NovelToon NovelToon

HOPE

BAB 1

Laut memiliki kemampuan untuk membuai, Jenaka membiarkan dirinya terbuai tanpa perlawanan sedikit pun. Dengan tenang, ia memperhatikan ombak berwarna biru bergulung-gulung menuju pasir putih menyilaukan.

Meski pun Jenaka bukan tipe orang yang suka duduk tanpa melakukan sesuatu, namun sekarang ia cukup puas, duduk di teras villa pantai yang ia sewa. Jenaka menyelonjorkan kaki jenjangnya yang mulus dan terlihat bersantai, tanpa melakukan apa pun selain melihat ombak dan mendengarkan gemuruh ombak yang mendekat lalu menjauh lagi.

Jenaka bisa melihat burung-burung yang berkiacauan, suaranya menambah simfoni yang diciptakan deru angin dan gemuruh ombak. Di sisi kanan, Jenaka melihat matahari berwarna oranye keemasan tenggelam ke air, membuat permukaan laut seolah terbakar.

Pemandangan itu pasti memukau jika diabadikan dalam foto, tapi sayangnya Jenaka terlalu enggan meninggalkan tempat duduknya untuk mengambil kameranya. Hari ini mengagumkan, dan sejak tadi Jenaka tidak melakukan kegiatan yang berarti selain berjalan menyusuri pantai dan berenang di pantai Lombok yang biru bergaris-garis hijau.

'Astaga, alangkah indahnya pemandangan ini. Liburanku begitu sempurna.'

Selama dua minggu, Jenaka berjalan-jalan sendirian menyusuri pasir, sambil bermalas-malasan dengan perasaan bahagia. Di villa yang ia sewa tidak ada jam dinding, ia sendiri tidak memakai jam tangan sejak pesawatnya mendarat di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM), baginya waktu tidaklah penting.

Pukul berapa pun ia terbangun, kalau lapar ia akan berjalan kaki menuju rumah makan yang tak jauh dari vilanya. Di sekitaran villanya terdapat banyak rumah makan serta hotel atau villa. Saat musim liburan seperti ini banyak para wisatawan domestik ataupun mancanegara yang berdatangan untuk menghabiskan waktu liburan mereka. Sama seperti Jenaka, yang sudah sangat penat dengan aktivitasnya di Jakarta, ia ingin mengurai kepenatannya dengam bersantai di pinggiran pantai yang mempesona.

Jenaka merasa terlahir kembali setelah dua minggu liburan yang sarat akan kenikmatan dan ketenangan.

Perhatian Jenaka tersita oleh perahu layar yang berada di tengah laut, perahu itu berlayar menuju bibir pantai dengan sangat lambat. Ia begitu asyik mengamati perahu layar sehingga tidak sadar seseorang mendatangi teras villanya, sampai pria itu berada di hadapannya barulah Jenaka tersadar, namun Jenaka tetap tidak mengubah posisi tubuhnya yang santai.

Seorang pria jangkung berambut hitam legam berdiri memperhatikan Jenaka. “Nona Tatjana?” pria itu bertanya dengan sopan.

Jenaka melengkungkan punggung rampingnya karena heran, lalu ia berdiri sambil mengulurkan tangan pada pria itu. “Ya, saya Jenaka Tatjana. Siapa Anda…?”

“Dante Oliver,” sahut pria itu sambil menyambut tangan Jenaka dan mengguncangnya dengan mantap. “Saya sadar kedatangan saya mengganggu liburan Anda, Nona Tatjana. tapi ada hal penting yang saya ingin berbicara dengan Anda.”

“Silakan duduk,” Jenaka mempersilakan sambil memberi isyarat ke kursi teras di sebelah kursi yang tadi ia duduki, kemudian ia duduk lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Terima kasih,” sahut pria itu penuh semangat. “Kira-kira beberapa minggu lalu saya mengirimkan email kepada Anda terkait pasien yang saya ingin Anda tangani, Sakalingga Ibra.”

Jenaka mengernyit sedikit. “Saya ingat. Tapi saya sudah membalas email Anda sebelum saya berangkat liburan, Pak Dante. Apakah Anda tidak membaca emailku?”

“Saya sudah membacanya,” sahut Dante. “Saya kemari untuk meminta Anda mempertimbangkan kembali penolakan Anda. Kondisi Tuan Lingga menurun dengan cepat. Saya yakin Anda bisa...”

“Saya bukan Tuhan ataupun Malaikat,” Jenaka menyela dengan lembut. “Lagi pula pasien yang menunggu saya saat ini sudah banyak. Mengapa saya harus mendahulukan Tuan Lingga dari pada pasien-pasien lain yang membutuhkan jasa saya sebesar Tuan Lingga membutuhkannya?”

“Apakah pasien-pasien Anda yang lain sedang kritis?” tanya Dante tanpa basa-basi.

“Apakah Tuan Lingga hampir menemui ajalnya? karena dari informasi yang Bapak sampaikan di email itu, operasi terakhir berjalan sukses. Ada terapis lain yang lebih hebat dari saya yang bersedia membantunya terapi."

Dante menatap laut dengan puncak ombak yang keemasan karena matahari mulai tenggelam. “Tuan Lingga tak akan hidup sampai setahun lagi,” terang Dante, ekspresi muram melintas di wajahnya yang bersahaja tapi tegas. “Begini, Nona Tatjana. Tuan Lingga tidak percaya bahwa dia akan bisa berjalan lagi dan dia sudah menyerah. Dia sengaja membiarkan dirinya mati, dia tidak mau makan, jarang tidur, dan menolak keluar rumah.”

Jenaka mengembuskan napas. "Terkadang depresi menjadi aspek tersulit yang memengaruhi kondisi pasien, menyedot energi dan tekad berjuang." Jenaka sering melihat hal itu dari beberapa pasiennya. “Tapi bukankah sudah ada terapis yang menanganinya?"

“Ya, saya sudah menggunakan jasa dua orang terapis, dan dua-duanya tidak ada yang bertahan sampai seminggu. Tuan Lingga sepenuhnya menolak bekerja sama, dan berkata terapi hanya membuang waktu dan membuatnya sibuk. Dokter memberitahu Tuan Lingga bahwa operasinya sukses, tapi Tuan Lingga tetap belum bisa menggerakkan kakinya, sehingga dia tidak lagi percaya pada kata-kata dokter. Tapi dokter Jizzy menyarankan saya menemui Anda, beliau mengatakan Anda memiliki tingkat keberhasilan sangat tinggi dalam menghadapi pasien-pasien yang tidak mau di ajak bekerja sama, dan Anda memiliki metode-metode terapi yang tidak biasa.”

Jenaka tersenyum kecut. “Jelas saja dia berkata seperti itu, dokter Jizzy sendiri yang melatih saya.”

Dante membalas dengan senyum singkat. “Saya mengerti. Meski begitu, saya tetap yakin Anda merupakan kesempatan terakhir Tuan Lingga. Jika Anda merasa pasien Anda yang lain lebih membutuhkan perhatian, mari ikut saya ke Bandung untuk bertemu Tuan Lingga. Menurut saya, Anda akan mengerti mengenai alasan saya mengapa saya begitu khawatir pada Tuan Lingga, setelah Anda bertemu langsung dengan Tuan Lingga.”

Jenaka tampak ragu saat mempertimbangkan tawaran itu. Secara profesional, hatinya terbelah antara menolak dan menyetujui. Di tangannya ada tanggung jawab lain, pasien-pasien lain yang bergantung padanya, lalu mengapa ia harus mendahulukan Tuan Sakalingga Ibra?

Tapi, di sisi lain, Sakalingga Ibra terdengar menantang keahlian Jenaka, dan Jenaka tipe pribadi yang selalu menjawab tantangan hingga batas kemampuannya. Ia sangat percaya diri kalau menyangkut profesi yang ia pilih. Ia menikmati kepuasan saat berhasil menyelesaikan tugas dan meninggalkan pasiennya dalam keadaan sudah mampu bergerak lebih banyak dari sebelum ia tangani.

Selama bertahun-tahun bekerja sebagai terapis pribadi, melanglang buana ke penjuru tanah air untuk datang ke rumah para pasien, Jenaka menorehkan segudang keberhasilan dengan rekor menakjubkan.

“Tuan Lingga pria yang luar biasa,” ucap Dante pelan. “Dia bukan hanya seorang pengusaha biasa yang hanya terikat pada meja kerjanya, tapi Tuan Lingga mampu merakit helikopter dan menerbangkannya sendiri untuk menguji helikopter buatannya, ia juga seorang pendaki gunung, pembalap motor, dan penyelam. Dia pria yang betah di darat, laut, maupun udara. Tapi sekarang dia hanya bisa duduk di kursi roda dan hal itu membunuhnya."

“Lalu kegemaran apa yang dia lakukan saat mengalami kecelakaan itu?” tanya Jenaka.

“Mendaki gunung. Tali yang mengikat tubuhnya tersangkut di batu, ia berusaha untuk turun tapi gerakan yang Tuan Lingga lakukan membuat tali tergesek hingga terputus. Dia terjun bebas sejauh 45 kaki, tubuhnya terpental, dan terguling sejauh enam meter. Beruntungnya ketebalan padang rumput yang cukup tinggi, mampu melindunginya sehingga nyawanya selamat. Tuan Lingga sering mengatakan jika dia tidak perlu menjalani sisa hidupnya sebagai orang cacat.”

“Tolong ceritakan tentang luka-luka yang dia derita!” pinta Jenaka sambil berpikir keras.

Dante bangkit berdiri. “Saya membawa laporan kondisinya, lengkap dengan hasil rontgen. Semuanya ada di mobil, dokter Jizzy menyarankan saya membawanya.”

“Jizzy memang licik,” gumam Jenaka ketika Dante meninggalkan teras. Dokter Jizzy sangat tahu cara mengusik rasa penasaran Jenaka, cara menempatkan kasus tertentu di depan mata wanita itu.

Sekarang saja Jenaka sudah tertarik, persis keinginan dokter Jizzy. Jenaka akan mengambil keputusan setelah melihat hasil rontgen dan membaca riwayat kecelakaan pria itu. Jika menurutnya ia tidak bisa menolong Lingga, ia takkan membuat pria itu lelah menjalani terapi.

Tak lama kemudian Dante datang membawa amplop manila tebal. Ia menyerahkan amplop itu pada Jenaka, lalu menunggu dengan sabar. Alih-alih membuka amplop, Jenak malah mengetuk-ngetuk berkasnya dengan kuku.

“Izinkan saya mempelajari berkas-berkasnya malam ini, Pak Dante,” ucap Jenaka dengan tegas. “Saya tidak bisa hanya membaca sekilas lalu membuat keputusan. Saya akan memberikan jawaban besok pagi.”

Ekspresi tak sabar berkelebat di wajah Dante, ia mengangguk dengan cepat. “Terima kasih karena bersedia mempertimbangkannya, Nona Tatjana.”

Setelah Dante pergi, Jenaka berlama-lama mengarahkan pandangan ke arah pantai, menonton gulungan ombak yang tiada henti mendatangi pantai.

Untungnya liburan Jenaka akan berakhir, ia sudah puas menikmati pesisir pantai Lombok tanpa melakukan kegiatan berarti selain berjalan di tengah sapuan ombak. Jenaka sempat mulai mempertimbangkan pekerjaan selanjutnya meski masih sedikit malas, tapi sekarang kelihatannya rencananya berubah.

BAB 2

Setelah membuka amplop, Jenaka mengangkat hasil rontgen satu per satu ke arah matahari, ia meringis saat menyaksikan kerusakan yang dialami tubuh manusia yang dikenal kuat dan tangguh itu.

Sungguh mukjizat pria itu tidak tewas. Hasil rontgen yang diambil setiap kali operasi berjalan sukses, tulang-tulang mengalami kesembuhan lebih baik daripada seharusnya, sendi-sendi tulang kembali tersambung, logam penjepit dan penyangga tulang berhasil merekonstruksi tubuh pria itu dan menyatukannya kembali.

Jenaka mengamati satu set terakhir hasil rontgen yang memperlihatkan detail menakjubkan, ia yakin yang menangani pasien itu adalah ahli bedah genius. Ia melihat tidak ada kendala fisik yang menghalangi Lingga untuk berjalan kembali, saraf-sarafnya tidak mengalami kerusakan sepenuhnya.

Ketika mulai membaca laporan yang ditulis ahli bedah, Jenaka berkonsentrasi mempelajari setiap detail sehingga memahami sepenuhnya kerusakan apa yang terjadi dan upaya pemulihan seperti apa yang dilakukan.

Pria itu akan berjalan lagi. Jenaka akan membuat pria itu berjalan kembali! Akhir laporan menyebutkan kemajuan terkendala karena minimnya keinginan pasien bekerja sama dan keterpurukan pasien karena depresi. Jenaka seperti hampir bisa merasakan frustrasi dokter ahli bedah ketika menuliskan laporan itu.

Setelah mempelajarinya secara teliti, Jenaka menyatukan semua berkas, dan memasukkan kembali semuanya ke amplop. Seketika ia menyadari di dalam amplop masih ada sesuatu, sehelai kertas kaku yang tak ikut muncul ketika ia mengeluarkan berkas. Jenaka mengeluarkan kertas itu dan membaliknya. Ternyata bukan kertas biasa, melainkan foto.

Jenaka tertegun saat memandang mata cokelat yang begitu mempesona, mata yang seakan bersinar dan menari-nari oleh kegembiraan hidup. Dante Oliver ternyata orang yang licik, dia tahu hanya sedikit wanita yang kebal dengan pesona pria tampan di foto itu.

Jenaka langsung bisa menebak jika foto tersebut adalah Sakalingga Ibra sebelum mengalami kecelakaan. Rambut hitamnya yang acak-acakan, wajah putihnya tersenyum lebar sehingga memunculkan lesung menawan di pipi kirinya. Lingga hanya memakai celana pendek, tubuhnya tampak kuat dan berotot, kakinya yang panjang menunjukkan kekuatan atlet.

Di foto itu Lingga memegang ikan tuna berukuran besar, dengan latar biru yang menandakan laut dalam. Jadi, Lingga juga memancing di laut dalam. Apakah ada yang tidak bisa dilakukan pria itu? Sekarang ada. Jenaka mengingatkan dirinya bahwa sekarang pria itu tidak bisa berjalan.

Jenaka ingin menolak tawaran ini, sekadar menunjukkan kepada Dante Oliver bahwa ia tidak bisa dimanipulasi, tapi ketika menatap wajah Lingga di foto itu lekat-lekat, Jenaka tahu ia akan menerima tawaran Dante, dan perasaannya terusik saat mengetahui hal itu. Sudah lama sejak terakhir kali Jenaka tertarik pada seorang pria, sehingga ia terkejut mengetahui reaksinya saat menatap foto itu.

Tanpa sadar Jenaka menggerakkan telunjuknya, menyusuri garis luar wajah Lingga. Batinnya bertanya-tanya seperti apa hidupnya jika ia bisa menjadi wanita normal yang bisa mencintai dan dicintai oleh seorang pria. Hal yang terbukti mustahil dari pernikahannya terdahulu yang seumur jagung dan berakhir bencana.

Jenaka mendapatkan pembelajaran dengan cara yang begitu menyakitkan, tapi ia tak akan pernah melupakan pelajaran itu. Pria diciptakan bukan untuknya, seorang suami yang penuh kasih sayang dan anak-anak yang menggemaskan tidak diciptakan untuknya.

Kekosongan yang menganga di hidupnya karena ketiadaan cinta akhirnya terpaksa diisi dengan kepuasan terhadap profesinya, yang ia terima dengan suka cita karena membantu orang lain.

Jenaka boleh saja menatap kagum foto Sakalingga Ibra tapi menikmati khayalan-khayalan yang tercipta ketika melihat keelokan paras gagah itu bukanlah untuknya.

Berkhayal hanya membuang waktu karena Jenaka tahu ia tidak memiliki kemampuan menarik perhatian pria seperti Lingga. Mantan suami Jenak, Cakra mengajarinya dengan cara menyakitkan dan memalukan, bahwa betapa bodoh mencoba memikat hati pria kalau Jenaka tidak mampu memuaskannya.

Takkan pernah lagi. Jenaka bersumpah seperti itu setelah meninggalkan Cakra dan sekarang ia mengulangi sumpahnya. Ia takkan pernah lagi memberi kesempatan kepada pria untuk menyakiti hatinya lagi.

Tiba-tiba angin berbau garam berembus kencang, menerpa pipi Jenaka. Ia menengadah, cukup terkejut ketika melihat matahari terbenam sepenuhnya. Sejak tadi ia menekuri foto Lingga, dan malah larut dalam kenangan muramnya.

Jenaka bangkit berdiri dan masuk ke villanya, menyalakan semua lampu untuk menerangi bagian dalam villa pantai yang sejuk. Setelah menyalakan lampu Jenaka duduk di sofa dalam villa menyandarkan kepalanya ke belakang dan mulai merencanakan program terapi, meski tentu saja ia takkan bisa memutuskan rencana konkret hingga ia bertemu langsung dengan Lingga dan menilai kondisinya dengan lebih akurat.

Jenaka tersenyum kecil penuh antusias, ia sangat menyukai tantangan dan ia punya firasat jika Lingga akan menentang semua rencananya habis-habisan. Jenaka harus selalu siap, mengendalikan situasi, dan menggunakan ketidakberdayaan Lingga untuk menantang pria itu, membuat pria itu begitu marah hingga dia bersedia menahan semua rasa sakit agar kondisinya segera pulih. Lingga memang harus siap menahan semua rasa sakitnya karena terapi bukanlah piknik.

Jenaka pernah mendapatkan pasien-pasien sulit, orang-orang yang begitu depresi dan marah karena ketidakmampuan mereka sampai-sampai menutup diri dari dunia, dan ia menduga Sakalingga Ibra akan bereaksi dengan cara yang sama. Dulu pria itu sangat aktif, hidup, dan kondisi tubuhnya sempurna, tipe pria sejati penggemar tantangan. Jenaka menduga gerakannya yang terbatas di kursi roda seakan membunuh jiwa pria itu. Lingga tidak peduli dia hidup atau mati, dia tak lagi peduli pada apa pun.

Lama memikirkan Lingga akhirnya Jenaka pun tertidur pulas malam itu, tanpa ada mimpi-mimpi yang mengganggunya.

BAB 3

Jenaka bangun sebelum matahari menyingsing agar ia dapat joging seperti biasa di pantai. Jenaka bukan maniak lari, yang menghitung jarak tempuhnya dan ingin mencapai jarak yang semakin jauh. Ia berlari demi kesenangan, hingga ia lelah, setelah itu ia melanjutkan dengan berjalan santai, membiarkan buih ombak selembut sutra membasuh kakinya yang telanjang.

Matahari menyengat dengan cahaya yang menyilaukan ketika ia pulang ke villanya, lalu ia mandi dan mulai berkemas. Jenaka sudah mengambil keputusan, jadi ia merasa tak ada gunanya membuang waktu, ia sudah siap ketika Dante datang lagi.

Saat Dante datang, pria itu sama sekali tidak terkejut melihat koper-koper Jenaka yang sudah tersusun rapih di depan villa. “Saya tahu anda akan menerima tawaran saya,” ucap Dante dengan nada datar.

Jenaka menyerngitkan dahinya. “Apakah Anda selalu seyakin ini, Pak Dante?”

“Aku tidak pernah seyakin ini, tapi Dr. Jizzy menceritakan banyak hal tentangmu kepadaku. Menurutnya, kau akan menerima tawaran ini karena merupakan tantangan buatmu, dan ketika aku melihatmu, aku tahu kata-katanya benar.”

“Aku harus bicara dengan Dr. Jizzy karena dia membocorkan rahasiaku,” ucap Jenaka bercanda.

Dante tertawa “Tenanglah masih banyak rahasia anda yang belum bocor.”

Jenaka mengangkat bahunya. " Entahlah," ia membantu Dante membawa semua koper-kopernya ke mobil pria itu. Mobil Jenaka sendiri mobil sewaan, jadi setelah mengunci villa dan mengembalikan mobil ke kantor penyewaan, ia siap berangkat.

Mereka berangkat naik jet pribadi yang terbang ke barat menuju kota kembang Bandung. Dalam perjalanan Jenaka mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang pasiennya kepada Dante. Apa yang tuan Lingga sukai? Apa yang tidak dia suka? Apa saja hobinya? Jenaka ingin tahu latar belakang pendidikannya, pandangan politiknya, warna kesukaannya, tipe wanita yang pria itu kencani, atau tentang istrinya jika dia sudah menikah.

Jenaka menyadari para istri biasanya akan cemburu melihat kedekatan yang terbentuk antara terapis dan pasiennya, dan Jenaka ingin tahu sebanyak mungkin situasi yang akan ia hadapi sebelum menceburkan diri ke dalamnya.

Sebagai salah satu orang terdekat Lingga, tentu Dante tahu banyak tentang kehidupan pribadi Sakalingga Ibra, Dante dapat menjawab pertanyaan Jenaka dengan sejelas-jelasnya.

"Lalu apa hubungan anda dengan tuan Lingga?" tanya Jenaka.

Bibir tegas Dante berkedut. “Aku direktur utama perusahaannya, itu salah satu hubungan kami. Selain itu, aku juga adik iparnya. Satu-satunya wanita dalam hidup Lingga yang harus kau hadapi adalah istriku, Mentari, adik Lingga.”

Jenaka bertanya, “Mengapa kau berkata seperti itu? Apakah kalian tinggal serumah dengan tuan Lingga?”

“Tidak, kami tidak satu rumah. Tapi sejak kecelakaan yang menimpa Lingga, Tari tidak pernah mau jauh dari kakaknya, dan aku yakin dia takkan senang ketika kau datang lalu menyita semua perhatian Lingga. Tari selalu mengagumi kakaknya sampai-sampai bisa dikatakan terobsesi. Dia hampir gila saat kami pikir Lingga akan meninggal.”

“Aku takkan mengizinkan program terapiku mendapatkan gangguan apa pun,” Jenaka memperingatkan Dante dengan pelan. “Aku akan terus memantaunya dari waktu ke waktu, siapa tamu yang menjenguknya, makanan apa yang dia santap, bahkan panggilan telepon untuknya. Kuharap istrimu memahami itu.”

“Aku akan mencoba meyakinkan istriku, tapi Tari mirip Lingga. Dia keras kepala dan berkeinginan keras, selain itu dia memiliki kunci rumah Lingga, sehingga Tari bisa kapan pun masuk ke rumah Lingga.”

“Kalau begitu, aku minta kunci rumahnya diganti,” Jenaka mengungkapkan rencananya, dan amat serius dengan niatnya. Entah Mentarai adik yang sangat menyayangi kakaknya atau bukan, wanita itu tidak boleh mengambil alih atau mencampuri program terapi Jenaka.

“Bagus,” sambut Dante menyetujui, kernyitan muncul di dahi polosnya. “Aku ingin istriku kembali lagi ke rumah sepenuhnya.”

Sekarang mulai jelas Dante memiliki motif lain di balik keinginan melihat kakak iparnya bisa berjalan lagi. Rupanya selama dua tahun sejak kecelakaan Lingga, Mentari menelantarkan suaminya demi mengurus kakaknya, dan hal itu mengikis keutuhan rumah tangga mereka.

Jenaka tak ingin ikut campur, tapi ia sudah berjanji menerima tawaran ini, dan ia tidak pernah mengkhianati kepercayaan orang kepadanya.

Butuh waktu sekitar dua jam sepuluh menit untuk mereka tiba di kota kembang, jam menunjukan pukul 13.00 siang ketika Dante menyetir mobil yang membawa mereka menuju hunian eksklusif di pusat kota tempat Lingga tinggal.

Kali ini Dante mengendarai Mercedes-Benz hitam, mewah dan keren. Saat Dante menyetir di jalan masuk komplek ke rumah bergaya American klasik, Jenaka melihat rumah itu juga mewah dan megah.

Rumah itu seperti mansion. Warnanya putih dan misterius, menyimpan semua rahasia di balik dindingnya, dan hanya memperlihatkan sisi depan yang megah dari balik jeruji bagi berpasang-pasang mata yang penasaran.

Lanskap tempat itu menakjubkan, campuran tanaman asli gurun dan tanaman lebat hasil irigasi yang cermat dan selektif. Jalan masuk berlanjut hingga memutar ke belakang. Dante mengatakan di sana area garasi, tapi dia sendiri berhenti sebelum gerbang masuk di depan.

Ketika memasuki serambi rumah yang luas, Jenaka mengira ia masuk ke taman surga. Tempat itu memancarkan kedamaian, kesederhanaan penuh karisma yang ditempa oleh perpaduan ubin lantai kecokelatan menyejukkan, dinding putih polos, dan langit-langit tinggi. 

Jenaka masih terdiam diselimuti kekaguman saat bunyi sepatu hak tinggi berketok cepat di lantai menyita perhatiannya, dan saat memutar kepala ia melihat wanita muda dan tinggi. Itu pasti Mentari, kemiripannya dengan foto Lingga terlalu kuat untuk menduga wanita itu orang lain. Rambutnya hitam lembut seperti Lingga, mata coklat yang sama, bahkan roman tegas yang sama. Tetapi, dia tidak tertawa seperti pria di foto itu, tatapannya justru tampak gusar dan marah.

“Dante!” panggil wanita itu dengan suara rendah tapi murka. “Ke mana kau selama dua hari ini? Berani-beraninya kau pergi tanpa pesan, lalu muncul lagi dengan membawa... Wanita lain."

Jenaka nyaris terkekeh, karena Tari secara terang-terangan menuduhnya selingkuhan Dante. Jenak membuka mulut untuk memberitahu yang sebenarnya, tapi Dante sudah terlebih dahulu menanggapi dengan halus.

“Namanya Jenaka Tatjana,” ucap Dante sambil menatap istrinya lekat-lekat. "Aku menggunakan jasanya sebagai terapis baru Lingga. Dua hari ini aku pergi ke Lombok untuk menjemputnya, kemudian terbang kembali ke sini. Aku tidak menceritakan kepergianku pada siapa pun karena tidak ingin rencanaku diperdebatkan. Aku sudah resmi menggunakan jasanya, itu saja. Kurasa itu menjawab semua pertanyaanmu,” ujar Dante dengan tegas.

Mentari Ibra bukan tipe wanita yang mudah digertak, meski semburat merah menjalari pipinya. Dia menoleh pada Jenaka dan berkata terus terang, “Aku minta maaf, ternyata dugaanku salah seratus persen."

“Aku mengerti.” Jenaka tersenyum. “Kalau berada dalam posisimu, aku juga akan mengira seperti itu."

Mentari balas tersenyum, lalu maju dan memberikan kecupan terlambat di pipi suaminya. “Baiklah, kau aku maafkan.” Mentari mengembuskan napas. “Meski aku khawatir kau hanya membuang-buang waktu. Kau tahu kakakku takkan menanggapi jerih payahmu. Dia tak tahan ada orang lain di dekatnya, dan selama ini sudah banyak terapis yang mengundurkan diri karena sikapnya."

“Tidak untuk kali ini,” sahut Jenaka dengan percaya diri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!