"Kamu kenapa sayang?" tanya ibu Murni.
Yaya tersenyum simpul. "Yaya baik-baik saja bu, hanya kecapekan." ucap Yaya beralasan.
Mana mungkin dirinya mengatakan pada sang ibu, jika dia sangat malas dan enggan untuk berangkat bekerja.
Yaya tak ingin membuat kedua orang tuanya sakit hati. Sidah dia membuat kedua orang tuanya selalu disindir para pembeli, saat mereka membeli bahan sehari-hari di toko mereka.
Tentu saja karena fisik Yaya. Yang jauh dari kata sempurna. Dirinya tak ingin beban kedua orang tuanya bertambah. Jika dirinya menceritakan apa hang sebenarnya terjadi di tempatnya bekerja.
Bu Murni menatap sang putri dengan tatapan iba. "Kasihan sekali anak ibu."
"Cuti saja, barang sehari." timpal sang ayah yang tiba-tiba datang entah dari mana.
Yaya tersenyum simpul. "Mana bisa yah, pekerjaan sedang menumpuk. Lagipula, hari minggu Yaya juga libur." ucap Yaya beralasan.
"Kamu itu. Setiap hari pekerjaan menumpuk. Setiap hari lembur. Perusahaan macam apa itu. Bagaimana perusahaan tempat kamu kerja membagi pekerjaan untuk karyawannya." omel sang ayah.
"Bahkan, hari minggu saja kami tidak bisa bersantai." lanjut sang ayah.
Hari minggu memang Yaya tidak akan datang ke perusahaan. Dirinya tidak bekerja. Tapi tetap saja, di rumah dia dihadapkan dengan tumpukan kertas yang dia bawa dari tempatnya bekerja.
Tapi, setidaknya Yaya meras tak ada beban saat membawa pekerjaan ke rumah. Dia bisa bersantai dan tidak tertekan.
Meski pekerjaan yang dia bawa pulang bukan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan. Melainkan tugas yang seharusnya dikerjakan rekan kerjanya yang lain.
Pak Endri merasa kasihan pada sang putri. Setiap hari pulang malam. Dan selalu beralasan lembur. Bahkan hari liburpun masih sibuk dengan kertas-kertas.
"Jika kamu sudah tidak sanggup. Kamu keluar saja. Ayah masih sanggup memberi kamu makan." ungkap sang ayah karena merasa jengkel.
Yaya memeluk tubuh sang ayah yang duduk di sampingnya. "Siapa bilang Yaya nggak sanggup yah. Lihat, bahkan berat badan Yaya tetap." ucap Yaya sembari terkekeh pelan.
Bu Murni mengambilkan nasi beserta sayur dan lauk pauk di atas piring Yaya, dengan porsi seperti biasa. Hingga piringnyapun tidak terlihat.
"Makan. Habiskan. Biar kamu semakin kuat bekerja. Ibu tidak ingin kami sampai sakit."
Dengan lahap, Yaya makan dengan lahap. Pak Endri mengelus pelan rambut Yaya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Pelan-pelan saja. Ibu kamu masak banyak." tukas sang ayah.
Sedangkan sang ibu sibuk mengisi tepak yang biasanya Yaya gunakan sebagai wadah makanan untuk di bawa bekerja.
"Ayah nggak ke toko?" tanya Yaya, dengan mulut penuh makanan.
"Telan dulu makanan di mulut kamu." tegur pak Endri. "Ayah agak siangan buka toko. Sekalian, menunggu barang pesanan ayah datang." jelas pak Endri. Yaya mengangguk pertanda mengerti.
Seperti biasa, Yaya akan berangkat bekerja menggunakan sepeda motor matic. Jika dilihat, tampak sepeda motor tersebut tak terlihat, karena saking besarnya tubuh Yaya.
Tapi Yaya tetap memakainya. Bahkan, saat sang ayah menyarankan Yaya membeli sepeda yang lebih besar, sehingga seimbang dengan tubuhnya. Yaya menolak.
Yaya mengatakan jika tidak perlu. Dan malah membuang-buang uang. Sebab sepeda motornya yang sekarang juga masih bagus dan masih bisa dipergunakan olehnya.
Semua mata memandang Yaya dengan senyum mengejek, saat Yaya toba di area parkir perusahaan. Tapi hal itu sudah biasa untuk Yaya.
Yaya tak terlalu ambil pusing. Hanya dilihat. Dan dipandang remeh. Bukan masalah besar. Yang Yaya takutkan, jika dirinya kembali di kerjain. Padahal tidak tahu kesalahan apa yang telah dia lakukan.
Tapi Yaya cukup bersyukur. Beberapa hari ini, dirinya hanya mengerjakan pekerjaan rekannya seruangan. Tidak mendapatkan kekerasan fisik. Meski harus terus bekerja hingga matahari tak lagi menampakkan cahayanya.
"Lihat, badannya seperti babi. Sama sekali tak ada lekuknya." ujar seorang pegawai wanita dari divisi lain dengan pakaian kerja melekat ketat di badan hingga penampilan semua bentuk tubuhnya dengan nyata. Meski memakai pakaian.
Yaya tahu, jika ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Tapi dia acuh dan berpura-pura tidak mendengar.
"Gue berani taruhan. Di perusahaan ini, sama sekali tidak ada lelaki yang mau mendekati dia." timpal wanita dengan dandanan setebal buku rumus matematika.
"Gue saja yang perempuan ogah dekat dengannya. Apalagi lelaki. Nggak nafsu mereka. Pasti barang mereka nggak mau on." sahut yang lain dengan tawa puas.
"Baunya itu loh,,, sumpah. Makan bangkai pa sih dia." cicit yang lain.
Yaya dengan cepat melangkahkan kakinya menuju ke ruangannya. Sayangnya, secepat apapun dia melangkah, bentuk tubuhnya yang besar sulit untuk diajak berkompromi.
"Hoeyy,,, beruang....!! gue kira elo dah mati. Ternyata masih hidup." teriak pegawai lelaki yang melihat Yaya.
"Beruntung banget lelaki yang mendapatkan elo. Nggak usah beli kasur." timpal karyawan lain.
Yaya bernafas lega, saat dirinya sampai di ruangannya. Tapi, belum juga Yaya duduk, rekan satu ruangan dengannya sudah mengejek dirinya.
"Yaya...!! Elo mandi nggak sih. Bau banget...!!" serunya, memencet hidungnya.
Yaya sadar, jika bajunya sudah basah karena keringat, akibat berjalan dengan cepat agar sampai ke ruang kerjanya.
Tapi siapa yang menyangka. Dirinya malah mendapatkan maslaah baru. Yaya hanya bisa diam. Rekan-rekan satu ruangan menggerutu.
"Naikkan AC nya. Sumpah, gue mau pingsan." ucapnya dengan nada sinis, memandang Yaya dengan tak suka.
Yaya menulikan telinganya. Dirinya fokus pada lembar-lembar yang ada di hadapannya. Sementara Miko, hanya memandang Yaya dari tempatnya duduk tanpa ekspresi.
Yaya merasa perutnya sakit. Diapun memutuskan untuk pergi ke toilet. "Gajah, kemana elo?" tanya rekan kerjanya.
"Ke toilet." sahut Yaya, yang memang sudah terbiasa dengan panggilan para temannya yang selalu menyamakan dirinya dengan berbagai hewan karena fisiknya.
Kedua mata Yaya membulat sempurna, melihat sesuatu yang seharusnya tak dia lihat. Dan Yaya yakin dirinya akan terkena masalah.
Segera Yaya menyembunyikan tubuh gendutnya di balik tiang penyangga gedung. Berharap dirinya tidka terlihat.
Tapi sayang, Milly melihat dengan jelas kedatangan Yaya. Bahkan saat Yaya bersembunyi. "Nanti malam kita lanjutkan lagi ya sayang. Nggak enak kalau di sini. Takut ada yang lihat." ucap Milly dengan manja.
Cup.... "Baiklah. Jangan lupa, pakai baju seksi kamu. Sudah lama kita tidak melakukannya. Rasanya, aku sangat tidak sabar." cicit sang lelaki.
"Pasti." Milly memainkan matanya dengan genit.
Keduanya kembali bercumbu sebelum berpisah. Milly melambaikan telapak tangannya dengan senyum manis tersungging di bibir.
Milly melangkah dengan pasti menghampiri Yaya. "Percuma elo sembunyi. Bahkan, badan elo lebih besar dari pada tiang ini."
Dahi Yaya mengeluarkan keringat sebesar biji jagung. "Elo, jaga lidah elo. Jika sampai ada yang tahu, gue anggap itu dari mulut elo."
"Milly,,,,, tapi itu tidak benar." Yaya berniat mengingatkan Milly, jika yang dilakukan Milly adalah kesalahan.
"Husssttt...." Milly menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya. "Elo jangan banyak bicara. Diam. Atau elo berada dalam bahaya." ancam Milly, dengan tangan berada di leher.
"Paham...!! tutup mulut elo. Atau elo akan celaka."
Yaya diam tak berani bersuara. Jika elo berbicara tentang apa yang elo lihat, gue yakin. Nggak akan ada yang percaya. Jadi lebih baik elo diam."
Yaya mengangguk. "Bagus. Gue suka perempuan penurut." Milly menepuk keras pundak Yaya.
Lalu dengan ekspresi jijik, Milly menepukkan kedua telapak tangannya. Seolah telapak tangannya baru saja menyentuh barang kotor.
Dengan langkah anggun, Milly meninggalkan Yaya yang masih syok dengan apa yang dia lihat baru saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments