VENUS REVENGE
Damon von Amstel meletakkan serbet di atas meja. Itu adalah tanda bagi semua orang bahwa acara makan malam itu sudah selesai. Semua anggota keluarga berhenti makan dan menunggu pria itu mengatakan sesuatu.
“Hugo, ikut ke ruang kerja!” perintahnya.
Seorang pria muda dan tampan yang duduk di sebelah kanannya, mengangguk cepat dan sopan. “Baik, Kek.”
Damon berdiri dari kursinya, diikuti Hugo. Di sebelahnya, seorang wanita manis diam membisu membiarkan suaminya pergi membicarakan urusan bisnis dengan kakek mertuanya.
“Waktunya sudah tiba, Hugo! Aku sudah tak bisa mentoleransi kelambananmu dalam bertindak.
“Perjanjian itu baru berakhir hari ini, Kek.” Pria muda itu menjelaskan.
“Kalau begitu, tak ada lagi alasan penundaan. Beri saja dia uang yang banyak untuk biaya hidup puluhan tahun. Semua wanita suka hidup dalam kemewahan!” tegas Damon dengan pandangan tajam.
“Akan kubereskan hari ini. Besok Kakek akan mendapat kabar baik,” angguk pria muda itu yakin.
“Baik! Kupegang janjimu. Atau---”
“Aku selalu menepati kata-kataku!” Hugo memotong ucapan Damon dengan berani.
“Heh!”
Pria tua itu menunjukkan wajah kesal dan tak senang saat mengibaskan tangan, menyuruh cucunya keluar.
Hugo kembali ke ruang makan. Namun, di sana sudah tak ada orang. Dia melanjutkan ke ruang keluarga, dimana keluarga Von Amstel biasa berbincang saat berkumpul di kediaman kakek.
“Kau sudah selesai? Cepat sekali,” komentar seorang kerabat melihatnya muncul di sana.
“Kakek hanya menanyakan kabar Moreno!” sahut Hugo acuh.
"Di mana istriku?” tanyanya entah pada siapa.
“Aku melihatnya pergi ke balkon Bersama Sandrina,” yang lain menjawab sambil menunjuk ke satu arah.
“Terima kasih.”
Hugo langsung berlalu dari sana untuk mencari Jeannette. Dia memang menemukan istrinya itu sedang berdiri memegang gelas wine dan mendengarkan celotehan Sandrina.
“Jean!” panggilnya. Istrinya menoleh dan matanya bertanya.
“Kita harus pulang, sudah malam. Moreno terlalu lama ditinggalkan!” ajak Hugo.
Wanita yang dipanggil Jean itu hanya mengangguk patuh.
“Maaf, Sandrina. Kami harus pulang,” Hugo mewakili istrinya berpamitan.
“Sejak ada Moreno, aku tak bisa berbincang lebih lama dengan istrimu,” keluh Sandrina kecewa.
Hugo hanya menunjukkan wajah penuh penyesalan, tanpa menjawab sama sekali. Kemudian tangannya memeluk pinggang Jean dan membimbingnya keluar dari rumah mewah Damon von Amstel yang dibangun di sebuah pulau karang di lepas pantai. Itu adalah pulau pribadi milik keluarga Von Amstel turun temurun.
Suami istri itu menuju landasan helicopter. Kendaraan itu melayang setelah keduanya naik. Mengantar mereka pulang ke rumah Hugo.
“Perjanjian kita sudah selesai terhitung malam ini. Kau sudah bebas dan bisa melanjutkan hidup seperti keinginanmu. Bebas dan bahagia.” Hugo mengatakan hal itu tanpa ekspresi. Sebuah tas berisi berkas perjanjian diserahkannya pada Jeannette.
Wanita muda itu terpana mendengar ucapan pria yang telah menjadi suaminya selama satu tahun belakangan.
“Di situ ada cek senilai lima juta dollar untuk biaya hidup. Lalu aset tak bergerak untuk tempat tinggalmu, kuberikan rumah peristirahatan di pedesaan. Tak usah berterima kasih. Itu penghargaanku karena kau sudah melahirkan Moreno!” katanya dingin.
“Tolong, jangan lakukan ini. Aku tahu perjanjian pernikahan kita sudah berakhir, tapi aku tak bisa jauh dari putraku.” Jean berkata mengiba. Air matanya mulai jatuh di pipi putih pucat.
Cuaca malam tak bersahabat. Petir menyambar di antara lapisan awan kelabu yang menggantung tebal di langit. Angin bertiup lumayan kencang dan menimbulkan suara bising di sekitar.
“Aku sudah membiarkanmu menyusui anak itu beberapa waktu, meskipun kakek sudah mengingatkan untuk mengakhiri pernikahan segera setelah Moreno lahir!” Hugo melihat ke depan, menghindari tatapan panik dan sedih istrinya.
“Baik. Kau boleh ceraikan aku. Namun, ijinkan aku tetap merawat Moreno, ya. Dia baru tiga bulan. Dia masih harus disusui setidaknya hingga setahun. Setelah itu aku pergi!” Jean memberi penawaran.
“Tidak!” tegas Hugo.
“Kakek sudah membuat perjanjian pernikahan lain untukku. Kau sangat tahu, kakek tak bisa dibantah!” tolaknya.
Air mata Jean bercucuran. “Kau bisa menikahi siapapun yang dipilih kakek. Biarkan aku jadi pengasuhnya saja. Jika kau khawatir aku akan mengganggu istrimu, maka aku tak akan tinggal di kediamanmu. Aku akan datang pagi dan pulang petang, lewat jalan belakang. Istri barumu tidak akan pernah melihatku!” janji Jean.
Itu adalah harapan terakhir agar bisa tetap bersama dengan Moreno putranya.
Hugo menggeleng tegas. “Kau tahu aku tidak akan membantah perintah kakek. Jadi pergilah dengan tenang. Kau bisa bawa semua yang kusiapkan ini. Kau juga bisa menikah lagi dan punya anak lain. Kita tak akan saling mengenal lagi setelah ini!” balas Hugo dingin dan tegas.
“Tidak! Aku tak mau dipisahkan dari putraku. Aku akan membawanya pergi, dari pada dia hidup dengan pria kejam dan berhati dingin sepertimu!” teriak Jean marah. Dia belum pernah semarah dan seputus asa ini dalam hidupnya.
“Kau memancing kemarahanku!” Mata Hugo berkilauan karena diterangi cahaya kilat yang menyambar.
“Selama ini aku selalu menurutimu, tapi tidak sekarang! Tidak ketika kau hendak mengambil separuh nyawaku. Itu sama saja dengan membunuhku secara perlahan!” pekik Jean histeris. Emosinya tak tertahankan lagi.
“Kau salah jika ingin menguji kesabaranku. Ada hal yang lebih penting dari dirimu!” Mata Hugo menggelap segelap malam.
“Jika kau merasa akan mati karena berpisah dengannya, maka lebih baik aku membunuhmu saja agar tidak tersiksa!” tambah Hugo dingin.
Kesabarannya sudah habis. Dia sudah mendapatkan tugas untuk menikahi Frisia, putri tunggal dari penguasa Oakenvalle. Menurut kakek, dengan menikahi gadis itu, maka pengaruh keluarga Von Amstel akan kembali menguat dan dipandang oleh keluarga besar lain di kota itu.
Selain itu, dia juga merasa tidak menyalahi perjanjian dengan Jeannette. Surat perjanjian itu tepat berakhir hari ini. Dia juga telah membiarkan wanita itu menyusui serta mengasuh Moreno selama dua bulan. Hugo merasa sudah sangat pengertian dan berbaik hati.
“Kau bisa menikah lagi, aku tak akan mengganggumu. Tapi ijinkan Moreno tetap bersamaku. Kumohon ….” Suara Jeannette kembali mengiba. Riasan di wajahnya sudah luntur karena air mata.
Kemurkaan Hugo memuncak karena Jean terus merengek dan tidak patuh. Sangat berbeda dengan sikap yang selalu ditunjukkannya selama ini. Dengan kasar dilepaskannya seat belt dirinya dan wanita itu. Kemudian dengan membungkuk dan menahan pukulan tangan Jean di punggung, dibukanya pintu heli lalu mendorong Jean ke pinggir.
“Kau yang memintaku berlaku kasar dan kejam!”
“Jangan! Kumohon ….” Dengan ketakutan, Jean memohon untuk hidupnya. Tangannya mencoba menjangkau pintu heli dan kakinya menaut ke besi kursi yang didudukinya agar tidak jatuh.
Sayangnya, Hugo sudah gelap mata. Tanpa berkedip, kakinya menendang Jean hingga wanita itu keluar dari kabin dan membuat heli sedikit oleng. Nyawa Jean hanya bergantung pada pegangan tangannya nan lemah di pintu pesawat yang berayun ke sana kemari.
“Pasang seat beltmu, Tuan!” teriak pilot khawatir.
Hanya saja, pria muda itu sudah tak sabaran. Dia pindah ke kursi yang sebelumnya diduduki Jean. Dengan keras dipukulnya tangan mungil yang memegang erat daun pintu. Disertai jeritan putus asa, wanita itu jatuh terjungkal ke laut lepas.
Pintu heli kembali ditutup. Hugo memejamkan matanya yang memburam sesaat. Seperti sedang mendoakan kebaikan bagi Jean. Beberapa saat kemudian matanya terbuka lagi dan kembali menatap gelapnya malam dengan ekspresi dingin. Seolah tak terjadi apapun sebentar tadi.
Helikopter itu terbang menjauh.
Jean meneriakkan sumpahnya, diiringi gelegar petir. “Jika aku berhasil selamat, aku akan membalaskan dendam ini. Atau aku akan menghantui seumur hidupmu!”
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Kustri
menarik lgsg fav
2023-10-14
2
shptra_
kak mampir dicerita aku dong, tolong bantu korekasi❤💗🙏
2023-06-01
1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
kak ak mampir lagi...
wah menarik ini kalau ada yg dendam2 gt hehe..
semangat.
jgn lpa mampir LG kak..
2023-04-18
1