Rencana yang Gagal

Jepang…

Satu Negara yang entah sejak kapan selalu memenuhi pikiran Rea…

Hasrat yang begitu mendalam untuk pergi ke sana dengan alasan yang tidak pasti. Apakah karena obsesi mengejar lelaki Jepang bernama Daiki yang ia kenal ketika kuliah dulu? Atau ada obsesi lainnya? Yang pasti keinginan itu begitu menggebu di dalam hati Rea.

Ia ingin mencoba peruntungan mengikuti program beasiswa S2 ke sana, namun tiba-tiba harapannya musnah ketika Wahya, sang Mama, mengucapkan sebait kalimat yang membuatnya serasa ditampar keras dan bibirnya terkunci diam seribu bahasa untuk menyerah menggapai negeri itu…

“Kamu jangan marah ya Nak, bukannya Mama tidak setuju kamu mencoba mendaftar untuk mendapatkan beasiswa S2 ke Jepang. Namun entah mengapa perasaan Mama mengatakan kalau kamu tidak akan melanjutkan S2-mu ke sana.”

Setelah mendengar kata-kata sakti yang keluar dari bibir Widya sontak membuat Rea langsung menyerah. Ucapan Widya bak doa yang seolah akan langsung dikabulkan oleh pemilik semesta alam. Feeling seorang ibu yang tidak pernah meleset mengenai putrinya. Setiap kali ia melanggar ucapan dari sang mama dan terus memaksakan kehendaknya, yang didapat hanyalah kesengsaraan. Tidak hanya sekali atau dua kali, hal tersebut sudah berkali-kali hingga akhirnya saat ini ia belajar untuk tidak lagi melanggar ucapan mamanya. Namun entah mengapa ucapan terakhir mama kali ini terasa berat sekali? Salah dimanakah dirinya sehingga mamanya mengucapkan kata-kata tabu itu untuknya?

“Hah…,” Rea menghela napasnya dengan berat seolah ia begitu sulit untuk bernapas. Ditatapnya monitor LCD ukuran 21 inch komputer di ruang kerjanya. Tumpukan dokumen yang seharusnya diselesaikannya saat itu juga begitu enggan ia sentuh. Tangannya seolah kaku untuk menjamah mereka. Padahal biasanya, untuk urusan pekerjaan ia selalu bersemangat dan menomorsatukannya. Perasaan terpuruk yang teramat sangat bergelut keras di hatinya. Rencana-rencana yang ia susun sejak lama entah menguap hilang kemana. Semangat yang berkobar-kobar seperti orang kesurupan untuk mengejar beasiswa S2 ke Jepang dengan memaksakan diri belajar bahasa Jepang dan mencari bahan untuk proposal yang hendak diajukannya kepada profesor-profesor universitas di Jepang hilang tak berbekas. Ditambah kesibukan yang telah menyita waktunya sebagai Treasury Manager di tempat ia bekerja saat ini membuatnya semakin jauh dari harapan untuk menggapai niatnya itu. Entah mengapa keinginan untuk mengunjungi negara itu begitu besar. Ia sendiripun terkadang bingung dengan dirinya sendiri mengapa ia sangat ingin ke sana.

“Hayo, sedang mikirin apa?” Sebuah tepukan mendarat cukup keras menyentuh pundak Rea membuyarkan pikirannya.

“Mas Rio?!” Sontak Rea langsung mendongak ke atas tepat kearah Rio,lelaki jangkung dengan tinggi 178 cm berkulit putih dan bermata sipit itu tersenyum kepadanya. “Bikin kaget saja.”

“Ada masalah?” Mas Rio menarik kursi kosong yang tepat berada di depan Rea dan duduk di kursi itu.

“Kurasa,” Rea berkata pelan, sejenak ia menghentikan kalimatnya. Ia menelan air ludahnya berusaha menyelesaikan kata-kata yang akan diucapkannya. Ia sungguh putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. “Aku harus membatalkan niatku untuk mengajukan beasiswa S2 ke Jepang.”

“Lho, kok bisa?” Rio menunjukkan keterkejutannya. Matanya yang sipit itu terbuka lebar. “Bukankah persiapanmu sudah berjalan 50% ? Kenapa tiba-tiba dibatalin?!”

“Gimana ya menjelaskannya?” Rea menggoyang-goyangkan kursinya dan menengadahkan kepalanya memandang ke langit-langit memikirkan kata-kata yang cocok untuk diutarakan kepada partner kerja yang paling dekat dengannya di kantor. Rea yang memiliki seorang kakak lelaki yang bekerja di Jambi, sudah menganggap Rio sebagai pengganti kakaknya untuk dapat bertukar pikiran mengenai masalah apapun karena baginya Rio selalu bersikap bijak dan men-support langkah-langkah yang diambilnya.

“Gimana apanya?” Rio mengernyitkan alisnya.

“Mamaku Mas…,” Rea kembali menghentikan sejenak ucapannya. “Semalam Mama berkata bahwa beliau tidak setuju kalau aku melanjutkan S2 ke Jepang.”

“Hah?! Bukankah awalnya beliau sudah setuju?”

“Begitulah, awalnya saja setuju, tapi ternyata didalam hati Mama, beliau tidak setuju sama sekali!” Rea menghela napas lagi. “Untuk kedua kalinya aku dengar kata-kata itu dari orang yang sama, dulu beliau pernah berkata bahwa beliau tidak setuju aku melanjutkan S1-ku ke sana dan alhasil aku gagal di tes wawancara akhir, sekarang masih juga belum mendapatkan restu? Kenapa ya? Apa aku masih belum bisa dipercaya oleh Mama untuk dilepas sendirian? Kalau ingat umurku yang sudah tiga puluh satu tahun ini, rasanya julukan anak mami sudah tidak cocok lagi nempel di diriku Mas.”

“Sayang sekali ya, harus batal rencananya,” Rio tersenyum sedikit kecewa. Ia sangat mengetahui bahwa ‘adik’-nya ini sangat ingin besekolah disana. Seolah dapat membaca pikiran Rea, Rio merasa ada dorongan kuat dari diri Rea untuk kekeuh ingin ke Jepang. Tapi bagaimanapun ia berusaha menerawang alasan kuat dibalik keinginan Rea itu, ia tak dapat menemukannya. Yang ia tahu Rea sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan negara Matahari Terbit itu.

“Mau gimana lagi? Mas Rio tahu sendiri kan bahwa kata-kata seorang Ibu itu ibarat sebuah doa dan restu, kalau Mamaku bilang enggak dan aku terus ngotot untuk menjalankan rencanaku pasti ujung-ujungnya gagal dan kecewa yang aku dapat. Daripada kecewa belakangan lebih baik aku pilih kecewa di depan!” Rea merutuk nasibnya. Ia menyandarkan punggung serta kepalanya ke kursi dan memijit pelan bagian pelipisnya yang berdenyut menahan stres yang ia rasakan.

“Terus rencanamu selanjutnya apa?”

“Paling aku akan melanjutkan S2 di sini saja, tapi nggak tahu kapan, nunggu mood-ku baik dulu kali,” Rea mengangkat kedua bahunya.

“Yah, selamat berjuang ya! Balikin mood-nya jangan kelamaan, kasihan Pak Fajar kalo tahu anak buah andalannya mood-nya memburuk kemudian jatuh sakit lagi,” Rio bangkit dari duduknya. Ditepuk-tepuknya kepala Rea pelan memberikan semangat.

“Apapun pilihan yang kamu pilih aku akan selalu support deh.”

“Bisa saja kamu Mas,” Akhirnya sebuah tawa kecil tergurat di bibir mungil Rea. “Makasih ya sudah mendengarkan curhatanku, Mas Rio memang kakakku yang paling mengerti aku…”

“Ya…ya…ya…,” Rio melambaikan tangan kanannya tanpa membalikkan badannya. “Cepat selesain tuh laporan keuangan bulanannya, supaya aku juga cepat membuat laporan analisisnya, kita sedang proses pembuatan laporan akhir tahun lho.”

“Pasti gue selesain!” Rea berkata setengah berteriak.

Ya, aku nggak boleh sedih berlarut-larut! Masih banyak yang harus dikerjakan! Re, semangat!! Gumamnya dalam hati. Ia segera mengambil headset yang telah tersambung dengan komputer dan sejak tadi tergantung di leher untuk kemudian memasangnya dikedua telinganya. Diputarnya lagu-lagu favorit andalannya untuk membantu mengembalikan semangat dan kembali fokus dengan pekerjaan yang ada di hadapannya. Tanpa Rea sadari Pak Fajar sejak tadi memperhatikan anak buah kesayangannya itu. Ia pun mengelus dada tanda kelegaan. Ia memberikan kode ucapan terima kasih kepada Rio dengan mengacungkan jempol kanannya dan ditanggapi kembali oleh acungan jempol dari Rio. Kekhawatirannya akan mood buruk Rea ternyata tidak harus dideritanya terlalu lama. Ia sangat memaklumi tekanan yang dirasakan anak buahnya itu. Karena ia adalah satu-satunya Treasury Manager yang paling diandalkan olehnya sebagai Senior Manager Keuangan.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!