Anak Mami

Rea mulai menata satu-satu barang-barang yang tergeletak tidak beraturan di sekeliling kamarnya. Hari Sabtu nan cerah saat ini bertolak belakang dengan suasana hati Rea. Hal tersebut dikarenakan instruksi sang Mama untuk merapikan kamarnya yang sangat berantakan menyaingi gudang di rumahnya. Hampir disetiap sudut ruangan kamar Rea terdapat komik yang tergeletak tak beraturan. Ditambah dengan buku-buku novel yang tertumpuk berantakan di atas meja yang terletak di sebelah tempat tidur sejajar dengan lemari buku. Jika lemari itu dapat berbicara\, ingin rasanya ia mengumpat dengan kesal karena setiap minggu semakin dijejalkan dengan komik-komik baru yang dibeli Rea. Tak hanya buku\, alat make up\, parfum\, lotion\, jam tangan\, alat pengharum ruangan\, aksesoris gelang dan kalung yang tidak beraturan peletakannya di bagian atas lemari\, membuatnya berubah menjadi lemari multi fungsi bertabrakan dengan tumpukan komik tadi. Pada bagian paling atas lemari itu digunakannya sebagai tempat menyimpan kotak-kotak berisi sepatu yang jumlahnya tidak sedikit. Sedangkan meja komputer yang letaknya di depan tempat tidur dan tepat bersebelahan dengan pintu juga beralih fungsi selain menjadi tempat peletakan laptop kesayangannya\, meja itu pun tak luput jadi sarang tempat penyimpanan alat *make up-*nya yang lain.

Rea menarik napas dalam-dalam. Pelan-pelan ia membuka lemari pakaiannya. Ketika ia melihat isi lemarinya, ia hanya menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Tumpukan pakaian yang sama sekali tidak enak dilihat. Atasan dan bawahan hanya ditumpuk seenaknya dicampur dengan tumpukan sprei dan bad cover. Underwear-nya yang tercampur dengan kaos kaki. Semakin lama dilihat semakin malas dirinya untuk merapikan. Namun apa daya, Mamanya telah mengeluarkan jurus maut omelannya agar Rea segera merapikan kamarnya. Ia sadar semua ini salahnya yang terlalu sibuk dengan karir dan pekerjaannya sehingga menganggap masalah kamar berantakannya adalah urusan sepele hingga akhirnya bom waktu itu meledak melalui amarah sang Mama.

Satu per satu Rea mengeluarkan pakaiannya dari lemari pakaian. Dirapikannya sesuai jenisnya.Tak lupa ia mencuri waktu dengan menyempatkan diri untuk membaca komik. Mengingat usianya yang sudah dewasa, rasanya tidak terbayang bahwa ia mempunyai hobi seperti itu. Ditambah dengan jenis komik bacaannya yang bergenre romanea untuk remaja dan style casual pada pakaian Rea seperti kaos Hoody bertopi, celana jeans dan selop, ia nampak seperti anak ABG. Tidak ada yang mengira usianya sudah berkepala tiga. Wajahnya polos tak ber-make up-nya membuat orang mana pun akan terkecoh dan menganggapnya masih seperti anak SMA yang berusia 17 tahun. Pernah suatu ketika pada saat acara senam kantor yang diadakan di kantornya, Rea datang dengan penampilan ala kadarnya, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan penampilan sempurnanya, seorang security yang baru direkrut menghalangi Rea untuk masuk ke dalam kantor dan mengatakan bahwa orang yang tidak berkepentingan terlebih lagi anak sekolahan dilarang masuk. Sontak teman-teman Rea tertawa terbahak-bahak melihat insiden konyol itu. Rea sendiri hanya bisa menghela napas dengan nasib gen awet muda mengerikannya itu. Namun jangan ditanya ketika ia berada di kantor,ia adalah salah satu orang yang disegani karena kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan dan memimpin timnya.

Kembali kepada aktifitas Rea sebelumnya, Setelah ia selesai merapikan isi dari lemari pakaiannya, ia beranjak untuk merapikan komik-komiknya dan buku-buku serta dokumen-dokumen penting yang ditumpuk secara asal. Satu per satu mulai tampak terlihat rapi meskipun proses perapiannya memakan waktu lama karena Rea selalu menjedanya dengan membaca komik. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Wahya yang sejak tadi tidak melihat Rea keluar dari kamarnya memanggil Rea untuk makan siang.

"Rea, makan dulu Nak, sudah waktunya makan siang!" panggil Mamanya dari meja makan. "Kalau telat nanti maag-mu kumat."

"Iya Ma,” Rea langsung bergegas keluar dari kamar dan menghampiri Mamanya. "Wah, bakso! Mama memang orang yang paling sayang sama aku sedunia."

Rea memeluk Mamanya erat. Ia segera mengambil mangkok berisi mie bihun, mie telor kuning, sawi hijau, sedikit tetesan kecap manis dan taburan bawang goreng yang cukup banyak kearah sebuah panci yang tersangga kuat diatas kompor dengan api yang masih menyala. Di dalam panci tersebut berisi kuah mendidih dan bakso ayam yang begitu menggoda untuk disantap. Tangan kanannya segera menangkap centong sayur untuk mengambil kuah dengan beberapa bakso. Rea sempat menghirup aroma bakso yang begitu menggugah selera dan membawanya ke meja makan. Diambilnya sambal khusus bakso yang telah diulek oleh asisten rumah tangga kepercayaan Mamanya. Tidak tanggung-tanggung, dua sendok makan sambal telah masuk ke dalam mangkok berisi bakso milik Rea. Mama yang melihat anaknya seperti kesetanan sambal hanya bisa membelalak kaget.

"Kamu tidak salah mengambil sambelnya? Kalau maag kamu kumat gimana?"

"Tenang saja Ma, bukan maag yang kumat, paling mencret-mencret! hahahaha," Rea tertawa menganggap enteng ucapan Mamanya.

"Dasar anak keras kepala, dibilangin malah ngeyel," Mama memandangi anaknya yang begitu menikmati bakso buatannya sambil bertopang dagu. "Mama nggak mau tahu ya kalau kamu ngeluh maag-mu kumat"

Iya...iya..., bawel amat sih Mamaku ini, Rea bergumam dalam hati.

"Ngomong-ngomong Papa kemana Ma? Kok enggak kelihatan dari pagi?" Rea masih menyempatkan diri bertanya pada saat menyeruput mie bakso yang sedang ia nikmati.

"Hah, kayak kamu nggak tahu saja sikap Papamu itu. Mana pernah Papamu betah di rumah? Ia sibuk ngurusin kontrakannya yang ada dimana-mana!" Wahya pasang muka tidak senang. Sebenarnya ia sadar bahwa ketika ia memutuskan untuk menerima pinangan dari suaminya, ia harus siap menghadapi suaminya yang maniak kerja. Namun terkadang ia merasakan kesepian yang mendalam setiap kali suaminya bersikap seperti itu. Untung saja masih ada Rea, anak tengahnya yang menemani dirinya untuk melewati hari-hari kesepiannya. Entah apa jadinya seandainya Rea tidak ada disini. "Papamu itu paling susah kalau diminta santai sedikit. Maunya kerja terus!"

"Namanya juga investasi masa depan Ma," Rea menyengir menghibur sang Mama. "Sebentar lagi kan Papa pensiun, lebih baik awalnya pontang-panting dulu baru dinikmati hasilnya kemudian..."

"Tapi ya nggak begitu juga caranya, sekali-kali kek ngumpul bareng sama keluarganya," Mama berkeluh kesah. "Kakakmu juga begitu, mentang-mentang sedang dinas ke Yogya, dia borong sekalian keluarganya dari Jambi langsung ke Yogya tanpa mampir ke rumah. Terlebih lagi adikmu, jadwal terbangnya sebagai pramugari khusus penerbangan luar negeri membuat ritme liburnya berantakan."

"Jangan khawatir Ma, aku tahu benar kok Papa melakukan semua ini karena Papa sayang sama Mama. Papa nggak mau ketika masa pensiun tiba dapur tidak ngebul seperti Papa yang sekarang masih aktif bekerja, mengenai Mas Andra dan Alexa, dimaklumi saja, Mas Andra kan sekalian mengantarkan istri dan anaknya pulang ke kampung halaman istrinya, kan jarang-jarang tuh dapat kesempatan double, dinas plus pulang kampung. Hitung-hitunglah berbakti sama keluarga mertua. Kalau Dek Alexa memang sudah resiko pekerjaannya, nanti kalau off juga pasti pulang, selama mereka tidak disini kan ada aku yang nemenin Mama, hehehe..."

"Mama mengerti," Akhirnya Wahya tersenyum juga setelah mendengarkan masukan dari anaknya. Seperti mantra sihir, ucapan si putri tengahnya itu meluluhkan hatinya. "Setelah selesai makan jangan lupa untuk melanjutkan beres-beres kamarnya ya, Mama masih pusing melihat kamarmu yang berantakan!"

"Yah, masa' nggak boleh istirahat dulu Ma?" Rengek Rea dengan wajah sok imutnya.

"Memangnya dari tadi Mama nggak perhatiin kalau kamu lambat sekali beres-beres kamarnya karena disambi baca komik? Itu kan sama saja dengan istirahat,” Mama meminum teh hangat yang dibuatnya sendiri. "Kalau Mama jadi kamu, jam segini harusnya sudah selesai!"

"Kenapa enggak Mama saja yang beresin kamarku?" Rea berucap polos.

"Eh, ini anak ngelawan ya," Belum sempat Mamanya melotot kearah Rea, ia buru-buru kabur duluan ke kamarnya dan langsung melanjutkan acara beres-beres kamarnya.

Buku-buku yang tertumpuk tidak rapi itu pelan-pelan dirapikannya. Hingga ia melihat sebuah binder note ukuran sedang berisi catatan-catatan penting ketika ia masih kuliah dulu. Dibukanya satu per satu halaman kertas file yang ada di dalamnya sampai dengan halaman terakhir. Ia tertawa geli begitu menemukan daftar cita-cita yang ingin diraihnya. Ia ingat, sang Papa selalu menekankan pada setiap anaknya, bahwa jika mempunyai cita-cita catatlah dan apabila cita-cita itu telah tercapai berilah tanda. Rea pun asyik memberikan tanda silang di setiap cita-cita yang telah dicapainya. Ketika ia melihat point kelima belas, kalimat yang tertera langsung membuatnya terdiam. Matanya menatap nanar. Ia seperti menemukan apa yang hilang di dalam hatinya selama ini.

'Ingin bertemu kembali dengan Daiki, lelaki Jepang yang pernah aku temui ketika aku ngekos dulu. Memperbaiki hubungan dan menikah dengannya serta memiliki keluarga bahagia bersamanya dengan anak-anak yang lucu-lucu.'

Apakah selama ini hatinya masih menyimpan rasa pada lelaki itu? Apakah ini penyebab setelah permasalahan hatinya dengan Daniel selesai ia tak kunjung pula membuka hati? Apakah sebenarnya Daniel hanya pelampiasan ketika sekian lama dirinya tidak membuka hatinya? Bagaimana bisa? Sepuluh tahun sudah berlalu, mungkin saja lelaki itu sudah menemukan jodohnya dan berbahagia. Sementara dirinya masih stuck dengan status lajangnya. Tanpa ia sadari senyumnya berubah miris dan air matanya tiba-tiba mengalir di pipi mulusnya. Isak tangis terdengar lirih, bibirnya mengalunkan doa memohon ampunan kepada Yang Maha Kuasa jika apa yang sedang ia lakukan saat ini menyakiti dirinya sendiri.

Sementara itu ditempat yang sangat jauh tampak seorang lelaki berdiri tegap menghadap kearah luar pemandangan indah Tokyo di sore hari yang perlahan mulai dipenuhi cahaya lampu. Hanya kaca tembus pandang berukuran besar yang membatasinya dengan gemerlap lampu itu.

"Apa ini?" Ia merasakan ada lelehan hangat mengalir dikedua pipinya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia merasakan sedang terhubung dengan seseorang yang ia sendiri tak tahu siapa dia. Terkadang ia bisa tertawa atau senang tanpa alasan tertentu dan kali ini ia menangis tanpa sebab yang pasti.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!