MAZOYA 02

"Kamu kenapa sayang?" tanya ibu Murni.

Yaya tersenyum simpul. "Yaya baik-baik saja bu, hanya kecapekan." ucap Yaya beralasan.

Mana mungkin dirinya mengatakan pada sang ibu, jika dia sangat malas dan enggan untuk berangkat bekerja.

Yaya tak ingin membuat kedua orang tuanya sakit hati. Sidah dia membuat kedua orang tuanya selalu disindir para pembeli, saat mereka membeli bahan sehari-hari di toko mereka.

Tentu saja karena fisik Yaya. Yang jauh dari kata sempurna. Dirinya tak ingin beban kedua orang tuanya bertambah. Jika dirinya menceritakan apa hang sebenarnya terjadi di tempatnya bekerja.

Bu Murni menatap sang putri dengan tatapan iba. "Kasihan sekali anak ibu."

"Cuti saja, barang sehari." timpal sang ayah yang tiba-tiba datang entah dari mana.

Yaya tersenyum simpul. "Mana bisa yah, pekerjaan sedang menumpuk. Lagipula, hari minggu Yaya juga libur." ucap Yaya beralasan.

"Kamu itu. Setiap hari pekerjaan menumpuk. Setiap hari lembur. Perusahaan macam apa itu. Bagaimana perusahaan tempat kamu kerja membagi pekerjaan untuk karyawannya." omel sang ayah.

"Bahkan, hari minggu saja kami tidak bisa bersantai." lanjut sang ayah.

Hari minggu memang Yaya tidak akan datang ke perusahaan. Dirinya tidak bekerja. Tapi tetap saja, di rumah dia dihadapkan dengan tumpukan kertas yang dia bawa dari tempatnya bekerja.

Tapi, setidaknya Yaya meras tak ada beban saat membawa pekerjaan ke rumah. Dia bisa bersantai dan tidak tertekan.

Meski pekerjaan yang dia bawa pulang bukan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan. Melainkan tugas yang seharusnya dikerjakan rekan kerjanya yang lain.

Pak Endri merasa kasihan pada sang putri. Setiap hari pulang malam. Dan selalu beralasan lembur. Bahkan hari liburpun masih sibuk dengan kertas-kertas.

"Jika kamu sudah tidak sanggup. Kamu keluar saja. Ayah masih sanggup memberi kamu makan." ungkap sang ayah karena merasa jengkel.

Yaya memeluk tubuh sang ayah yang duduk di sampingnya. "Siapa bilang Yaya nggak sanggup yah. Lihat, bahkan berat badan Yaya tetap." ucap Yaya sembari terkekeh pelan.

Bu Murni mengambilkan nasi beserta sayur dan lauk pauk di atas piring Yaya, dengan porsi seperti biasa. Hingga piringnyapun tidak terlihat.

"Makan. Habiskan. Biar kamu semakin kuat bekerja. Ibu tidak ingin kami sampai sakit."

Dengan lahap, Yaya makan dengan lahap. Pak Endri mengelus pelan rambut Yaya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Pelan-pelan saja. Ibu kamu masak banyak." tukas sang ayah.

Sedangkan sang ibu sibuk mengisi tepak yang biasanya Yaya gunakan sebagai wadah makanan untuk di bawa bekerja.

"Ayah nggak ke toko?" tanya Yaya, dengan mulut penuh makanan.

"Telan dulu makanan di mulut kamu." tegur pak Endri. "Ayah agak siangan buka toko. Sekalian, menunggu barang pesanan ayah datang." jelas pak Endri. Yaya mengangguk pertanda mengerti.

Seperti biasa, Yaya akan berangkat bekerja menggunakan sepeda motor matic. Jika dilihat, tampak sepeda motor tersebut tak terlihat, karena saking besarnya tubuh Yaya.

Tapi Yaya tetap memakainya. Bahkan, saat sang ayah menyarankan Yaya membeli sepeda yang lebih besar, sehingga seimbang dengan tubuhnya. Yaya menolak.

Yaya mengatakan jika tidak perlu. Dan malah membuang-buang uang. Sebab sepeda motornya yang sekarang juga masih bagus dan masih bisa dipergunakan olehnya.

Semua mata memandang Yaya dengan senyum mengejek, saat Yaya toba di area parkir perusahaan. Tapi hal itu sudah biasa untuk Yaya.

Yaya tak terlalu ambil pusing. Hanya dilihat. Dan dipandang remeh. Bukan masalah besar. Yang Yaya takutkan, jika dirinya kembali di kerjain. Padahal tidak tahu kesalahan apa yang telah dia lakukan.

Tapi Yaya cukup bersyukur. Beberapa hari ini, dirinya hanya mengerjakan pekerjaan rekannya seruangan. Tidak mendapatkan kekerasan fisik. Meski harus terus bekerja hingga matahari tak lagi menampakkan cahayanya.

"Lihat, badannya seperti babi. Sama sekali tak ada lekuknya." ujar seorang pegawai wanita dari divisi lain dengan pakaian kerja melekat ketat di badan hingga penampilan semua bentuk tubuhnya dengan nyata. Meski memakai pakaian.

Yaya tahu, jika ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Tapi dia acuh dan berpura-pura tidak mendengar.

"Gue berani taruhan. Di perusahaan ini, sama sekali tidak ada lelaki yang mau mendekati dia." timpal wanita dengan dandanan setebal buku rumus matematika.

"Gue saja yang perempuan ogah dekat dengannya. Apalagi lelaki. Nggak nafsu mereka. Pasti barang mereka nggak mau on." sahut yang lain dengan tawa puas.

"Baunya itu loh,,, sumpah. Makan bangkai pa sih dia." cicit yang lain.

Yaya dengan cepat melangkahkan kakinya menuju ke ruangannya. Sayangnya, secepat apapun dia melangkah, bentuk tubuhnya yang besar sulit untuk diajak berkompromi.

"Hoeyy,,, beruang....!! gue kira elo dah mati. Ternyata masih hidup." teriak pegawai lelaki yang melihat Yaya.

"Beruntung banget lelaki yang mendapatkan elo. Nggak usah beli kasur." timpal karyawan lain.

Yaya bernafas lega, saat dirinya sampai di ruangannya. Tapi, belum juga Yaya duduk, rekan satu ruangan dengannya sudah mengejek dirinya.

"Yaya...!! Elo mandi nggak sih. Bau banget...!!" serunya, memencet hidungnya.

Yaya sadar, jika bajunya sudah basah karena keringat, akibat berjalan dengan cepat agar sampai ke ruang kerjanya.

Tapi siapa yang menyangka. Dirinya malah mendapatkan maslaah baru. Yaya hanya bisa diam. Rekan-rekan satu ruangan menggerutu.

"Naikkan AC nya. Sumpah, gue mau pingsan." ucapnya dengan nada sinis, memandang Yaya dengan tak suka.

Yaya menulikan telinganya. Dirinya fokus pada lembar-lembar yang ada di hadapannya. Sementara Miko, hanya memandang Yaya dari tempatnya duduk tanpa ekspresi.

Yaya merasa perutnya sakit. Diapun memutuskan untuk pergi ke toilet. "Gajah, kemana elo?" tanya rekan kerjanya.

"Ke toilet." sahut Yaya, yang memang sudah terbiasa dengan panggilan para temannya yang selalu menyamakan dirinya dengan berbagai hewan karena fisiknya.

Kedua mata Yaya membulat sempurna, melihat sesuatu yang seharusnya tak dia lihat. Dan Yaya yakin dirinya akan terkena masalah.

Segera Yaya menyembunyikan tubuh gendutnya di balik tiang penyangga gedung. Berharap dirinya tidka terlihat.

Tapi sayang, Milly melihat dengan jelas kedatangan Yaya. Bahkan saat Yaya bersembunyi. "Nanti malam kita lanjutkan lagi ya sayang. Nggak enak kalau di sini. Takut ada yang lihat." ucap Milly dengan manja.

Cup.... "Baiklah. Jangan lupa, pakai baju seksi kamu. Sudah lama kita tidak melakukannya. Rasanya, aku sangat tidak sabar." cicit sang lelaki.

"Pasti." Milly memainkan matanya dengan genit.

Keduanya kembali bercumbu sebelum berpisah. Milly melambaikan telapak tangannya dengan senyum manis tersungging di bibir.

Milly melangkah dengan pasti menghampiri Yaya. "Percuma elo sembunyi. Bahkan, badan elo lebih besar dari pada tiang ini."

Dahi Yaya mengeluarkan keringat sebesar biji jagung. "Elo, jaga lidah elo. Jika sampai ada yang tahu, gue anggap itu dari mulut elo."

"Milly,,,,, tapi itu tidak benar." Yaya berniat mengingatkan Milly, jika yang dilakukan Milly adalah kesalahan.

"Husssttt...." Milly menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya. "Elo jangan banyak bicara. Diam. Atau elo berada dalam bahaya." ancam Milly, dengan tangan berada di leher.

"Paham...!! tutup mulut elo. Atau elo akan celaka."

Yaya diam tak berani bersuara. Jika elo berbicara tentang apa yang elo lihat, gue yakin. Nggak akan ada yang percaya. Jadi lebih baik elo diam."

Yaya mengangguk. "Bagus. Gue suka perempuan penurut." Milly menepuk keras pundak Yaya.

Lalu dengan ekspresi jijik, Milly menepukkan kedua telapak tangannya. Seolah telapak tangannya baru saja menyentuh barang kotor.

Dengan langkah anggun, Milly meninggalkan Yaya yang masih syok dengan apa yang dia lihat baru saja.

Episodes
1 MAZOYA 01
2 MAZOYA 02
3 MAZOYA 03
4 MAZOYA 04
5 MAZOYA 05
6 MAZOYA 06
7 MAZOYA 07
8 MAZOYA 08
9 MAZOYA 09
10 MAZOYA 10
11 MAZOYA 11
12 MAZOYA 12
13 MAZOYA 13
14 MAZOYA 14
15 MAZOYA 15
16 MAZOYA 16
17 MAZOYA 17
18 MAZOYA 18
19 MAZOYA 19
20 MAZOYA 20
21 MAZOYA 21
22 MAZOYA 22
23 MAZOYA 23
24 MAZOYA 24
25 MAZOYA 25
26 MAZOYA 26
27 MAZOYA 27
28 MAZOYA 28
29 MAZOYA 29
30 MAZOYA 30
31 MAZOYA 31
32 MAZOYA 32
33 MAZOYA 33
34 MAZOYA 34
35 MAZOYA 35
36 MAZOYA 36
37 MAZOYA 37
38 MAZOYA 38
39 MAZOYA 39
40 MAZOYA 40
41 MAZOYA 41
42 MAZOYA 42
43 MAZOYA 43
44 MAZOYA 44
45 MAZOYA 45
46 MAZOYA 46
47 MAZOYA 47
48 MAZOYA 48
49 MAZOYA 49
50 MAZOYA 50
51 MAZOYA 51
52 MAZOYA 52
53 MAZOYA 53
54 MAZOYA 54
55 MAZOYA 55
56 MAZOYA 56
57 MAZOYA 57
58 MAZOYA 58
59 MAZOYA 59
60 MAZOYA 60
61 MAZOYA 61
62 MAZOYA 62
63 MAZOYA 63
64 MAZOYA 64
65 MAZOYA 65
66 MAZOYA 66
67 MAZOYA 67
68 MAZOYA 68
69 MAZOYA 69
70 MAZOYA 70
71 MAZOYA 71
72 MAZOYA 72
73 MAZOYA 73
74 MAZOYA 74
75 MAZOYA 75
76 MAZOYA 76
77 MAZOYA 77
78 MAZOYA 78
79 MAZOYA 79
80 MAZOYA 80
81 MAZOYA 81
82 MAZOYA 82
83 MAZOYA 83
84 MAZOYA 84
85 MAZOYA 85
86 MAZOYA 86
87 MAZOYA 87
88 MAZOYA 88
89 MAZOYA 89
90 MAZOYA 90
91 MAZOYA 91
92 MAZOYA 92
93 MAZOYA 93
94 MAZOYA 94
95 MAZOYA 95
96 MAZOYA 96
97 MAZOYA 97
98 MAZOYA 98
99 MAZOYA 99
100 MAZOYA 100
101 MAZOYA 101
102 MAZOYA 102
103 MAZOYA 103
104 MAZOYA 104
105 MAZOYA 105
106 MAZOYA 105
107 MAZOYA 106
108 MAZOYA 107
109 MAZOYA 109
110 MAZOYA 110
111 MAZOYA 111
112 MAZOYA 112
113 MAZOYA 113
114 MAZOYA 114
115 MAZOYA 115
116 MAZOYA 116
117 MAZOYA 117
118 MAZOYA 118
119 MAZOYA 119
120 MAZOYA 120
121 MAZOYA 121
122 MAZOYA 122
123 MAZOYA 123
124 MAZOYA 124
Episodes

Updated 124 Episodes

1
MAZOYA 01
2
MAZOYA 02
3
MAZOYA 03
4
MAZOYA 04
5
MAZOYA 05
6
MAZOYA 06
7
MAZOYA 07
8
MAZOYA 08
9
MAZOYA 09
10
MAZOYA 10
11
MAZOYA 11
12
MAZOYA 12
13
MAZOYA 13
14
MAZOYA 14
15
MAZOYA 15
16
MAZOYA 16
17
MAZOYA 17
18
MAZOYA 18
19
MAZOYA 19
20
MAZOYA 20
21
MAZOYA 21
22
MAZOYA 22
23
MAZOYA 23
24
MAZOYA 24
25
MAZOYA 25
26
MAZOYA 26
27
MAZOYA 27
28
MAZOYA 28
29
MAZOYA 29
30
MAZOYA 30
31
MAZOYA 31
32
MAZOYA 32
33
MAZOYA 33
34
MAZOYA 34
35
MAZOYA 35
36
MAZOYA 36
37
MAZOYA 37
38
MAZOYA 38
39
MAZOYA 39
40
MAZOYA 40
41
MAZOYA 41
42
MAZOYA 42
43
MAZOYA 43
44
MAZOYA 44
45
MAZOYA 45
46
MAZOYA 46
47
MAZOYA 47
48
MAZOYA 48
49
MAZOYA 49
50
MAZOYA 50
51
MAZOYA 51
52
MAZOYA 52
53
MAZOYA 53
54
MAZOYA 54
55
MAZOYA 55
56
MAZOYA 56
57
MAZOYA 57
58
MAZOYA 58
59
MAZOYA 59
60
MAZOYA 60
61
MAZOYA 61
62
MAZOYA 62
63
MAZOYA 63
64
MAZOYA 64
65
MAZOYA 65
66
MAZOYA 66
67
MAZOYA 67
68
MAZOYA 68
69
MAZOYA 69
70
MAZOYA 70
71
MAZOYA 71
72
MAZOYA 72
73
MAZOYA 73
74
MAZOYA 74
75
MAZOYA 75
76
MAZOYA 76
77
MAZOYA 77
78
MAZOYA 78
79
MAZOYA 79
80
MAZOYA 80
81
MAZOYA 81
82
MAZOYA 82
83
MAZOYA 83
84
MAZOYA 84
85
MAZOYA 85
86
MAZOYA 86
87
MAZOYA 87
88
MAZOYA 88
89
MAZOYA 89
90
MAZOYA 90
91
MAZOYA 91
92
MAZOYA 92
93
MAZOYA 93
94
MAZOYA 94
95
MAZOYA 95
96
MAZOYA 96
97
MAZOYA 97
98
MAZOYA 98
99
MAZOYA 99
100
MAZOYA 100
101
MAZOYA 101
102
MAZOYA 102
103
MAZOYA 103
104
MAZOYA 104
105
MAZOYA 105
106
MAZOYA 105
107
MAZOYA 106
108
MAZOYA 107
109
MAZOYA 109
110
MAZOYA 110
111
MAZOYA 111
112
MAZOYA 112
113
MAZOYA 113
114
MAZOYA 114
115
MAZOYA 115
116
MAZOYA 116
117
MAZOYA 117
118
MAZOYA 118
119
MAZOYA 119
120
MAZOYA 120
121
MAZOYA 121
122
MAZOYA 122
123
MAZOYA 123
124
MAZOYA 124

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!