Laura tercengang meski sesaat ucapan dari sang bos yang baru saja didengarnya, “Boleh aku tahu kenapa?”
Bimo hanya menggerakkan kedua bahunya ke atas dan berkata, “Karena kau terlihat membutuhkannya.”
Wanita itu beranjak juga dari tempat duduknya dan menghela napas panjang sebelum menjawab, “Baiklah, aku akan menurutimu. Tapi tidak sekarang. Bulan ini begitu sangat padat dengan jadwal yang harus diselesaikan. Belum lagi jadwal pengantaran yang---“
“Itu sebabnya, kau harus cuti sekarang juga. Bulan ini.”
“Apa! T-Tapi kenapa?”
Bimo menegakkan tubuhnya dan memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Lelaki paruh baya itu menunduk sebentar untuk langsung memandang Laura dengan keputusan bulat. “Karena aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Dan karena aku tahu, bulan ini sangat padat. Membuatku semakin yakin bahwa kau harus segera cuti.”
“Tapi tidak harus sekarang, Bos.”
“Harus.”
“Kau sungguh-sungguh?” Laura masih tidak percaya dengan keputusan atasannya itu. Ia hanya sekali melakukan kesalahan, memang cukup berat. Namun, ia juga sudah menyelesaikan semua masalah itu sampai tuntas. Lalu, mengapa bos nya masih bersikeras melanjutkan permasalahan ini? Apakah dia mendapat tekanan dari direksi? Apakah posisinya kini benar-benar terancam? Apakah atasannya ini tidak lagi percaya dengan kinerjanya?”
“Pilihanmu hanya dua, Laura. Kau ambil cuti ini secara sukarela dan tetap digaji? Atau kau memilih untuk aku rumahkan sementara selama sebulan ini tanpa gaji?
“Kau bercanda, Bos?”
“Apakah terlihat aku sedang bercanda saat ini, bagimu?” Bimo menatapnya dengan wajah yang serius dan tidak dapat dibantah. “Kau lelah. Kau capek, Laura. Konsentrasi mu sudah tidak setajam dulu ketika belum ada perceraian.”
Laura langsung bersikap defensif dan menatap sinis bosnya itu, “Kenapa kau bawa-bawa perceraianku dalam masalah ini? Ini tidak ada hubungannya dengan itu.”
“Justru sebaliknya. Semua kesalahan ini. Tindakan tidak bertanggung jawab ini. Semua buyarnya fokusmu itu terjadi sejak kau memutuskan untuk bercerai.”
Pukulan telak. Itu semua adalah awal dari kehancurannya yang tidak bisa lagi diperbaiki. Meski menyakitkan, ia harus mengakui semua kebenaran yang dilontarkan oleh atasannya itu. Tidak diragukan lagi, bos nya sangat mengenalnya. Dihadapkan pada dua pilihan sulit membuatnya mau tak mau harus mengambil sikap bijak, bukan?
Dalam perjalanan pulang selepas lembur dan membuat laporan akhir kepada atasannya, serta menyiapkan semua detail pekerjaan untuk diserah terimakan sementara kepada pihak yang ditunjuk perusahaan, ia melayangkan pandangan kosong di keramaian padatnya jalan. Gagasan untuk meliburkan diri atau tepatnya cuti yang dipaksakan ini membuatnya berpikir ulang, bahwa mungkin memang benar ini adalah keputusan yang benar dan tepat yang telah diputuskan untuknya.
Sampai di rumahnya yang dingin, sepi dan sunyi. Laura langsung menghempaskan dirinya di sofa ruang tamu. Dengan kaki dijulurkan ke depan dan kepala di sandarkan ke belakang punggung sofa, ia menatap ke langit-langit rumahnya. Sudah setahun ini tidak ada rasa nyaman dan bahagia yang dapat dirasakannya kembali. Ia merasa telah ditolak, di buang dan tersia-sia pengorbanannya selama delapan tahun ini. Ditinggalkan dan dicampakkan oleh seorang pria yang dipikirnya sangat dicintainya dan mencintainya sungguh meninggalkan luka yang teramat dalam di hatinya. Melukai harga diri dan juga egonya. Pernikahan yang diharapkannya dapat berakhir selamanya, hingga ajal memisahkan, ternodai dengan sebuah perselingkuhan kejam yang dilakukan oleh mantan suaminya.
Secara hukum, ia sudah tidak lagi terikat oleh pernikahan. Namun, kurun waktu yang telah dilaluinya membawa trauma tersendiri bagi Laura Kamila. Harga dirinya berada di titik yang terendah kala itu. Sampai sekarang, perasaan itu masih terbawa hingga membuatnya menjadi pribadi yang sensitif. Kehidupan sendiri yang terpaksa dijalaninya ini, membuatnya merasa canggung dan rendah diri. Sejak dulu, ia bukan tipe wanita yang suka berpesta dan bergaul. Sejak menikah pun, alasan keluarga yang membuatnya sering menolak ajakan untuk pergi berpesta atau sekedar kumpul bersama. Itu adalah pilihannya. Ia merasa senang dan tidak merasa keberatan untuk melakukanya.
Sekarang, kehidupannya jauh berbeda. Kesendiriannya begitu sangat menyiksa. Kehidupan sosial, ia tidak memilikinya. Sepanjang pernikahan, keikutsertaannya dalam jamuan makan malam bersama mantan suaminya pun bisa dihitung dengan jari. Hal utama baginya hanyalah bekerja dan keluarga, itu saja. Kehidupan keluarganya telah hancur, kehidupan kerjanya pun tak kalah kacau.
Namun sepertinya, itupun harus diubahnya. Meski terasa sulit, harus mulai ia biasakan. Kehidupan single nan bebas. Tiba-tiba, Laura beranjak dari sofa dan bergegas mencari sesuatu di dalam laci dekat televisi. Diambilnya beberapa brosur yang sempat di dapatnya dari beberapa koleganya. Disimpannya brosur-brosur itu yang nantinya akan ia pakai untuk rencana perjalanan liburan bersama sang mantan kala itu, namun terlanjur rusak dan batal tanpa dimulainya pembicaraan ke arah itu.
Ia memandang kakinya yang telanjang, terbebas dari kungkungan sepatu sepanjang waktu. Lalu dengan asik dibacanya beberapa brosur itu dengan sungguh-sungguh. Ada salah satu brosur dari sekian banyak brosur yang membuatnya tertarik untuk lebih membacanya. Langit biru, bentangan pasir nan hangat. Hamparan air laut asin yang menggoda. Senja tropis dengan cakrawala putih memanjang. Bebas, menikmati makanan dan minuman enak tanpa perlu khawatir akan beban pekerjaan yang sudah menanti dan menumpuk pastinya. Alunan musik santai yang mengalun dengan indah seraya menikmati malam penuh dengan cahaya bulan purnama nan cantik. Sungguh
pikiran yang sangat menggoda dan merangsang. Seketika, diambilnya ponsel yang ada di tasnya. Lalu ditekannya tombol cepat yang ada di ponsel. Terdengar beberapa kali nada tunggu sebelum ada jawaban.
“Halo.”
“Halo, Lana.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments