💕
💕
Nania mengejang hebat saat gelombang pelepasan menghantam tubuhnya tanpa ampun. Diiringi lenguhan panjang seperti Daryl yang juga mengalami hal sama. Lalu dia ambruk diatas tubuh pria itu.
Napas keduanya masih menderu-deru dengan degupan jantung yang belum beraturan. Dan hawa panas masih menguasai tubuh berkeringat mereka.
Lalu setelah beberapa saat Nania melepaskan diri, dan dengan langkah gontai dia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh.
"Aku pikir mahasiswa jurusan fashion itu nggak akan ngalamin ospek kayak biasanya." Keduanya kini berada di ruang tengah dengan televisi menyala.
Malam sudah beranjak larut namun keduanya masih berada di lantai bawah. Beberapa wadah makanan tersedia di meja, yang sebagian besarnya sudah dilahap.
"Memangnya masih ada praktek seperti itu?" Dan Daryl duduk bersandar sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Masih."
"Mau aku uruskan agar kampus tidak mengadakan kegiatan itu?"
"Apaan? Nggak mungkin. Ahahaha, nggak usah juga. Ngapain?"
"Ya agar kamu tidak kelelahan." Pria itu mengusap punggung Nania dengan lembut.
"Itu namanya proses, Dadd. Dan semua orang harus melewatinya agar terbiasa bekerja keras di dunia kerja nanti."
"Aku tidak. Bahkan kampus sekelas Lomonosov tidak mengadakan kegiatan seperti itu. Kami hanya diajak tur keliling kampus untuk memperkenalkan segala hal yang berhubungan dengan pendidikan dan segala macamnya. Tradisi, kebiasaan dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sana. Juga diperkenalkan pada organisasi kampus yang cukup berguna."
"Beda negara beda lagi kebiasaannya, Pak." Perempuan itu menyandarkan punggungnya pada tubuh Daryl.
"Apalagi dengan sistem pendidikan di sana. Ya pasti beda lah." lanjutnya yang menguap tanda rasa kantuk sudah menguasai tubuhnya.
"Hmm … sudah mengantuk?" Daryl mengusap kepala Nania.
"Hu'um, capek juga."
"Mau tidur sekarang?" Daryl menatap jam tangannya.
"Iya, ayo? Tapi tidur aja ya? Sayang-sayangan kan udah tadi sebelum ini."
Daryl tertawa.
"Asli, Dadd. Ospeknya hari ini doubel."
"Ya, baiklah. Kamu memang pantas mendapatkan istirahat." Lalu mereka bangkit.
"Tapi …." Lalu Nania naik ke atas sofa dan berdiri di sana. "Gendong." katanya, yang memegangi pundak Daryl kemudian naik ke punggungnya. Dan pria itu hanya membiarkannya saja.
"Dasar anak kecil!" Meski dia sedikit menggerutu, namun sambil tertawa.
Dan Nania juga tertawa sambil melingkarkan kedua tangannya di leher pria itu.
"Oh iya, gimana soal lakban warna-warninya? Udah dapat belum?" Nania terus berbicara ketika Daryl membawanya menaiki tangga.
"Sudah. Baru saja Regan mendapatkannya, dan besok dia bawa sambil menjemput kita."
"Beneran ada ya lakban warna-warni?"
"Tentu saja ada, apalagi kalau aku yang memintanya. Yang tidak ada pun pasti menjadi ada."
"Berasa punya om jin ya?" Nania tertawa.
"Apa katamu?"
"Iya, mau apa-apa tinggal minta. Terus, ting! Tiba-tiba ada." Nania tertawa.
"Selama ada Regan, apa pun ada."
"Hmm …." Daryl membawa Nania kembali ke kamar mereka. Dan kali ini tanpa aktifitas berlebih selain tidur saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Seriusan kamu dapat semua warna? Aku cuma dapat merah, hitam sama hijau doang." Mahira menunjukkan apa yang dibawanya pagi itu.
"Kenapa nggak bilang dari semalam? Kan bisa aku cariin sekalian." Nania memeriksa barang bawaannya.
"Orang kita belum tukeran nomor telpon, gimana sih?"
"Oh iya, lupa. Ahahaha." Nania menepuk keningnya sambil tertawa.
"Masih ada waktu nggak sih? kalau masih aku minta orang untuk cariin warna lain" Mereka memeriksa jam, dan tersisa waktu setengah jam sebelum kegiatan dimulai.
"Nggak tahu. Kalau tepat waktu ya masih ada setengah jam kan?"
"Mau dicariin?" tawar Nania kepada teman barunya itu.
"Emang pagi-pagi gini ada?"
"Dicoba dulu."
"Emang bisa?"
"Ya makanya coba dulu."
"Ngerepotin nggak?"
"Mau dicariin nggak? Lagi butuh juga banyak tanya ih?"
Mahira tertawa, sementara Nania melakukan panggilan dengan ponselnya.
"Hallo Dadd?" katanya saat tersambung dengan nomor ponsel Daryl.
"Aku butuh lakbannya lagi, bisa tolong suruh Regan cariin lagi?"
"Memangnya kurang?" tanya Daryl dari seberang.
"Iya."
"Butuh berapa banyak?"
"Samain aja kayak yang aku bawa."
"Benar? Nanti ternyata butuhnya lebih banyak."
"Nggak. Cuma kayak punya aku aja."
"Baiklah."
"Dua puluh menit bisa?"
"Bercanda ya? Akan aku buat Regan mengirimnya ke kampus dalam sepuluh menit saja."
Nania tertawa. "Jangan buru-buru. Dua puluh menit juga cukup."
"Baiklah, baik."
"Ya udah."
"Kamu harus memberiku imbalan untuk yang satu ini." ucap Daryl sebelum mengakhiri panggilan.
"Iya, iya aku tahu. Nggak ada yang gratis. Tenang aja nanti malam aku bayar."
Tawa Daryl terdengar nyaring di telinga Nania.
"Udah ya, bilangin Regan aku tunggu di dekat gerbang kampus."
"Baik. Hati-hati, Malyshka."
"Oke." Dan percakapan pun berakhir.
"Gimana?" Mahira bertanya setelah menyimak percakapan tersebut.
"Tunggu sebentar, nanti ada yang antar." Nania memasukan ponsel ke dalam tas gendongnya.
"Kamu nyuruh siapa?"
"Ada deh."
"Sopir?"
"Ya, sebut aja gitu."
"Kalau yang tadi antar sampai depan itu siapa?" Mahira mengingat ketika mereka sama-sama tiba di depan kampus dan melihat Nania turun dari mobil diantar seorang pria setengah bule.
"Suami." jawab Nania tanpa beban.
"Suami? Kamu udah nikah?" Mahira tampak terkejut.
"Udah setahunan malah."
"Aduh?"
"Kenapa?"
"Serius? Berarti waktu kamu masih sekolah dong?"
Nania menganggukkan kepala.
"Kok bisa?"
"Ya bisa lah. Apa aja bisa."
"Kenapa? MBA?" tanya gadis itu lagi, merasa ingin tahu.
"Nggak, hahaha. Bahkan, pas mau punya anak malah keguguran." Nania mulai bercerita.
"Umm …."Namun Mahira tampak bingung.
"Bulan depan umur aku 21, dan aku masuk kampus ini setelah ikut persamaan SMA."
"Serius?"
Nania menganggukkan kepala.
"Nggak usah kaget kayak gitu lah, badan aku emang kecil. Tapi umur aku cukup kok untuk punya suami. Hahaha." Nania tertawa lagi.
Mahira kini terdiam.
Lalu ponsel Nania berbunyi nyaring dan panggilan dari nomor Reganlah yang masuk.
"Ya?"
"Ada orang di depan kampus mengantar pesananmu."
"Oo, oke. Aku ke sana sekarang." Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya.
"Baik."
"Tunggu sebentar ya?" Nania kemudian berlari menuju depan gerbang kampus.
Dan pada saat dia mengedarkan pandangan, seorang pria dengan setelan jas hitam berdiri di dekat pos keamanan. Dia sudah mengira itu adalah suruhan Regan.
"Pesanan Anda, Bu?" Pria itu yang tentu sudah mengenali Nania segera menghampirinya.
"Oh, iya." Dan dia pun segera menerimanya.
Sebuah bungkusan berisi lakban dengan berbagai macam warna Nania terima. Dia kemudian tersenyum dan mengangguk.
"Makasih."
"Baik, Bu. Kalau tidak ada lagi yang Ibu butuhkan, saya pamit?" ucap pria itu.
"Iya."
"Permisi?" Dan pria itu segera pergi.
Nania berbalik dan dia bermaksud untuk kembali ke tempatnya semula ketika hampir saja bertabrakan dengan seseorang di tempat parkir, yang kemudian dikenalinya sebagai senior yang menegurnya saat ospek hari pertama kemarin.
"Eee … maaf, Kak." Perempuan itu mundur dua langkah kemudian mengangguk ke arahnya.
Mahendra yang baru saja turun dari motornya tak menjawab, namun melirik ke arah di mana dia melihat pria berjas hitam yang pergi dengan mobil mengkilatnya.
"Permisi, Kak?" ucap Nania kemudian yang segera pergi menjauh, semetara pria itu menyugar rambut gondrongnya, lalu mengikatnya seperti biasa. Dengan pandangannya yang mengikuti Nania.
"Mahiraaaa!!!" Perempuan itu berlari ke arah temannya yang menunggu.
"Udah? Cepat amat?" Gadis itu menerima bungkusan yang Nania bawa dan memeriksanya.
"Tahu gini dari kemarin aku minta ke kamu aja, kan nggak harus pusing keliling komplek nyari toko yang jual ginian."
"Ya udah, sini kita tukeran nomer hape? Biar gampang kalau ada apa-apa." Nania mengeluarkan ponselnya begitu juga Mahira. Kemudian mereka saling bertukar nomor kontak masing-masing.
Mahira menatap foto profil milik Nania, di mana gambar perempuan itu dengan pria setengah bule yang tampak lebih dewasa darinya, namun mereka terlihat mesra.
"Beneran ini suami kamu?" Dan dia masih belum percaya.
"Iya, ih kenapa nggak percaya? Kamu pikir aku anak SMA yang baru lulus kayak kamu?" Nania tertawa lagi.
"Kayak mustahil aja. Hahah, sorry." Mahira pun tertawa.
"Aku tahu. Cuma, udah jalannya gitu gimana dong?"
"Hu'um ya."
"Tapi berasa pernah lihat cowok ini, tapi di mana gitu ya aku lupa. Apa dia model atau artis?" Mahira masih menatap foto profil milik Nania.
"Bukan. Cuma kerja biasa." Nania menjawab.
"Masa? Tapi kok aku berasa pernah lihat? Beneran deh."
"Orang lain yang mirip kali?" Nania menahan tawa. Tidak mungkin dirinya menerangkan jati diri dan suaminya secara gamblang kepada orang baru, karena Daryl juga dengan jelas melarang hal itu.
Alasannya apa lagi kalau bukan untuk menghindarkannya dari hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Terutama menjauhkannya dari orang-orang yang hanya akan memanfaatkannya saja.
"Nggak tahu lah, mungkin iya ada yang mirip."
"Hu'um."
Kemudian perhatian mereka beralih ketika terdengar seseorang berteriak dari pengeras suara. Dan semua calon mahasiswa baru segera berkumpul di lapangan.
"Hey, kura-kura dan jerapah! Mana tugas kalian, ayo kumpulkan!" Mahendra berteriak lagi ketika melihat keberadaan Nania dan Mahira di antara kerumunan.
💕
💕
💕
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
yetiku86
ya memang seperti itulah seharusnya ospek, pengenalan lingkungan dan dosen serta segala peraturan yg ada di kampus , bukan seperti yg terjadi di negeri Konoha ini.😌
2025-04-20
0
eonnira
waaahhhh🥵
2023-10-31
1
Ao Donatello
semangat marathon😍
2023-07-02
1