HOPE

HOPE

BAB 1

Laut memiliki kemampuan untuk membuai, Jenaka membiarkan dirinya terbuai tanpa perlawanan sedikit pun. Dengan tenang, ia memperhatikan ombak berwarna biru bergulung-gulung menuju pasir putih menyilaukan.

Meski pun Jenaka bukan tipe orang yang suka duduk tanpa melakukan sesuatu, namun sekarang ia cukup puas, duduk di teras villa pantai yang ia sewa. Jenaka menyelonjorkan kaki jenjangnya yang mulus dan terlihat bersantai, tanpa melakukan apa pun selain melihat ombak dan mendengarkan gemuruh ombak yang mendekat lalu menjauh lagi.

Jenaka bisa melihat burung-burung yang berkiacauan, suaranya menambah simfoni yang diciptakan deru angin dan gemuruh ombak. Di sisi kanan, Jenaka melihat matahari berwarna oranye keemasan tenggelam ke air, membuat permukaan laut seolah terbakar.

Pemandangan itu pasti memukau jika diabadikan dalam foto, tapi sayangnya Jenaka terlalu enggan meninggalkan tempat duduknya untuk mengambil kameranya. Hari ini mengagumkan, dan sejak tadi Jenaka tidak melakukan kegiatan yang berarti selain berjalan menyusuri pantai dan berenang di pantai Lombok yang biru bergaris-garis hijau.

'Astaga, alangkah indahnya pemandangan ini. Liburanku begitu sempurna.'

Selama dua minggu, Jenaka berjalan-jalan sendirian menyusuri pasir, sambil bermalas-malasan dengan perasaan bahagia. Di villa yang ia sewa tidak ada jam dinding, ia sendiri tidak memakai jam tangan sejak pesawatnya mendarat di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM), baginya waktu tidaklah penting.

Pukul berapa pun ia terbangun, kalau lapar ia akan berjalan kaki menuju rumah makan yang tak jauh dari vilanya. Di sekitaran villanya terdapat banyak rumah makan serta hotel atau villa. Saat musim liburan seperti ini banyak para wisatawan domestik ataupun mancanegara yang berdatangan untuk menghabiskan waktu liburan mereka. Sama seperti Jenaka, yang sudah sangat penat dengan aktivitasnya di Jakarta, ia ingin mengurai kepenatannya dengam bersantai di pinggiran pantai yang mempesona.

Jenaka merasa terlahir kembali setelah dua minggu liburan yang sarat akan kenikmatan dan ketenangan.

Perhatian Jenaka tersita oleh perahu layar yang berada di tengah laut, perahu itu berlayar menuju bibir pantai dengan sangat lambat. Ia begitu asyik mengamati perahu layar sehingga tidak sadar seseorang mendatangi teras villanya, sampai pria itu berada di hadapannya barulah Jenaka tersadar, namun Jenaka tetap tidak mengubah posisi tubuhnya yang santai.

Seorang pria jangkung berambut hitam legam berdiri memperhatikan Jenaka. “Nona Tatjana?” pria itu bertanya dengan sopan.

Jenaka melengkungkan punggung rampingnya karena heran, lalu ia berdiri sambil mengulurkan tangan pada pria itu. “Ya, saya Jenaka Tatjana. Siapa Anda…?”

“Dante Oliver,” sahut pria itu sambil menyambut tangan Jenaka dan mengguncangnya dengan mantap. “Saya sadar kedatangan saya mengganggu liburan Anda, Nona Tatjana. tapi ada hal penting yang saya ingin berbicara dengan Anda.”

“Silakan duduk,” Jenaka mempersilakan sambil memberi isyarat ke kursi teras di sebelah kursi yang tadi ia duduki, kemudian ia duduk lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Terima kasih,” sahut pria itu penuh semangat. “Kira-kira beberapa minggu lalu saya mengirimkan email kepada Anda terkait pasien yang saya ingin Anda tangani, Sakalingga Ibra.”

Jenaka mengernyit sedikit. “Saya ingat. Tapi saya sudah membalas email Anda sebelum saya berangkat liburan, Pak Dante. Apakah Anda tidak membaca emailku?”

“Saya sudah membacanya,” sahut Dante. “Saya kemari untuk meminta Anda mempertimbangkan kembali penolakan Anda. Kondisi Tuan Lingga menurun dengan cepat. Saya yakin Anda bisa...”

“Saya bukan Tuhan ataupun Malaikat,” Jenaka menyela dengan lembut. “Lagi pula pasien yang menunggu saya saat ini sudah banyak. Mengapa saya harus mendahulukan Tuan Lingga dari pada pasien-pasien lain yang membutuhkan jasa saya sebesar Tuan Lingga membutuhkannya?”

“Apakah pasien-pasien Anda yang lain sedang kritis?” tanya Dante tanpa basa-basi.

“Apakah Tuan Lingga hampir menemui ajalnya? karena dari informasi yang Bapak sampaikan di email itu, operasi terakhir berjalan sukses. Ada terapis lain yang lebih hebat dari saya yang bersedia membantunya terapi."

Dante menatap laut dengan puncak ombak yang keemasan karena matahari mulai tenggelam. “Tuan Lingga tak akan hidup sampai setahun lagi,” terang Dante, ekspresi muram melintas di wajahnya yang bersahaja tapi tegas. “Begini, Nona Tatjana. Tuan Lingga tidak percaya bahwa dia akan bisa berjalan lagi dan dia sudah menyerah. Dia sengaja membiarkan dirinya mati, dia tidak mau makan, jarang tidur, dan menolak keluar rumah.”

Jenaka mengembuskan napas. "Terkadang depresi menjadi aspek tersulit yang memengaruhi kondisi pasien, menyedot energi dan tekad berjuang." Jenaka sering melihat hal itu dari beberapa pasiennya. “Tapi bukankah sudah ada terapis yang menanganinya?"

“Ya, saya sudah menggunakan jasa dua orang terapis, dan dua-duanya tidak ada yang bertahan sampai seminggu. Tuan Lingga sepenuhnya menolak bekerja sama, dan berkata terapi hanya membuang waktu dan membuatnya sibuk. Dokter memberitahu Tuan Lingga bahwa operasinya sukses, tapi Tuan Lingga tetap belum bisa menggerakkan kakinya, sehingga dia tidak lagi percaya pada kata-kata dokter. Tapi dokter Jizzy menyarankan saya menemui Anda, beliau mengatakan Anda memiliki tingkat keberhasilan sangat tinggi dalam menghadapi pasien-pasien yang tidak mau di ajak bekerja sama, dan Anda memiliki metode-metode terapi yang tidak biasa.”

Jenaka tersenyum kecut. “Jelas saja dia berkata seperti itu, dokter Jizzy sendiri yang melatih saya.”

Dante membalas dengan senyum singkat. “Saya mengerti. Meski begitu, saya tetap yakin Anda merupakan kesempatan terakhir Tuan Lingga. Jika Anda merasa pasien Anda yang lain lebih membutuhkan perhatian, mari ikut saya ke Bandung untuk bertemu Tuan Lingga. Menurut saya, Anda akan mengerti mengenai alasan saya mengapa saya begitu khawatir pada Tuan Lingga, setelah Anda bertemu langsung dengan Tuan Lingga.”

Jenaka tampak ragu saat mempertimbangkan tawaran itu. Secara profesional, hatinya terbelah antara menolak dan menyetujui. Di tangannya ada tanggung jawab lain, pasien-pasien lain yang bergantung padanya, lalu mengapa ia harus mendahulukan Tuan Sakalingga Ibra?

Tapi, di sisi lain, Sakalingga Ibra terdengar menantang keahlian Jenaka, dan Jenaka tipe pribadi yang selalu menjawab tantangan hingga batas kemampuannya. Ia sangat percaya diri kalau menyangkut profesi yang ia pilih. Ia menikmati kepuasan saat berhasil menyelesaikan tugas dan meninggalkan pasiennya dalam keadaan sudah mampu bergerak lebih banyak dari sebelum ia tangani.

Selama bertahun-tahun bekerja sebagai terapis pribadi, melanglang buana ke penjuru tanah air untuk datang ke rumah para pasien, Jenaka menorehkan segudang keberhasilan dengan rekor menakjubkan.

“Tuan Lingga pria yang luar biasa,” ucap Dante pelan. “Dia bukan hanya seorang pengusaha biasa yang hanya terikat pada meja kerjanya, tapi Tuan Lingga mampu merakit helikopter dan menerbangkannya sendiri untuk menguji helikopter buatannya, ia juga seorang pendaki gunung, pembalap motor, dan penyelam. Dia pria yang betah di darat, laut, maupun udara. Tapi sekarang dia hanya bisa duduk di kursi roda dan hal itu membunuhnya."

“Lalu kegemaran apa yang dia lakukan saat mengalami kecelakaan itu?” tanya Jenaka.

“Mendaki gunung. Tali yang mengikat tubuhnya tersangkut di batu, ia berusaha untuk turun tapi gerakan yang Tuan Lingga lakukan membuat tali tergesek hingga terputus. Dia terjun bebas sejauh 45 kaki, tubuhnya terpental, dan terguling sejauh enam meter. Beruntungnya ketebalan padang rumput yang cukup tinggi, mampu melindunginya sehingga nyawanya selamat. Tuan Lingga sering mengatakan jika dia tidak perlu menjalani sisa hidupnya sebagai orang cacat.”

“Tolong ceritakan tentang luka-luka yang dia derita!” pinta Jenaka sambil berpikir keras.

Dante bangkit berdiri. “Saya membawa laporan kondisinya, lengkap dengan hasil rontgen. Semuanya ada di mobil, dokter Jizzy menyarankan saya membawanya.”

“Jizzy memang licik,” gumam Jenaka ketika Dante meninggalkan teras. Dokter Jizzy sangat tahu cara mengusik rasa penasaran Jenaka, cara menempatkan kasus tertentu di depan mata wanita itu.

Sekarang saja Jenaka sudah tertarik, persis keinginan dokter Jizzy. Jenaka akan mengambil keputusan setelah melihat hasil rontgen dan membaca riwayat kecelakaan pria itu. Jika menurutnya ia tidak bisa menolong Lingga, ia takkan membuat pria itu lelah menjalani terapi.

Tak lama kemudian Dante datang membawa amplop manila tebal. Ia menyerahkan amplop itu pada Jenaka, lalu menunggu dengan sabar. Alih-alih membuka amplop, Jenak malah mengetuk-ngetuk berkasnya dengan kuku.

“Izinkan saya mempelajari berkas-berkasnya malam ini, Pak Dante,” ucap Jenaka dengan tegas. “Saya tidak bisa hanya membaca sekilas lalu membuat keputusan. Saya akan memberikan jawaban besok pagi.”

Ekspresi tak sabar berkelebat di wajah Dante, ia mengangguk dengan cepat. “Terima kasih karena bersedia mempertimbangkannya, Nona Tatjana.”

Setelah Dante pergi, Jenaka berlama-lama mengarahkan pandangan ke arah pantai, menonton gulungan ombak yang tiada henti mendatangi pantai.

Untungnya liburan Jenaka akan berakhir, ia sudah puas menikmati pesisir pantai Lombok tanpa melakukan kegiatan berarti selain berjalan di tengah sapuan ombak. Jenaka sempat mulai mempertimbangkan pekerjaan selanjutnya meski masih sedikit malas, tapi sekarang kelihatannya rencananya berubah.

Terpopuler

Comments

Evelyne

Evelyne

awalan yang bagus.. gw suka pembukaan yang seoerti ini...yang tanpa perlu perkenalan nama bla bla bla... ok...kita lanjut buat liat keseruan nya...

2023-05-29

2

MinSya 7

MinSya 7

galfok bener ma namanya kirain laki ehh ternyata nona 🤣🤣🤣

2023-04-15

2

MinSya 7

MinSya 7

kenapa liburan Sorang" kenapa ga ngajak aq 😔

2023-04-15

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!