Membuat Yoona terbatuk-batuk saat Erlan mencekik lehernya dengan semakin kuat.
"M-Mas Erlan, aku bisa mati. Tolong lepaskan," pinta Yoona dengan berusaha keras sembari memegang tangan suaminya. Matanya sampai memerah ketika menahan rasa sakitnya itu
"Maka dari sekarang berhentilah menguji kesabaran diriku, Yoona. Tidak ada satupun syarat, jadi cepat katakan di mana tunanganku berada?!" bentak Erlan dengan terus-menerus. Tak ada sedikitpun rasa kasihan, namun hanya ada kebencian.
"A-akan aku katakan, tapi tolong lepaskan leherku."
Akhirnya pria itu menurut, ia menunggu sampai Yoona mau bicara.
"Jangan lagi banyak drama, ayo cepat katakan di mana keberadaannya sekarang?" tanya Erlan menunggu seraya memandang wajah istrinya yang masih memerah.
Hati kecilnya sedikit merasa kasihan saat melihat wajah yang begitu mirip dengan tunangannya dulu, namun tetap saja ia semakin benci akan hal itu.
Menarik tangan Yoona ketika wanita itu masih bungkam. Hingga membuat Yoona terkejut.
"Kau masih tidak ingin bicara, Yoona? Maka benda ini yang akan bicara," ucap Erlan sembari memperlihatkan sebuah senjata api di hadapan istrinya.
Seketika membuat Yoona menelan ludahnya sendiri. Seumur hidupnya, baru sekarang ia melihat bentuk senjata secara asli, biasanya hanya di dalam televisi.
"Apa benda ini sungguhan?" tanya Yoona yang justru berpikir lain.
Lagi-lagi kesabaran Erlan diuji, terlebih ia hanya memiliki kesabaran setipis kertas. "Astaga, wanita bodoh ini. Kau ini tidak pernah sekolah, ya? Apa benda ini terlihat palsu bagimu? Jika kau ingin tetap diam dengan berpura-pura bodoh begitu, maka aku tidak akan tinggal diam."
Erlan mulai memainkan pelatuk senjatanya dengan perlahan, meskipun ia tahu tidak akan mungkin membunuh orang lain tanpa ada kesalahan yang tepat.
Berbeda dengan Yoona yang perlahan menggeser kan senjata api dengan satu jarinya.
"A-aku akan bicara dengan sejujurnya, Mas Erlan. Tapi, jauhkan benda ini dulu," pinta Yoona dengan suara yang masih gemetar. Tidak ada sahutan dari suaminya, Erlan hanya menurut.
"Aku rasa kau tidak perlu lagi menunggu kepulangannya, Mas Erlan. Sekarang ... Fiona Olivia tidak akan kembali walaupun kau sangat menginginkannya," ucapnya.
"Memangnya kenapa? Apa penyebabnya?" Erlan masih tidak mengerti. Sampai keningnya berkerut.
"Karena dia sendiri yang sudah menyerahkan dirimu kepadaku, Mas. Meskipun semuanya salahku." Yoona menundukkan kepalanya ketika tidak mampu melanjutkan semua kebenaran. Ia berusaha menahan rasa tangisnya.
Tidak akan Erlan biarkan wanita itu memiliki kesempatan untuk menangis. Dengan cepat Erlan menarik pergelangan tangan Yoona, berharap agar wanita itu tidak memainkan dirinya.
"Sekali lagi, jika tidak maka aku tidak akan menahan diri untuk membunuh dirimu. Kau mengerti?" ancam Erlan sampai kedua matanya melotot sempurna.
Yoona tahu semua itu bukan sekedar ancaman. Ia perlahan melihat wajah suaminya, lalu berkata. "Kau ingat saat kakakku meminta izin untuk pergi menemaniku? Padahal hari itu kalian ada acara untuk fitting baju, dan Mas Erlan tidak memberikan dia izin. Namun, karena permintaan diriku, kakak tetap ingin pergi. Hasilnya kami mengalami kecelakaan."
"A-apa yang sedang kau ceritakan? Yoona, jangan membuat darahku semakin mendidih." Erlan semakin tidak terima mendengar semua kebenaran yang buruk.
"Tidak, Mas Erlan. Itulah fakta yang harus aku ungkap. Meskipun aku ingin menyerahkan diriku atas kematian kakakku sendiri. Namun, aku tidak memiliki keberanian. Kecelakaan yang kami alami murni karena diriku. Kami terlalu banyak mengobrol sampai membuat Kak Fiona membela diri untuk menyelamatkan diriku. Awalnya dia tidak akan terpental dari dalam mobilnya, namun dia melepaskan tanganku saat kami berdua hampir mati. Akhirnya aku selamat meskipun harus buta, dan mama sedang koma. Dokter belum tahu kapan mamaku akan terbangun. Kejadian itu membuat Kak Fiona memberikan matanya sebelum ia meninggalkan dunia ini," jelas Yoona tanpa ada kebohongan.
"Jadi ... wanita yang begitu aku cintai, ternyata sudah ... Fiona, kenapa kau harus meninggalkan diriku dengan semua janji kita. Tujuh tahun aku dambakan pernikahan ini, tapi akhirnya," batin Erlan.
Tidak sanggup menerima kenyataan, kedua kaki Erlan mulai terasa lemas. Ia tidak peduli jika terlihat seperti sedang berlutut di hadapan istrinya. Rasa sakit atas kehilangan begitu membuat Erlan terpukul. Kini semuanya telah hancur, ia benci dengan dunianya sendiri.
"Sweetie ... kenapa kau harus pergi meninggalkanku di sini?" Dalam batinnya, Erlan terus meratapi kepergian Fiona.
Tidak tega melihat suaminya yang sedang terduduk dalam keterpurukan. Perlahan Yoona menyusul sembari mengusap rambut Erlan. Namun tanpa ia duga, sentuhannya itu membuat Erlan menatap tajam seperti ingin menerkam mangsanya.
"Aku tahu, kau menginginkan diriku, kan? Makanya kau berusaha membunuh tunanganku! Bukan sekedar pengkhianat, tapi kau juga seorang iblis yang dibalut dalam wajah polos mu itu. Aku bersumpah, Yoona. Akan membuat hidupmu hancur-hancuran dalam pernikahan ini," tegas Erlan dengan keputusannya.
"Aku tidak membunuhnya, Mas. Aku bukan pembunuh." Yoona menangis ketika mendengar campakkan dan tuduhan untuknya. Bayang-bayang kecelakaan itu mulai menghantui pikirannya kembali. Hingga membuat Yoona menangis tanpa henti. Menutup kedua telinganya saat tuduhan pembunuh terus menguasai dirinya.
Erlan sendiri merasa bingung ketika melihat sikap perubahan dari istrinya. Ia terdiam, namun Yoona tiba-tiba terjatuh ke dalam pangkuannya. Wanita itu tidak sadarkan diri, namun Erlan engga untuk mengurusnya.
Membiarkan Yoona tergeletak di lantai begitu saja, rasa benci yang jauh lebih besar dapat membuat Erlan bisa melakukan segalanya tanpa ada rasa kasihan.
"Kau pantas mendapatkan semua itu, Yoona. Kau berhak dan akan selalu begitu," ucap Erlan dengan pelan, namun pasti akan terjadi.
Meninggalkan Yoona seorang diri yang masih belum terbangun, lalu Erlan pergi ke luar dari rumahnya.
Dua pelayan melihat tuannya pergi setelah setelah mereka menguping keributan di rumah itu. Erlan tidak peduli.
"Kasihan sekali, Nona Yoona. Dia pasti sangat terpukul ketika melihat sikap buruk dari suaminya," ucap pelayan itu.
"Hei, ngapain lu kasihan sih sama si tukang pembunuh. Yang ada elu yang bakal jadi tumbal selanjutnya," sahut temannya yang jauh lebih muda dengan seenaknya jidatnya.
"Heh! Mulut itu di filter sesekali. Jangan cuma lihat keburukannya aja. Kita kan belum tahu yang sebenarnya itu Nona Yoona membunuh atau cuma korban."
"Udahlah males urusin masalah Tuan Erlan. Kau aja deh yang urus, ogah ohh gue!" ketusnya sembari pelayan itu pergi.
Berbeda dengan temannya yang berjalan mendekat ke arah balkon kamar. Terlebih ia merasa heran saat tidak melihat Yoona ke luar.
Betapa terkejutnya pelayan tersebut saat mengetahui kondisi Yoona yang sudah tergeletak di lantai. Ingin segera menolong, namun tiba-tiba terdengar suara seorang pria.
"Jika kau melangkahi kakimu sekali ke sana, maka posisimu sebagai pelayan akan aku ganti dengan pengangguran," ancam Erlan yang bukan sekedar ancaman biasa.
"Tapi, Tuan Erlan. Nona Yoona kasihan sekali dia ... Saya ingin-"
"Bereskan semua barang-barang mu sekarang!" Belum selesai pelayan tersebut berucap, namun sudah terdengar Erlan menyela dengan cepat.
"Tapi, Tuan-"
"Baiklah, tanpa uang muka," tegas Erlan. "Ini baru permulaannya Yoona, maka nanti kau harus menerima hukuman setimpal."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments