Dengan beringsut-ingsut, Shadow mendekati meja kayu di sudut. Beberapa kali dia melompat untuk bisa menjangkau tepian meja. Menjadikannya tumpuan untuk berdiri, dan mengambil kain itu. Tapi lompatannya kurang tinggi.
Rasa sakit? Dia sudah tak peduli lagi. Beberapa kali telinganya mendengar derak tulangnya yang kaku dipaksa untuk bergerak ekstrim. Namun, meskipun sudah berusaha sekeras itu, dia tetap tak dapat membawa tubuhnya berdiri.
Shadow menangis di kaki meja. Suara tangisan paling pilu dan menyayat hati yang mungkin bisa didengar orang. Rasa putus asa kembali muncul hingga dirinya marah sendiri.
“Sialan Kau!” teriaknya marah entah pada siapa.
Tangannya memukul kaki meja dengan tenaga penuh. Kayu itu patah dan membuat permukaannya miring. Beberapa mangkuk dan cangkir stainless meluncur jatuh. Dengan refleks dia menunduk. Tangan melindungi bagian kepala, takut sesuatu yang berat di atas akan jatuh menimpa. Barang-barang itu berhamburan di lantai dengan suara berkelontangan, berisik sekali.
Setelah menunggu beberapa saat dan tak ada lagi yang jatuh, barulah dia melihat ke sekitar. Matanya mencari-cari serbet di antara semua yang terserak. Dia menemukannya. Serbet tipis yang harusnya bukan untuk mengangkat benda panas. Tapi Shadow tak peduli. Dengan sedikit beringsut, dia berhasil mendapatkannya. Tak Cuma itu, Dia bahkan punya sendok sekarang.
Wajahnya berseri-seri saat menuju perapian. “Akhirnya bisa makan,” gumamnya senang.
Karena tubuhnya belum pulih benar dan akibat memaksakan diri, badannya terus bergetar. Itu adalah sinyal bahwa dirinya telah melewati ambang batas rasa sakit yang bisa ditoleransi. Rasa lapar memberinya tambahan tenaga untuk melewati semua yang sebelumnya tak akan mampu dilakukannya.
Mangkuk panas itu sekarang sudah ada di depannya. Dengan tak sabar dibukanya tutup kecil yang menjaga makanan dari jelaga yang mungkin jatuh dari dinding perapian. Dengan bersemangat disendoknya sesuatu yang ada di dalam mangkuk. Namun, yang terlihat di atas sendok kayu itu, tidak sesuai dengan harapannya.
“Apakah ini makanan manusia?” gumamnya tak percaya. Ditatapnya nanar sesuatu yang lembek dengan bentuk tak karuan, berwarna hampir hitam di atas sendok.
Sekali lagi terdengar suara protes dari perutnya. Kali ini bukan lagi rintihan, tapi jerit kelaparan. Kepalanya menggeleng putus asa. “Apa selama ini kau menyuapiku dengan makanan seperti ini, Falcon?” geramnya.
Dengan melawan rasa mual, ditiup-tiupnya sesuatu yang entah apa di atas sendok itu. Sambil menutup mata, suapan pertama masuk ke mulut. Wajahnya terlihat sangat menderita saat harus mengunyah makanan itu. Tapi dia menelannya juga, demi mendamaikan protes para cacing di perut.
Kali kedua, dia tak perlu memejamkan mata lagi. Disendoknya makanan aneh itu lalu meniup sebentar dan segera masuk mulut. Untuk membuang rasa jijik, maka Shadow akan langsung menelan saja makan panas itu.
Perlahan tapi pasti, isi satu mangkuk itu ludes dan berpindah ke perutnya yang seketika menjadi lebih nyaman. Suara sendawa terdengar kuat, menandakan perutnya sudah kekenyangan.
“Oke, apapun itu. Aku berterima kasih padamu, Falcon. Kau koki yang buruk!” teriaknya sambil tertawa keras.
Gemetar yang tadi dirasakan tubuhnya, berangsur reda. Tanpa peduli, dibaringkannya
tubuh lelah itu di lantai dingin. Di luar, hujan sudah berhenti. Suara binatang malam mulai terdengar. Telinganya mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Dimana kah tempat ini?” pikirnya heran.
Suara-suara aneh di luar, kadang membuatnya takut. Takut, sebab dirinya yang tak berdaya, hanya sendirian saja.
Kemudian dia duduk dan melihat meja yang sudah tak karuan bentuknya. Ditambah lagi api di perapian yang makin mengecil. Kepalanya celingukan ke sana-sini mencari cadangan kayu bakar. Falcon harusnya menyimpan persediaan kayu bakar di dalam rumah agar tidak basah kehujanan. Tapi Shadow tak menemukannya.
Matanya menoleh cepat ke arah meja yang rusak. Kemudian beringsut lagi sambal mendesis.
“Kau sudah rusak. Tunggu Falcon kembali untuk memperbaikimu. Sekarang kau harus rela menjadi penghangat rumah.”
Tangannya menarik semua kaki meja yang masih berdiri. Beberapa barang kembali jatuh.
“Ouch! Hampir saja!” Dilihatnya sebilah pisau besar tajam yang biasa digunakan di
dapur, terjatuh di dekat kakinya.
Kemudian kayu-kayu itu diseret ke perapian dan dilemparkan ke dalamnya. “Terima kasih untuk pengabdianmu!”
Matanya membuka karena mendengar suara-suara aneh di luar rumah. Namun, kali ini tak terlalu mudah lagi baginya untuk bisa bangun dan mendudukkan diri di lantai.
Tubuhnya sakit seperti habis dirajam. Untuk sesaat dia hanya bisa meringis menahan semua rasa itu.
Satu jam berlalu dalam kesunyian. Rasa sakit dan perut kenyang membuat tubuhnya beristirahat begitu saja di lantai. “Apa aku tadi tertidur?” gumamnya.
Dilihatnya sekitar. Jendela yang hanya diberi jeruji kayu, menunjukkan pekatnya malam di luar sana. Segala macam suara makin banyak terdengar. Hingga tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Suara lolong serigala terdengar entah dari mana.
“Apa rumah Falcon berada di tengah hutan?”
Ketakutan terlihat nyata di mata hijaunya. Mata itu terus
mengawasi pintu yang kadang terhempas oleh angin yang masuk dan keluar lagi.
“Mungkinkah serigala atau babi hutan bisa masuk ke sini?”
Tanpa disadari, tubuhnya beringsut ke tepi tempat tidur yang dia tempati sebelumnya.
Kemudian bersusah payah memanjat naik lagi dan mendekam di sana.
Sejak itu matanya tak lagi dapat dipejamkan. Khawatir ada binatang hutan ataupun
binatang melata yang masuk ke dalam rumah dan memangsanya.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
jd Falcon pergi gak nutup pintu?
2024-02-19
1
Kustri
lanjut...
2023-10-14
1