Damon von Amstel meletakkan serbet di atas meja. Itu adalah tanda bagi semua orang bahwa acara makan malam itu sudah selesai. Semua anggota keluarga berhenti makan dan menunggu pria itu mengatakan sesuatu.
“Hugo, ikut ke ruang kerja!” perintahnya.
Seorang pria muda dan tampan yang duduk di sebelah kanannya, mengangguk cepat dan sopan. “Baik, Kek.”
Damon berdiri dari kursinya, diikuti Hugo. Di sebelahnya, seorang wanita manis diam membisu membiarkan suaminya pergi membicarakan urusan bisnis dengan kakek mertuanya.
“Waktunya sudah tiba, Hugo! Aku sudah tak bisa mentoleransi kelambananmu dalam bertindak.
“Perjanjian itu baru berakhir hari ini, Kek.” Pria muda itu menjelaskan.
“Kalau begitu, tak ada lagi alasan penundaan. Beri saja dia uang yang banyak untuk biaya hidup puluhan tahun. Semua wanita suka hidup dalam kemewahan!” tegas Damon dengan pandangan tajam.
“Akan kubereskan hari ini. Besok Kakek akan mendapat kabar baik,” angguk pria muda itu yakin.
“Baik! Kupegang janjimu. Atau---”
“Aku selalu menepati kata-kataku!” Hugo memotong ucapan Damon dengan berani.
“Heh!”
Pria tua itu menunjukkan wajah kesal dan tak senang saat mengibaskan tangan, menyuruh cucunya keluar.
Hugo kembali ke ruang makan. Namun, di sana sudah tak ada orang. Dia melanjutkan ke ruang keluarga, dimana keluarga Von Amstel biasa berbincang saat berkumpul di kediaman kakek.
“Kau sudah selesai? Cepat sekali,” komentar seorang kerabat melihatnya muncul di sana.
“Kakek hanya menanyakan kabar Moreno!” sahut Hugo acuh.
"Di mana istriku?” tanyanya entah pada siapa.
“Aku melihatnya pergi ke balkon Bersama Sandrina,” yang lain menjawab sambil menunjuk ke satu arah.
“Terima kasih.”
Hugo langsung berlalu dari sana untuk mencari Jeannette. Dia memang menemukan istrinya itu sedang berdiri memegang gelas wine dan mendengarkan celotehan Sandrina.
“Jean!” panggilnya. Istrinya menoleh dan matanya bertanya.
“Kita harus pulang, sudah malam. Moreno terlalu lama ditinggalkan!” ajak Hugo.
Wanita yang dipanggil Jean itu hanya mengangguk patuh.
“Maaf, Sandrina. Kami harus pulang,” Hugo mewakili istrinya berpamitan.
“Sejak ada Moreno, aku tak bisa berbincang lebih lama dengan istrimu,” keluh Sandrina kecewa.
Hugo hanya menunjukkan wajah penuh penyesalan, tanpa menjawab sama sekali. Kemudian tangannya memeluk pinggang Jean dan membimbingnya keluar dari rumah mewah Damon von Amstel yang dibangun di sebuah pulau karang di lepas pantai. Itu adalah pulau pribadi milik keluarga Von Amstel turun temurun.
Suami istri itu menuju landasan helicopter. Kendaraan itu melayang setelah keduanya naik. Mengantar mereka pulang ke rumah Hugo.
“Perjanjian kita sudah selesai terhitung malam ini. Kau sudah bebas dan bisa melanjutkan hidup seperti keinginanmu. Bebas dan bahagia.” Hugo mengatakan hal itu tanpa ekspresi. Sebuah tas berisi berkas perjanjian diserahkannya pada Jeannette.
Wanita muda itu terpana mendengar ucapan pria yang telah menjadi suaminya selama satu tahun belakangan.
“Di situ ada cek senilai lima juta dollar untuk biaya hidup. Lalu aset tak bergerak untuk tempat tinggalmu, kuberikan rumah peristirahatan di pedesaan. Tak usah berterima kasih. Itu penghargaanku karena kau sudah melahirkan Moreno!” katanya dingin.
“Tolong, jangan lakukan ini. Aku tahu perjanjian pernikahan kita sudah berakhir, tapi aku tak bisa jauh dari putraku.” Jean berkata mengiba. Air matanya mulai jatuh di pipi putih pucat.
Cuaca malam tak bersahabat. Petir menyambar di antara lapisan awan kelabu yang menggantung tebal di langit. Angin bertiup lumayan kencang dan menimbulkan suara bising di sekitar.
“Aku sudah membiarkanmu menyusui anak itu beberapa waktu, meskipun kakek sudah mengingatkan untuk mengakhiri pernikahan segera setelah Moreno lahir!” Hugo melihat ke depan, menghindari tatapan panik dan sedih istrinya.
“Baik. Kau boleh ceraikan aku. Namun, ijinkan aku tetap merawat Moreno, ya. Dia baru tiga bulan. Dia masih harus disusui setidaknya hingga setahun. Setelah itu aku pergi!” Jean memberi penawaran.
“Tidak!” tegas Hugo.
“Kakek sudah membuat perjanjian pernikahan lain untukku. Kau sangat tahu, kakek tak bisa dibantah!” tolaknya.
Air mata Jean bercucuran. “Kau bisa menikahi siapapun yang dipilih kakek. Biarkan aku jadi pengasuhnya saja. Jika kau khawatir aku akan mengganggu istrimu, maka aku tak akan tinggal di kediamanmu. Aku akan datang pagi dan pulang petang, lewat jalan belakang. Istri barumu tidak akan pernah melihatku!” janji Jean.
Itu adalah harapan terakhir agar bisa tetap bersama dengan Moreno putranya.
Hugo menggeleng tegas. “Kau tahu aku tidak akan membantah perintah kakek. Jadi pergilah dengan tenang. Kau bisa bawa semua yang kusiapkan ini. Kau juga bisa menikah lagi dan punya anak lain. Kita tak akan saling mengenal lagi setelah ini!” balas Hugo dingin dan tegas.
“Tidak! Aku tak mau dipisahkan dari putraku. Aku akan membawanya pergi, dari pada dia hidup dengan pria kejam dan berhati dingin sepertimu!” teriak Jean marah. Dia belum pernah semarah dan seputus asa ini dalam hidupnya.
“Kau memancing kemarahanku!” Mata Hugo berkilauan karena diterangi cahaya kilat yang menyambar.
“Selama ini aku selalu menurutimu, tapi tidak sekarang! Tidak ketika kau hendak mengambil separuh nyawaku. Itu sama saja dengan membunuhku secara perlahan!” pekik Jean histeris. Emosinya tak tertahankan lagi.
“Kau salah jika ingin menguji kesabaranku. Ada hal yang lebih penting dari dirimu!” Mata Hugo menggelap segelap malam.
“Jika kau merasa akan mati karena berpisah dengannya, maka lebih baik aku membunuhmu saja agar tidak tersiksa!” tambah Hugo dingin.
Kesabarannya sudah habis. Dia sudah mendapatkan tugas untuk menikahi Frisia, putri tunggal dari penguasa Oakenvalle. Menurut kakek, dengan menikahi gadis itu, maka pengaruh keluarga Von Amstel akan kembali menguat dan dipandang oleh keluarga besar lain di kota itu.
Selain itu, dia juga merasa tidak menyalahi perjanjian dengan Jeannette. Surat perjanjian itu tepat berakhir hari ini. Dia juga telah membiarkan wanita itu menyusui serta mengasuh Moreno selama dua bulan. Hugo merasa sudah sangat pengertian dan berbaik hati.
“Kau bisa menikah lagi, aku tak akan mengganggumu. Tapi ijinkan Moreno tetap bersamaku. Kumohon ….” Suara Jeannette kembali mengiba. Riasan di wajahnya sudah luntur karena air mata.
Kemurkaan Hugo memuncak karena Jean terus merengek dan tidak patuh. Sangat berbeda dengan sikap yang selalu ditunjukkannya selama ini. Dengan kasar dilepaskannya seat belt dirinya dan wanita itu. Kemudian dengan membungkuk dan menahan pukulan tangan Jean di punggung, dibukanya pintu heli lalu mendorong Jean ke pinggir.
“Kau yang memintaku berlaku kasar dan kejam!”
“Jangan! Kumohon ….” Dengan ketakutan, Jean memohon untuk hidupnya. Tangannya mencoba menjangkau pintu heli dan kakinya menaut ke besi kursi yang didudukinya agar tidak jatuh.
Sayangnya, Hugo sudah gelap mata. Tanpa berkedip, kakinya menendang Jean hingga wanita itu keluar dari kabin dan membuat heli sedikit oleng. Nyawa Jean hanya bergantung pada pegangan tangannya nan lemah di pintu pesawat yang berayun ke sana kemari.
“Pasang seat beltmu, Tuan!” teriak pilot khawatir.
Hanya saja, pria muda itu sudah tak sabaran. Dia pindah ke kursi yang sebelumnya diduduki Jean. Dengan keras dipukulnya tangan mungil yang memegang erat daun pintu. Disertai jeritan putus asa, wanita itu jatuh terjungkal ke laut lepas.
Pintu heli kembali ditutup. Hugo memejamkan matanya yang memburam sesaat. Seperti sedang mendoakan kebaikan bagi Jean. Beberapa saat kemudian matanya terbuka lagi dan kembali menatap gelapnya malam dengan ekspresi dingin. Seolah tak terjadi apapun sebentar tadi.
Helikopter itu terbang menjauh.
Jean meneriakkan sumpahnya, diiringi gelegar petir. “Jika aku berhasil selamat, aku akan membalaskan dendam ini. Atau aku akan menghantui seumur hidupmu!”
******
Jean memejamkan mata, memasrahkan hidupnya. Sekelebat bayangan masa lalu muncul di ruang mata.
Seorang gadis manis berpakaian sederhana, berjalan kaki dengan cepat. Malam itu sepeda yang biasa dipakainya rusak, membuat Jean terpaksa menuntunnya pulang. Dia selalu melewati jalan yang sama. Hanya saja, entah kenapa malam itu dadanya berdegup lebih cepat. Jean tak mengerti kenapa dia tiba-tiba merasa takut.
Hatinya lega saat matanya melihat bangunan panti asuhan yang ditinggalinya selama ini sudah dekat. Kekhawatirannya hilang. Langkahnya dipercepat dengan tak sabar. Dia tadi mendapat sedikit bonus dari bos tempatnya bekerja.
Makanan yang dibawanya pasti akan jadi rebutan adik-adik satu panti. Senyumnya mekar membayangkan keramaian di dalam rumah hangat itu.
“Akh!”
Sebuah sepeda tua dan tas belanja berisi makanan, jatuh di pinggir jalan.
Tampak siluet dua sosok kekar dengan jas Panjang, menyeret seorang wanita dengan kepang kuda, ke dalam mobil van yang sudah menunggu. Tak lama mobil itu pergi, meninggalkan sepeda yang tergeletak dalam kesunyian malam, pinggiran kota.
*****
Tiga bulan berlalu.
Sebuah pesta pernikahan mewah diselenggarakan di kota Oakenvalle. Pernikahan keluarga bangsawan Von Amstel dan Baron Holloway.
Dua keluarga itu menyatukan putra dan putri mereka dalam perkawinan. Semua keluarga terpandang, bangsawan, dan pejabat kota meramaikan pestanya.
Meskipun demikian, semua orang faham bahwa pernikahan para bangsawan itu bukanlah dilandaskan pada cinta. Itu adalah pernikahan bisnis semata. Pernikahan yang bernilai ekonomi dan untung rugi..
Banyak yang menyayangkan permata indah kota itu menikahi Hugo von Amstel yang ramai digosipkan telah menikah dan memiliki putra. Kabar yang berembus, istrinya tewas dalam liburan mereka di laut.
Tak ada yang akan mempercayai jika Baroness Frisia Holloway, bidadari kota itu bisa jatuh cinta pada patung pualam tampan yang dingin dan kaku serta tidak populer.
Lebih dari itu, reputasi keluarga Von Amstel sebenarnya tidaklah terlalu bagus. Mereka bukan keluarga populer yang akan didekati keluarga lain dengan sukarela.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Damon von Amstel bertangan besi terhadap keluarganya sendiri. Dan diduga khalayak sebagai ketua mafia kejam yang akan melenyapkan siapapun yang menjadi musuhnya.
Namun tentu saja, tak ada yang berani menyuarakannya dengan jelas. Takut dirinya sendiri hilang tak tentu rimba.
*
*
Empat bulan kemudian.
Jean tersadar di sebuah pondok kayu sederhana. Udara hangat dalam pondok, dipenuhi aroma kayu bakar.
Dia berusaha menoleh, mencari tahu dari mana asal bunyi derak kayu yang terbakar itu. Tapi kemudian berakhir dengan rintihan menyayat. Dia merasakan sakit yang amat sangat disekujur tubuh.
“Akhirnya kau sadar juga.” Seorang pria paruh baya bertubuh kekar dengan rambut coklat keabuan, datang mendekat.
“Siapa kau!”
Meski harus menahan sakit, wanita itu tetap mencoba menjauh. Kepanikan tampak jelas pada wajahnya.
“Jangan terlalu banyak bergerak. Tubuhmu belum pulih benar,” ujarnya memperingatkan.
Pria itu menahan langkahnya dan memperkenalkan diri. “Aku Falcon … yang mengangkat tubuhmu dari bawah tebing karang di sana!”
Jawaban itu seperti panduan bagi ingatan Jean. Berangsur-angsur dia dapat mengingat apa yang dialaminya.
“Monster itu sanggup menendangku jatuh dari helikopter!” desisnya penuh kemarahan yang meluap.
“Boleh aku tahu siapa monster yang kau maksud?” tanya Falcon tenang. Dia masih menjaga jarak berdirinya dari Jean, agar wanita itu tidak panik dan terlalu banyak bergerak.
“Pria yang menikahiku dengan paksa, kemudian menendangku ke laut agar dapat mengambil putraku dan menikahi putri seorang walikota!”
Falcon dapat melihat api dendam yang menyala-nyala di mata wanita yang terbaring lemah di depannya.
“Kau pingsan terlalu lama. Aku merawatmu dengan obat seadanya selama tujuh bulan, Kau tahu?” Falcon menjelaskan.
“Tujuh bulan?” pekiknya tertahan. Seketika rasa panik menyergapnya. Kemudian mendung meluruhkan semua sinar dalam matanya. Akhirnya Jean hanya bisa memejamkan mata dengan putus asa.
“Bagaimana aku bisa membalaskan dendam jika waktu sudah terlewat begitu lama?” gumamnya. Kemudian yang keluar dari bibirnya adalah isak tangis pilu.
“Putraku, aku merindukannya …. Ibu merindukanmu, Moreno,” lirihnya nyaris tak terdengar.
“Pembalasan dendam tak mengenal waktu. Kau bisa melakukannya saat sudah siap dan mampu. Aku bisa membantumu, jika kau mau.” Falcon menawarkan diri.
"Apa kau bersungguh-sungguh?"
Mata Jean jelas menunjukkan rasa tak percaya. Namun dia berhasil menelan senyum sinis yang nyaris terlontar. Bagaimana pun juga, dia haruslah bersikap sopan pada orang yang sudah menolong nyawanya.
Dengan yakin, Falcon mengangguk.
“Benarkah? Bantuan apa? Apa kau bersedia datang ke sana untuk membunuhnya?” Binar harapan di dalam mata hijau itu kembali muncul. Membuatnya berkilau seindah zamrud.
Falcon menggeleng dan tersenyum. Dia berjalan ke perapian. Mengambil dan menuangkan sesuatu ke dalam wadah di tangannya. Kemudian membawanya ke pembaringan Jean.
“Langkah pertama adalah meminum obatmu agar cepat sembuh.” Sebuah cangkir kaleng di sodorkan ke arah wanita di depannya.
Jean menerima dan langsung meneguk obat pahit dan berbau tidak enak itu. Sepertinya pria di depannya menambahkan segala macam dedaunan ke dalam panci dan merebusnya sebagai obat.
“Kau tak takut kalau itu racun?” uji Falcon.
“Kau bisa membunuhku sejak lama, kalau mau.” Jean menjawab dengan cerdas.
“Apa lagi yang harus ku lakukan agar bisa membalaskan dendam dan merebut kembali putraku?” tambahnya kemudian.
“Setelah sembuh, kau harus berlatih. Aku rasa, setelah berbaring sekian lama, kau akan butuh latihan untuk bisa berjalan lagi.” Falcon mengambil duduk di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu.
“Lalu?” kejar Jean tak sabar.
“Lalu aku akan melatihmu hingga kuat dan mampu membalaskan dendam dengan tanganmu sendiri." Falcon meneguk minumannya.
"Ini perangmu, bukan perangku. Aku hanya akan menjadi pelatihmu saja," tegasnya.
"Ini perangmu, bukan perangku. Aku hanya akan menjadi pelatihmu saja," tegasnya.
“Pasti akan memakan waktu lama.” Akhirnya wanita itu bicara setelah sekian lama berpikir.
“Dia pasti merasa lega karena mengira aku sudah mati!” desisnya geram.
Falcon menggeleng. “Justru ini akan sangat bagus. Dia tak akan menduga kalau kau ternyata masih hidup dan datang untuk mencabut nyawanya. Biarkan dia lengah dan menduga semua sudah sesuai dengan rencananya,” jelas Falcon.
Sebuah senyuman lebar yang mengerikan, tergurat di wajah cantik wanita yang sekarang penuh dengan kebencian. “Kau benar. Aku bersedia berlatih denganmu!” katanya penuh semangat.
“Bagus! Jadi jangan banyak mengeluh setelah ini!” Falcon mengangkat ibu jarinya dan ditunjukkan pada Jean. Raut kepuasan terlihat samar di garis wajahnya yang tegas.
“Sekarang, kurasa kau lebih baik mengganti nama. Nama yang mencerminkan dirimu yang baru. Penuh tekad, kuat, dan akan membayangi hidupnya dengan pembalasan yang kejam! Nama yang akan membuat siapapun bergidik ngeri!” saran Falcon lagi.
Sambil berbaring, Jean memikirkan nama yang mungkin cocok untuk identitasnya yang baru. “Shadow! Aku akan gunakan nama itu mulai sekarang. Jean yang lemah sudah mati di laut!” ujarnya setelah beberapa saat.
Falcon mengangguk setuju. “Nama yang bagus. Kuat dan misterius.”
Shadow merasa optimis. Dia sangat bersemangat dan percaya bahwa suatu hari nanti dia akan kembali ke kediaman besar itu dan merebut putranya, serta membalaskan dendam pada Hugo.
“Tak ada ampunan untukmu, Tuan Hugo von Amstel! Kau harus membayar setiap rasa sakit yang kualami!” sumpahnya.
Kilat menyambar-nyambar, seakan jadi pertanda bahwa sumpahnya di terima langit.
“Aku menyukai semangatmu. Semoga besok lusa kau tetap punya semangat baja!” Pria itu menghirup minumannya dan bersandar di sofa dengan santai.
Dahi Shadow mengernyit. Dia merasa kalau Falcon tidak mempercayai tekadnya. Hal itu membuatnya makin bersemangat dan membulatkan tekad.
“Aku bersedia menerima pelatihan apapun, asalkan bisa membuatku kembali ke sana untuk membunuhnya!” katanya geram.
“Aku terima tantanganmu!”
Falcon menyahuti dengan cepat. Pria itu berdiri dan menuju ke satu lemari.
“Aku akan pergi untuk beberapa waktu. Hal ini sudah kutunda sejak lama karena harus merawatmu. Sekarang kau sudah sadar. Jadi kau bisa mulai merawat diri sendiri.”
Shadow terdiam. Tak mengira pria itu akan langsung pergi meninggalkannya disaat dia baru saja sadar dari tidur panjang. “Kau mau pergi?” Matanya yang sehijau zamrud membulat lebar, tak percaya.
“Ya!" tegasnya.
"Dengan tekadmu itu, aku yakin kau mampu mengurus dirimu sendiri. Di kotak itu ada sedikit persediaan makanan. Kau bisa menggunakannya,” ujar Falcon sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tas hitam besar.
“Saat kembali nanti, aku akan membawa persediaan baru.”
Shadow melihat Falcon menyelipkan sebuah pistol hitam ke balik punggung, kemudian menutupnya dengan jaket. Dia juga pernah melihat pengawal kediaman Hugo melakukan itu.
“Masih ada makanan di dekat perapian. Kau tak perlu disuapi lagi. Jadi makanlah! Aku pergi!” Pria itu melangkah ke pintu rumah kayu yang mereka tempati.
“Berapa lama kau pergi?” tanya Shadow mulai putus asa.
“Beberapa minggu hingga satu bulan,” sahut Falcon sebelum menghilang di balik daun pintu yang kembali tertutup rapat.
Shadow terdiam. Di luar, suara rintik hujan mulai jatuh. Udara menjadi sedikit dingin. Akan tetapi, perapian yang menyala mampu mengusir gigil dari tubuhnya.
Lama dia terdiam di tempat, tak tahu harus melakukan apa. Dia sudah mencoba menggerakkan badan untuk bangun. Namun rasa sakit yang amat sangat, membuat air matanya menggenang dan menghentikan semua upayanya.
“Kenapa aku tadi begitu sombong? Kalau saja aku tidak terlalu banyak bicara, dia mungkin tidak akan buru-buru pergi. Apapun itu, dia pasti bisa menundanya, setelah menunda selama tujuh bulan untuk merawatku.”
Shadow mulai menyesali diri karena terlalu banyak bicara. Namun, menyesal juga tak ada gunanya. Dia harus bisa bangun dari tempat tidur sekarang, atau akan kelaparan.
Dengan beringsut, digerakkannya kaki ke tepi tempat tidur. Tapi dirinya tertegun. Kaki kanannya terasa kaku untuk digerakkan.
“Apa yang terjadi pada kakiku?” gumamnya.
Karena rasa khawatir dan penasaran, Shadow melengkungkan tubuhnya sedikit, sebelum berhenti akibat deraan rasa sakit yang tak terkira.
“Aduh ….” Suara rintihannya tertelan gemericik air di atap. Bayangan senyum Moreno yang polos dan lucu, merebakkan air mata yang semula menggenang.
Suara lirihnya terdengar. “Mama merindukanmu sayang ….”
Tak lama bayangan wajah bayi itu berubah jadi tekad, seakan memanggilnya. “Mama akan datang menjemputmu!”
Segera tubuh lemah tak berdaya itu kembali digerakkan. Shadow ingin melihat apa yang terjadi pada kakinya. Setelah upaya keras yang menyakitkan, Tubuhnya dapat dimiringkan untuk melihat keadaan kaki kanannya. Matanya membesar melihat dari lutut ke bawah, kaki itu dibebat dengan kayu dan kain yang tebal.
“Apakah kakiku patah saat jatuh itu?” pikirnya sedih. “Bagaimana mau membalas dendam kalau berdiri saja tak bisa. Ayo bangkit Shadow! Kau harus kuat!” ujarnya pada diri sendiri.
Dengan usaha sangat keras dam jatuh berkali-kali, serta mengabaikan rasa sakit yang mendera, Shadow berhasil duduk. Peluhnya mengucur deras di udara yang dingin. Wajahnya memerah menahankan kesakitan yang amat sangat.
Untuk sementara dia hanya duduk dan mengatur napas yang tersengal-sengal. Tubuh yang tertidur selama tujuh bulan itu seakan terkejut dipaksa bergerak. Detak jantungnya jadi lebih cepat dan napas tersengal seperti habis berlari. Pada hal dia hanya berusaha untuk bisa duduk di tempat tidur.
Penderitaan makin bertambah ketika suara perutnya yang kosong terdengar. Dengan memejamkan mata, Shadow kembali mengumpulkan semangat. Dia harus bisa jalan ke perapian dan mengambil mangkuk makanan yang ditinggalkan Falcon. Perutnya sudah sangat lapar.
“Aku pasti bisa. Harus bisa!” ujarnya sambal menggertakkan gigi.
Butuh satu jam lebih usaha keras disertai drama jatuh dari tempat tidur ke lantai, dia tak peduli. Dengan beringsut-ingsut di lantai kayu yang kotor, Shadow berhasil mencapai perapian. Tangan gemetarnya mengarah ke perapian untuk menjangkau mangkuk yang letaknya sedikit lebih tinggi dari posisi duduk.
“Ouch!”
Jarinya otomatis menjauhi mangkuk yang ternyata sangat panas itu. Sekarang matanya nanar mencari sesuatu untuk melapisi tangan agar tidak melepuh karena luka bakar.
Hari mulai rembang petang. Suasana remang di luar mempengaruhi pencahayaan di dalam rumah. Membuatnya makin kesulitan untuk mencari kain atau apapun di sana.
Hingga matanya tertumbuk pada meja tinggi di sudut ruangan. Ada beberapa mangkuk tersusun di sana. Tampaknya itu adalah meja untuk peralatan dapur. Ada sebuah napkin tergantung di atas meja itu. Harusnya, itulah yang digunakan Falcon untuk melapisi tangan saat mengangkat mangkuk panas.
“Bagaimana cara mengambilnya?” Kedua bahunya jatuh. Lesu dan keputus asaan mulai menghinggapi.
“Sialan kau Hugo! Kau yang membuatku seperti ini!” teriaknya marah.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!