BAB 4

Tari tampak bimbang, kemudian ia mengangkat bahu. “Aku tetap berpikir kau hanya membuang-buang waktu. Lingga menolak melakukan apa pun yang disuruh terapis terakhir yang menanganinya, dan dia takkan berubah pikiran untukmu.”

“Aku ingin berbicara sendiri dengan tuan Lingga, jika diperbolehkan,” pinta Jenaka.

Mentari memang tidak bersikap seperti pengawal yang menjaga di depan ruangan singgasana, tapi terlihat sekali ia sangat protektif pada kakaknya. Bukan berarti itu tidak lazim. Ketika seseorang mengalami kecelakaan parah, merupakan hal lazim jika anggota keluarganya terlalu ketat melindunginya.

“Lingga ada di kamarnya,” ucap Dante sambil meraih tangan Jenaka. “Sebelah sini.”

Jenaka tersentak ketika Dante menyentuhnya, namun ia berusaha untuk bersikap biasa saja dan terfokus pada pasien yang akan di tanganinya.

“Dante!” Pipi Mentari kembali memerah karena marah, namun bukan marah karena cemburu suaminya menggandeng Jenaka. “Lingga sedang tidur siang! Setidaknya biarkan dia beristirahat dengan tenang hingga dia turun. Kau kan tahu jika kakaku menderita insomnia, jadi biarkan dia beristirahat ketika dia bisa.”

“Dia tidur siang setiap hari?” tanya Jenaka sambil berpikir. Jika Lingga tidur sepanjang siang, tidak heran pria itu tidak bisa tidur malam hari.

“Ya. Dia mencoba untuk tidur, tapi biasanya kondisinya tampak lebih buruk setelah bangun dari tidurnya."

“Kalau begitu, tidak masalah kan jika kita sedikit mengganggu waktu tidurnya?” tanya Jenaka, yang memutuskan sekaranglah waktunya menunjukkan kewewenangannya sebagai seorang terapis.

Jenaka memergoki bibir Dante tersenyum, setelah itu Dante mengarahkan Jenaka ke tangga lebar melandai sambil memegang siku Jenaka dengan tangannya yang hangat dan kuat.

Di belakang mereka berdua, Jenaka bisa merasakan tatapan tajam Mentari kepada mereka berdua, setelah itu ia mendengar kelotakan cepat sepatu hak tinggi menghantam lantai ketika Mentari menyusul mereka.

Sesampainya di lantai dua, Dante mengetuk ringan sebuah pintu kamar, lalu membukanya setelah terdengar sahutan rendah yang mempersilakan masuk, Jenaka seketika melihat kamar luas yang dibanjiri sinar matahari yang memancar masuk lewat tirai-tirai yang terbuka.

Tubuh pria di dekat jendela membentuk siluet berlatarkan cahaya matahari yang terang benderang, sosok misterius dan sedih itu terkulai dalam penjara berbentuk kursi roda. Kemudian pria itu mengulurkan tangan dan menarik seutas tali untuk menutup tirai. Suasana kamar menjadi remang-remang.

Jenaka mengerjap beberapa saat sebelum matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan yang datang tiba-tiba, lalu sosok pria itu terlihat dengan jelas, dan Jenaka merasakan kerongkongannya tersekat saking terkejutnya.

Saat di perjalanan tadi Dante sempat memberitahunya bahwa Lingga kehilangan berat badan dan kondisinya menurun dengan cepat, tapi sebelum melihat Lingga, Jenaka tidak sadar seserius apa situasi sebenarnya.

Kekontrasan antara pria di kursi roda itu dan pria yang ia lihat di foto begitu besar sehingga Jenaka takkan percaya mereka orang yang sama kalau bukan karena mata coklat itu. Mata Lingga tidak lagi bercahaya, sekarang mata itu tampak suram dan seolah tanpa kehidupan, tapi tidak ada yang bisa mengubah warnanya yang tidak biasa.

Lingga amat sangat kurus, beratnya pasti hilang hampir 25 kilogram dari beratnya saat foto itu diambil, apalagi dalam foto itu seluruh tubuhnya berotot tapi ramping. Rambut hitamnya sekarang kusam karena gizi buruk dan berantakan, seolah sudah lama tidak pernah dipotong. Kulitnya pucat, tulang pipinya menonjol runcing, dan pipinya cekung.

Jenaka berdiri tegak, padahal batinnya seolah retak, hancur menjadi ribuan kepingan rapuh. Tanpa bisa dihindari, ia terlibat ikatan batin dengan pasiennya, tapi sebelumnya ia tidak pernah merasa dirinya seakan mau mati, ia tidak pernah merasakan amarah melihat ketidakadilan itu, kondisi yang mengerikan yang merampas tubuh sempurna pria itu dan membuat kesempurnaannya menjadi ketidakberdayaan.

Penderitaan dan keputusasaan terpahat di wajah lesu Lingga, struktur tulangnya tersingkap begitu kentara. Lingkaran hitam tampak di bawah matanya yang segelap malam, rambut di pelipisnya mulai kelabu. Tubuhnya yang dulu kuat kini terkulai lemas di kursi, kakinya bergeming dengan canggung, dan Jenaka sadar Dante benar, Sakalingga Ibra tidak lagi memiliki gairah hidup.

Lingga menatap Jenaka tanpa minat sedikit pun, setelah itu pandangannya beralih pada Dante. Seolah Jenaka tidak ada. “Dari mana saja kau?” tanya Lingga dengan datar.

“Ada yang harus kuurus,” sahut Dante, suaranya begitu dingin seolah suasana kamar berubah sedingin kutub utara. Jenaka mengerti Dante tersinggung karena semua orang mempertanyakan tindakannya. Dante memang bekerja untuk Lingga, tapi dia bukan orang yang rendah diri. Dia masih bisa marah pada Mentari, apalagi semua kejadian ini membuatnya tidak senang.

“Dia tetap ngotot” Mentari mengembuskan napas sambil berjalan ke sebelah kakaknya. “Mempekerjakan terapis baru untukmu. Nona… uh, Janaka Tatjana.”

“Jenaka,” Jenaka mengoreksi tanpa merasa kesal.

Lingga kembali mengarahkan pandangan tak acuhnya pada Jenaka dan mengamati wanita itu tanpa berkata sepatah pun. Jenaka tahu apa yang Lingga lihat, untungnya tadi pagi ia sempat berdandan agar menciptakan kesan tagas dan juga memikat. Jenaka tak peduli kesan mana mana yang Lingga tangkap (Tegas atau memikat), tapi yang jelas penampilannya memberinya nilai tambah dalam meyakinkan Lingga untuk mau bekerja sama.

Jenaka membelah rambut hitam lebatnya yang berkilau di tengah, lalu menggulungnya menjadi sanggul ketat di tengkuk, dan menahannya dengan sirkam menggemaskan. Anting-anting emas berbentuk gelang bergelantungan di telinganya.

Jenaka memiliki mata kucing-sipit, keemasan, misterius seperti waktu dan dibingkai bulu mata hitam lebat. Dengan tulang pipi tinggi dan kuat, garis rahang seperti dipahat, Jenaka tampak seperti berdarah Timur dan eksotis.

Jenaka memakai jumpsuit putih, trendi tapi santai, dan sekarang ia menyelipkan dua tangan ke saku, postur yang mempertegas *********** yang kencang. Garis tubuhnya panjang, mulus, dan meliuk, mulai dari pinggang ramping hingga bokong bulatnya, lalu turun ke kaki jenjangnya yang anggun.

Setelah keheningan panjang, Lingga menggeleng lambat-lambat sebagai isyarat penolakan terhadap Jenaka. “Tidak perlu. Bawa dia pergi, Dante. Aku tidak ingin diganggu.”

Terpopuler

Comments

Ersa

Ersa

aku bayangin kayak cewek2cantik di komik

2024-02-28

0

☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ

☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ

Bakal butuh stok sabar nih Jenaka mengobati Lingga, apalagi rona keputusasaan terlihat jelas di wajah Lingga.

2023-04-15

3

¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜

¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜

Jenaka sangat menawan ya....
Mentari biarkan lah Jenaka tuk jd terapis nya Lingga, semoga ada keajaiban untuk kesembuhan

2023-04-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!