahkan, mereka dengan mudah dan seenak jidatnya melemparkan pekerjaan mereka untuk dikerjakan oleh Yaya. Sementara mereka bersantai, memainkan jari jemari mereka di layar ponsel.
Yaya segera mengecilkan volume suara di ponselnya. Agar tidak mengganggu rekan kerjanya yang lain.
Yaya mengusap keringat dingin di dahinya. Dia membaca pesan yang di kirim oleh Milly padanya. Milly mengancam Yaya, jika Yaya tidak datang, Milly tidak akan segan-segan mengusik kehidupan Yaya, beserta kedua orang tuanya.
Yaya sangat menyesal, kenapa dia harus pergi ke kamar mandi. "Kenapa harus aku yang melihatnya." lirih Yaya menyesal.
Yaya hanya bisa menghela nafas panjang beberapa kali. Mencoba menyakinkan dirinya. Jika semuanya baik-baik saja.
"Oke Yaya, temui Milly. Yakinkan dia, jika kamu bisa menjaga mulutmu. Katakan pada Milly, jika kamu akan menjaga rahasianya. Dan semua akan baik-baik saja."
Dari kursinya, Milly memandang tajam ke arah Yaya dengan tatapan sinis. Tangan kanannya mencengkeram dengan erat pena yang dia pegang.
"Dia terlalu berbahaya. Sebaiknya gue pastikan, jika Yaya akan menutup mulutnya." batin Milly.
Tentu saja Milly tidak ingin apa yang dilihat Yaya sampai diketahui oleh orang lain. Yang artinya, Milly akan kehilangan ATM berjalan yang selama ini menanggung dan mencukupi semua kehidupan mewahnya.
Meski itu semua Milly dapatkan dengan cara yang sangat menjijikkan. Yakni memuaskan lelaki tersebut di atas ranjang. Yang artinya, Milly menjadi simpan dari lelaki yang sudah beristri tersebut.
Tanpa Milly sadari, Miko melihat bagaimana dirinya menatap tajam ke arah Yaya. Juga dengan Yaya yang terlihat seperti ketakutan dan juga tertekan.
Miko menggelengkan kepalanya dengan pelan. Mengenyahkan segala pikiran yang mengganggu dirinya untuk bekerja. Segera dia melanjutkan pekerjaannya yang masih bertumpuk dengan sangat banyak.
Beberapa jam kemudian, jam pulang tiba. Semua karyawan bersiap untuk pulang. Begitu juga dengan Yaya.
Milly berdiri lebih dulu. Tangannya meletakkan gumpalan kertas kecil di meja Yaya. Segera Yaya mengambil dan menyembunyikannya.
Seperti biasa, Yaya dengan santai dan tenang merapikan mejanya. Sebab dia selalu keluar paling akhir dari ruangan.
Segera dibukanya kertas tersebut, setelah Yaya memastikan tidak ada orang di ruangan. Lagi-lagi kalimat ancaman untuk Yaya.
Yaya hanya menghela nafas. Memasukkan kertas lecek tersebut ke dalam tasnya. Dengan langkah ragu, Yaya menuju tempat yang di katakan oleh Milly melewati lift.
"Tenang Yaya, Milly akan mengerti. Dan dia tida akan mengancam kamu lagi. Cukup kamu mengatakan jika kamu akan menjaga rahasianya. Maka semua akan baik-baik saja." ucapnya pada diri di dalam lift.
Tiiittt.... lift berhenti di gedung paling atas. Meski takut, Yaya tetap menemui Milly di tempat yang sudah Milly katakan.
"Kenapa lama sekali. Elo pikir gue nggak punya acara lain...!!" bentak Milly pada Yaya yang baru saja tiba.
"Maaf." cicit Yaya.
"Makanya, punya badan jangan segede truk tronton. Susah jalan." hina Milly tak ada habisnya.
"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Yaya, langsung menuju ke inti.
Milly bersedekap dada. Memandang sinis ke arah
Yaya. "Gue mau elo tutup mata dan telinga. Jika elo berani berbicara pada siapapun, apalagi Zoya. Gue pastikan hidup elo akan hancur." ancam Milly.
"Kamu tenang saja. Saya akan menutup mulut saya."
"Bagus. Elo seharusnya tahu, siapa lelaki yang bersama gue tadi. Dia dengan mudah bisa menghancurkan hidup elo. Beserta keluarga elo."
"Saya berjanji, tidak akan pernah menceritakan semua pada orang lain." ucap Yaya dengan sungguh-sungguh.
"Bagus." Milly berjalan keluar, berhenti tepat di samping Yaya. "Ingat, nyawa elo taruhannya." lirih Milly, melanjutkan lagi langkah kakinya.
Yaya bernafas lega. Milly hanya mengancamnya dengan kata-kata. "Setidaknya, Milly tidak mencelakai aku." cicit Yaya senang.
Yaya membalikkan badan, membuka pintu keluar, yang tadi sempat dia lewati untuk masuk ke tempat ini.
"Loh... kok nggak bisa..." Yaya mencoba membuka pintunya. Pintu tetap tak bisa terbuka. Sepertinya terkunci dari luar.
"Milly....!!!" teriak Yaya. Berharap Milly masih berada di balik pintu, mendengar suara teriakannya dan membuka pintunya.
"Milly.....!!" teriak Yaya lagi, seraya menggedor pintu.
Tanpa Yaya tahu, Milly tersenyum bahagia di balik pintu. Lalu meninggalkan tempat itu dengan santai, seolah tidak mendengar apapun.
"Ini hanya peringatan. Jika elo berani macam-macam, gue akan melakukan hal yang lebih." cicit Milly sambil berjalan meninggalkan lantai tertinggi di gedung. Membiarkan Yaya berada di sana, sendirian.
Yaya berteriak meminta tolong. Dengan terus menggedor pintu. Berharap ada yang datang. "Ponsel."
Yaya merogoh ponsel di dalam tasnya dengan tangan bergetar ketakutan. Sialnya, ponsel jadulnya terjatuh tepat di genangan air.
"Tuhan." keluh Yaya, segera mengambil ponsel tersebut. "Ooohhh,,,, jangan." cicitnya, menyalakan ponselnya. Tapi tetap tak mau menyala.
"Jangan sekarang." ujar Yaya di tengah-tengah isakan tangisnya.
Yaya takut sendirian. "Ibu,,, ayah,,, Yaya takut." Yaya bersandar di pintu.
Yaya mendongak ke atas. "Hujan." lirih Yaya, merasakan tetesan air dari atas.
"Jangan. Jangan sekarang." gumam Yaya.
Hujan semakin deras. Yaya memeluk tubuhnya, dengan mata mencari sesuatu yang dapat dia gunakan untuk berteduh.
"Itu, mungkin aku bisa berteduh di sana."
Yaya melihat ada sebuah seng yang senderkan ke tembok. Karena terburu-buru, Yaya tidak berhati-hati.
"Awww....!!" jerit Yaya, terpeleset. Dengan kepala membentur keramik. Mata Yaya semakin lama semakin memburam.
Dan,,,,, Yaya pingsan di bawah guyuran air hujan yang deras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments