Kembali ke Masa Lalu

Suasana mulai menjelang malam. Matahari perlahan bersembunyi dibalik awan menimbulkan warna kemerahan. Rea berlari sekencang-kencangnya menelusuri jalan sawo. Jalan yang letaknya diantara perbatasan stasiun kereta Pondok Cina dan stasiun kereta UI. Entah lebih baik disebut jalan atau gang, jalanan itu hanya muat untuk satu mobil. Disetiap kanan dan kiri jalan terdapat begitu banyak bangunan kosan yang berdiri, dari yang khusus untuk laki-laki, khusus untuk perempuan dan campur. Dari yang peraturannya super ketat hingga yang sangat bebas. Tak sedikit pula terdapat tempat makan yang berdiri disela-sela gedung-gedung kos-kosan itu. Bagi para mahasiswa yang memilih tinggal ditempat kos, tempat makan tersebut sangat pas untuk kantong mereka.

Saat itu usianya baru menginjak 21 tahun. Ia berkuliah di salah satu universitas swasta terbaik di kota Depok, jurusan Akuntansi semester tujuh akhir di Universitas Indonesia. Ia tidak tinggal bersama orang tuanya melainkan memilih kos-kosan putri sebagai tempat tinggalnya sementara selama kuliah. Hal itu disebabkan oleh Papanya yang dipindahtugaskan ke Cirebon membuat Mama dan adik bungsunya yang masih SMA pun ikut pindah mengikuti sang Papa. Menurut Rea, rumahnya yang terletak dipinggiran Bogor terasa terlalu jauh dari kampus.

Langkah kaki Rea terus saja berlari. Wajahnya sangat cerah dan berseri. Peluh keringat sesekali jatuh menetes dari wajahnya, namun senyumnya tak juga hilang dari bibirnya. Tak sabar rasanya Rea bertemu dengan dua teman kosannya dan menceritakan berita bahagia yang dibawanya. Karena telalu bersemangat, ia tanpa sadar menabrak beberapa orang yang sedang berjalan beriringan.

BRUK!

"Akh," Terdengar keluh rintihan dari orang yang ditabrak Rea.

"Maaf ya, maaf...," Rea spontan menunduk-nundukkan kepalanya meminta maaf kepada orang yang baru ditrabraknya tadi tanpa memperhatikan wajah orang tersebut. Ia pun langsung berlari lagi dan kembali menabrak orang lagi kemudian melakukan ritual minta maaf dengan gaya yang sama seperti sebelumnya. Orang yang pertama ditabraknya hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Kyaa!!" Teriak Mbak pelayan di warung siomay yang tanpa sengaja tersenggol Rea ketika ia terburu-buru masuk ke dalam warung. Warung yang tepat berdiri didepan gerbang besar kosan putri tempat Rea tinggal sementara. Tempatnya tidak begitu besar, namun cukup nyaman dan bersih untuk ukuran warung makan. Menu yang disediakan standar seperti roti bakar berbagai varian rasa, indomie dengan tambahan toping yang dapat dipesan sesuai selera, es cappuccino special dan berbagai jenis minuman, ditambah berbagai jenis menu kreasi seperti pecel ayam, ayam bakar serta beberapa jenis masakan buatan rumah. Dulu warung ini menjual siomay, namun karena kurang laku, menu tersebut dihilangkan dan menyisakan namanya saja yang telah melekat pada para mahasiswa yang menjadi langganannya.

*"Maaf Mbak!" Teriak Rea panik khawatir ada sesuatu yang terjatuh.**

"Tidak apa-apa Mbak Re," Ujar Mbak pelayan yang diketahui bernama Ani. Nyaris saja makanan pesanan salah satu pelanggan yang sudah memesannya lima belas menit yang lalu tumpah jika saja ia tidak dengan gesit menjaga keseimbangan tubuhnya.

"Sudah berapa orang hari ini yang berhasil lo tabrak?" Asal suara tersebut membuat Rea mengalihkan pandangannya ke seorang gadis berambut ikal sebahu yang dengan tenangnya menyeruput es cappuccino.

"Astrid...," Rea merajuk bergegas menghampiri Astrid yang duduk di bangku paling pinggir yang menghadap ke jendela luar.

"Duduk sini," Astrid menunjuk bangku kosong yang tepat berada di depannya. "Sepertinya ada berita penting yang pengen lo ceritain."

"Yoi!" Rea melepaskan tas ransel hitam yang sedari tadi digendongnya. Tas dengan beberapa aksen warna soft pink di resletingnya. Rea mulai mengaduk-aduk isi tasnya hingga ia menemukan sebuah amplop putih berlogo kampus tempatnya berkuliah. "Ngomong-ngomong, Meta mana? Kok cuma lo doang yang datang?"

"Sorry gue telat!"

"Panjang umur tuh anak, baru juga lo omongin," Astrid menunjuk kearah pintu masuk dengan sedotan yang ia pakai untuk minum.

"Meta! Sini deh, ada yang mau gue tunjukin!" Tanpa tendeng aling-aling Rea menarik tangan kanan Meta hingga membuat Meta hampir jatuh terjerembab kearah Rea. Untung saja Meta dengan sigap menahan berat tubuhnya dengan tangan kirinya yang ia tekan ke atas meja untuk menjaga keseimbangan.

"Ampun, ini anak tingkat ketidaksensitifnya benar-benar parah!" Keluh Meta menahan kesal. Sedangkan siempunya nama yang menjadi pembicaraan cuek saja dan sibuk dengan amplop yang dikeluarkannya tadi.

"Dengar ya," Rea membuka kertas yang telah diambilnya dari amplop. "Skripsi gue udah di acc sama pembimbing gue!"

"Serius lo?!" Astrid dan Meta berteriak kompak mengagetkan orang lain yang sedang makan di warung itu tak terkecuali pemilik warung dan pelayannya.

"Bisa dibaca kan di kertas itu?" Rea senyum-senyum sendiri. Ia mengangkat tangan kanannya memberi tanda kepada pemilik warung kalau ia ingin memesan. "Mbak Ani, aku lapar nih, pesan mie rebus pake telor sama sayur sawinya yang buanyak plus cabenya yang buanyak juga sama es jeruk yang asam ya Mbak!"

"Iya Mbak!" Sahut Ani dengan suara lantang.

"Pembimbing lo nggak lagi katarak kan pas meng-acc skripsi lo supaya bisa maju sidang?" Meta berkata seraya tidak percaya. Anak disebelahnya ini terkenal dengan mood yang parah jika berhubungan dengan karya ilmiah karena Rea yang selalu mengambil data dengan tingkat kesulitan tinggi. Alhasil Rea selalu mendapati dirinya mentok dan frustasi hingga rasanya ingin meninggalkan semuanya. Untungnya masih ada dirinya dan Astrid yang masih waras menahan keinginannya itu. "Atau karena dia sudah pusing diteror sama bahan skripsi lo yang tiap hari lo bawa dan akhirnya dia menyerah serta meng-acc skripsi lo?"

"Sialan lo Ta, meragukan kemampuan gue! Ya enggaklah, datanya semuanya komplit-plit jadi gue tinggal buat format power point-nya untuk bahan presentasi saja ditambah latihan tentunya supaya mantap presentasinya pas sidang di depan penguji sidang."

"Harusnya lo terima kasih sama kita berdua, masih inget nggak lo dua bulan lalu lo kayak gimana? Kalau nggak inget gue ingetin lagi ya," Astrid berkata dengan nada datarnya. Gadis manis berambut ikal panjang sepunggung yang satu ini selalu memasang wajah kurang bersahabat dikarenakan dirinya yang tidak mudah terbuka dengan orang lain kecuali dengan orang yang telah lama dikenalnya. Bagi orang-orang yang belum kenal dengan baik padanya pasti menjulukinya miss jutek dan dingin. Walaupun memang kenyataan bahwa ia memang sosok yang jutek terhadap orang baru.

"Iya...iya..., gue ngerti kok, kalau nggak ada kalian berdua gue nggak bakalan cepat sidang!" Rea dengan cueknya langsung memeluk kedua temannya dengan sedikit memaksa.

"Heeghhh, sa..sa...sakit tahu!" Meta mengeluh kesakitan.

"Eh, sorry, terlalu bersemangat! Hehehe," Rea menyeringai sembari melepaskan pelukannya dari dua temannya. "Sebagai gantinya kalian berdua gue traktir deh!"

"Asikkk!! Nah gitu dong! Mbak, aku pesan pecel ayam tapi yang bagian paha sama sambelnya dikit saja terus nasinya uduk tapi setengah, lagi diet Mbak," Meta sangat bersemangat jika sudah dengar kata traktiran. Gadis berambut light brown lurus sepundak dengan wajah khas melayu memiliki sifat yang sedikit oportunis. Segala sesuatu yang berbau gratisan memberikan semangat lebih untuknya. Ckckck, Rea-Rea, kepolosannya itu terkadang sering mengundang orang-orang yang memiliki karakter unik untuk mendekatinya.

"Kalo Astrid?" Rea menatap polos.

"Aku cukup nambah es cappuccino saja, jangan lupa Mbak takarannya seperti biasa," Ujarnya datar.

"Iya Mbak," Ani yang cukup kewalahan dengan permintaan trio tersebut sempat menjadi bingung pesanan mana yang harus didahulukan. Namun ia sudah memutuskan bahwa Rea lah yang berhak mendapatkan pelayanan terlebih dahulu. "Saya mengantarkan pesanan Mbak Re dulu ya..."

Dengan tergopoh-gopoh Ani mengantarkan pesanan mie rebus telur dan es jeruk pesanan Rea.

"Makasih Mbak," Rea membalas dengan senyuman. Ia pun segera menghirup harum mie rebus yang sangat sedap itu. Mie yang bertabur sayuran sawi berwarna hijau, potongan cabe rawit dan bawang goreng. "Hmm, enak, aku makan duluan ya."

"By the way, lo kapan maju sidangnya?" Astrid melipat kembali surat milik Rea dan memasukannya ke dalam amplop.

"Akhir semester delapan, tepatnya bulan Juli!"

"What?! Lama amat! Itu sih sama aja lo ikut kelas selama satu semester! Enggak salah tuh kampus lo ngasih jadwal?!"

"Mau gimana lagi, gue satu-satunya orang diangkatan gue yang sudah menyelesaikan skripsinya dan gue cuma bisa ngikutin peraturan...," Rea menyeruput mienya. Sebenarnya dalam hatinya ia sedikit kecewa. Namun mengeluhpun tak akan mempercepat jadwal sidang skripsinya.

"Tetap saja aneh...," Meta tidak suka dengan respon Rea yang menerima begitu saja. Ia tahu benar temannya itu walaupun mood-nya parah, ia adalah anak yang rajin dan pintar. Seharusnya Rea cepat mengambil gelar S1-nya.

"Ok-ok, lebih baik kita pindah topik! Masa' gue terus yang jadi sasaran tembak?" Protes Rea. "Gantian dong."

"Oh iya benar, gue jadi ingat pertanyaan buat Meta," Astrid mengangkat jari telunjuk tangan kanannya teringat akan sesuatu.

"Apaan?" Meta mendelik kearah Astrid.

"Lo main ketempat adik lo kok lama amat sih? Ngapain aja disana? Sampe bikin gue nyaris kering garing kayak kerupuk nungguin disini," Astrid memicingkan matanya kearah Meta penuh kecurigaan karena menurutnya jika sampai Meta terlalu lama di kosan adiknya pasti ada apa-apanya. "Lo nggak lagi punya gebetan baru yang ngekos di kosan adik lo kan?"

"Ah enggak kok," Meta menjawab sedikit gugup berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk disampaikan kepada kedua teman dihadapannya. "Itu..., gue baru dapat info kalau ada dua orang cowok Jepang yang ngekos di kosan adik gue dan gue penasaran aja orangnya kayak apa."

"Sejak kapan selera lo berubah jadi suka sama yang berbau Jepang? Lo udah ketularan Re ya?"Astrid dengan kata-kata pedasnya seolah menghakimi Meta telah memancing empat buah siku-siku di dahi Meta. Belum sempat ia membalas kata-kata Astrid, tiba-tiba Rea memberikan pertanyaan yang membuat Astrid dan Meta mengernyitkan dahi.

"Kalian berdua ngomongin apaan sih? Enggak ngerti gue, gue cuma denger nama gue dibawa-bawa," SLUPRUTT! Rea berbicara dengan mulut yang masih menikmati setiap kunyahan makanannya. "Enak banget!! Pedasnya mantap!!"

"Ampun deh, elo itu ya, soal pelajaran nyambungnya pake sinyal paling kuat saingan dengan provider handphone tapi kalau soal lain kenapa lemotnya sampe tingkat dewa begini sih?!" Astrid kesal dengan Rea yang tidak menyimak pembicaraannya dengan Meta sejak tadi dan hanya seenaknya memotong pembicaraan mereka.

"Lo pasti seneng Re dengar berita bagus dari gue," Meta merapat kearah Rea sampai membuat Rea terdesak ke pojok dan terpaksa menghentikan makannya. Dirangkulnya pundak kecil sahabatnya itu. Ia berusaha mencari dukungan untuk membuat Astrid diam.

"Apa?" Rea mengernyitkan dahinya dan melirik kearah Meta. Dirinya sedikit kesal dikarenakan ritual makannya yang terpaksa terhenti sejenak.

"Denger ya..., gue tadi dapat informasi dari adik gue ada dua cowok Jepang yang ngekos ditempat adik gue!" Ujar Meta penuh semangat. Ia membayangkan kalau reaksi Rea akan heboh seperti biasanya.

"Ooo, kirain apaan...," Rea melengos tak bersemangat. Ia kembali melanjutkan ritual makannya seolah menganggap ucapan Meta sebelumnya sebagai angin lalu.

"Dih, tumben lo nggak heboh seperti biasanya? Lo nggak sedang sakit kan?" Meta memeriksa dahi Rea dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya diletakkan dipantatnya sendiri.

"Enak aja! Lo kira suhu kepala gue sama dengan pantat lo!" Rea cemberut dan melepaskan tangan Meta dari dahinya.

"Ya iyalah..., lo nggak lihat Astrid sampai bengong melihat respon lo yang datar gitu?!" Meta menunjuk kearah Astrid yang melongo shock. Astrid yang segera tersadar segera berdehem dan kembali bersikap stay cool sambil menyeruput es cappucinno. "Secara gitu loh, elo yang biasanya akan histeris gila setiap tahun ajaran baru bisa melihat orang-orang Jepang baru yang kuliah disini karena mengikuti sistem pertukaran pelajar mendadak hanya merespon kayak gitu?! Aneh! Enggak kayak lo yang biasanya!"

Kedua sahabatnya itu tahu benar bahwa Rea sangat menggilai hal-hal yang berbau Jepang. Entah siapa yang mulai meracuni pikirannya. Namun jika diibaratnya maniak, anak yang satu ini hanya setengah-setengah melakukannya. Disaat orang lain yang begitu tergila-gilanya segala sesuatu tentang Jepang atau biasa disebut Otaku berani berkorban membeli segala sesuatu pernak-pernik berbau Jepang, bergaya cosplay ala tokoh-tokoh komik dan anime favorit, berteriak histeris ketika melihat wajah-wajah cantik para personil boyband Japanese POP atau disingkat J-POP tidak demikian dengan Rea. Ia hanya menikmati karyanya seperti dorama, J-POP dan komiknya. Meskipun demikian, untuk selera cowok, ia agak terbawa juga, terutama cowok berwajah cantik dengan wajah tirus, rambut dipotong layer ala harajuku style, badan langsing berisi semampai. Baginya mereka seperti tokoh komik yang menjelma menjadi nyata. Hanya mengagumi saja tepatnya. Bukan untuk dijadikan pendamping hidup. Karena mereka terlalu sempurna untuk dirinya.

"Ini pesanan Mbak Meta dan ini pesanan Mbak Astrid," Ani datang memotong mengantarkan pesanan makanan, namun tetap saja ketiga orang itu tidak terpengaruh dan sibuk dengan pembicaraan mereka.

"Makasih Mbak," Rea yang menyadari kecuekan Astrid dan Meta terhadap Ani dan menganggapnya hanya sebagai pelayan warung mewakili mereka untuk mengucapkan terima kasih.

"Lo maunya gue merespon apa? Oh ya Ta?! sekeren apa orangnya? Sama yang tahun lalu cakepan mana? Gitu?" Rea memperagakan diri seperti fangirl yang tergila-gila pada artis laki-laki yang menjadi idolanya.

"Memang biasanya lo seperti itu kan?"

"Gue lagi malas ngebahas gituan," Rea menjawab ogah-ogahan. "Enggak tau kenapa, bosen saja, apa karena hampir setahun ini otak gue terngiang-ngiang sama ultimatum emak dan bapak gue ya untuk segera menyelesaikan kuliah S1? Jadi hilang deh selera gue."

"Lo pikir mereka makanan pake bawa kata-kata selera segala?! Yakin lo nggak mau tahu?" Meta menatap tajam kearah Rea. Masih tetap dengan promosinya. "Gue udah lihat lho orangnya kayak gimana, kali ini jauh lebih keren dibandingkan yang tahun-tahun lalu! Terutama yang namanya Daiki Matsumoto! Mirip sama artis yang pernah lo sebut sebelumnya! Yang main di drama live action Sailor Moon. Itu lho, yang jadi Mamoru Chiba-nya. Siapa namanya? Jouji..., Jouji siapa itu..."

"Jouji Shibue ...," Masih dengan malasnya Rea mengucapkan dan pilih melanjutkan makannya. "Memang sih dia keren, tapi gue lagi nggak berselera mau gimana? Enggak bisa dipaksa kan?"

"Kalau gue pribadi sih lebih suka dengan temannya yang nggak kalah keren, mirip sama artis yang main..."

Disaat mereka sedang ribut membahas atau tepatnya Meta yang memaksa meyakinkan Rea untuk melirik cowok Jepang yang menurut Meta mirip dengan Jouji Shibue, orang yang sedang diributkan muncul bersama teman-temannya untuk makan malam dan salah satu teman si cowok itu adalah adiknya Meta, Handi.

"Kak Meta, udah berapa lama lo disini?" Handi menghampiri Meta. "Perasaan gue dari jam lima sore tadi lo udah keluar dari kosan gue karena lo bilang ditungguin Re dan Astrid untuk makan? Sekarang kan jam tujuh malam, ngapain aja lo? Kayak nggak ada kerjaan lain aja."

Handi tahu benar siapa kakaknya itu. Jika kakaknya sudah nongkrong terlalu lama di warung siomay, itu tandanya kakaknya itu sedang menggosipkan sesuatu. Meta dan Astrid yang kaget dengan kedatangan rombongan itu langsung menjaga sikap sedangkan Rea dengan cueknya terus melanjutkan menikmati makanannya.

"Kok nyalahin gue?" Meta membela diri. Ia malu namun gengsi karena disebelah Handi berdiri dua orang lelaki yang sejak tadi dijadikan bahan omongan oleh mereka. Ia segera mencari kambing hitam untuk menutupi rasa malunya. "Lo nggak lihat temen sebelah gue ini yang bikin gue lama disini?"

"Halo...," Rea yang merasa ditunjuk oleh Meta langsung segera menelan mie instan rebus yang baru saja diambil dari mangkoknya. Ia merasa tidak sopan jika berbicara sambil makan. 

Astrid dan Meta spontan kaget melihat ekspresi Rea dengan santai dan cuek khasnya menyapa. Ia yang tidak perduli sikapnya saat ini sedang diperhatikan rombongan cowok ganteng itu hanya bisa memegang pelipisnya yang berdenyut-denyut menahan kesal dan berkumat-kamit mengeluh dalam hati. Kok bisa ya Tuhan menciptakan orang secuek Rea yang tidak ada urat malunya sama sekali? Padahal di depannya jelas-jelas ada pemandangan indah yang bisa berubah jadi ilfill melihat kelakuannya.

"Ya sudah deh, gue sama teman-teman gue duduk disana ya!" Handi menunjuk tempat yang berseberangan dengan tempat duduk Rea dan teman-temannya. Lokasinya sejajar dengan tempat Rea, Meta dan Astrid, dekat dengan jendela. Alasannya hanya satu, hanya tempat dan meja itulah yang dapat memuat jumlah mereka yang berjumlah delapan orang.

"Ok!" Meta mengacungkan jempol dan masih dengan senyum yang dibuat-buat. Tak berapa lama setelah Handi dan teman-temannya sudah tidak memperdulikan ketiga sahabat itu, dua diantaranya menghela napas sangat panjang. Mereka adalah Astrid dan Meta.

"Lo berdua kenapa sih?" Rea semakin dibuat bingung dengan kelakuan kedua temannya. Ketika ada teman-temannya Handi datang menghampiri mereka, Meta dan Astrid begitu kaku dan bersikap sok anggun. Padahal biasanya tidak seperti itu.

"Justru lo itu yang aneh!" Keluh Meta mengeluarkan tatapan seolah-olah mengeluarkan sinar laser seperti Cyclops, salah satu tokoh hero yang ada di X-men.

"Gue?" Rea menunjuk kearah dirinya sendiri.

"Re, lo nggak bisa jaim dikit ya?" Meta berkata dengan menahan emosi dan rasa malunya.

"Memangnya kenapa? Biasa aja lagi..."

"Tapi sikap lo itu luar biasa tahu!" Astrid yang kesal dalam diam akhirnya meledak juga. "Malu gue punya temen kayak lo! Masa' di depan cowok-cowok itu nggak ada jaga sikap sama sekali?"

"Justru gue yang heran sama lo berdua. Kenapa mendadak berubah jadi sok jaim? Toh biasanya juga kita gokil-gokilan bareng dan cuek-cuek saja...," Giliran Rea yang berceramah. "Gue kasih tahu ya, cowok itu paling suka sama cewek yang apa adanya, kalau jaim lama-lama ketahuan juga sikap asli kita. Daripada jadi orang lain mending jadi diri sendiri deh! Masalah cowok itu jadi ilfill apa enggak itu urusan dia, peduli amat!"

"Lo sok banget sih seolah yang berpengalaman saja soal pacaran! Padahal pacaran saja belum pernah!" Nada suara Astrid terdengar ketus tidak terima diceramahi anak kecil seperti Rea. Usia Astrid yang lebih tua dua tahun dari Rea merasa bahwa Rea tidak pantas seperti itu. "Gue aja yang pernah pacaran lebih dari sepuluh kali nggak sampe sebegitu pedenya nyeramahin orang"

"Ini nggak ada hubungannya soal pengalaman atau enggak, gue belum pernah pacaran bukan berarti gue nggak laku! Memang sedang tidak buka lowongan saja. Kebetulan temen gue kan banyakan cowok tuh, jadi gue tahulah mereka seperti apa. Buktinya selama lo pacaran sebanyak sepuluh kali yang terakhir bubar juga kan?" Rea menghabiskan suapan terakhir mie di mangkoknya. "Mbak, aku pesan satu lagi mie rebus telor yang kayak tadi ya!"

"Mau pesan lagi?! Perut lo itu terbuat dari apa sih?!" Kedua Mata sayu Meta mendadak melebar mendengar kalimat terakhir Rea. Tak hanya Rea, seluruh pelanggan di warung tersebut mengarahkan pandangannya kepada gadis tomboy tersebut.

"Habis gue laper banget," Rea mengelus-elus perutnya yang masih minta diisi.

"Suer deh, lo beneran bikin malu!"

Meta dan Astrid memilih mengalihkan pandangannya kearah lain malas menghadapi kekeraskepalaan Rea karena sudah pasti mereka yang akan kalah. Rea sendiri tidak tahu jika sedari tadi ada seseorang yang menahan tawanya melihat tingkah dan polah Rea.

"Doshite Daiki?" (Kenapa Daiki?)

"Iie, Nanimonai," (Enggak, Bukan apa-apa) 

Daiki terus menatap Rea yang masih sibuk berdebat dengan kedua temannya. Ia tersenyum penuh arti.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!