“Aku akan mengembalikan semua penderitaan ini padamu, Hugo!” desisnya penuh
kebencian.
Ingatannya kembali ke masa lalu. Saat dia terbangun di tempat asing itu pertama kali.
“Di mana ini? Apakah kalian yang menolongku? Terima kasih. Bisakah aku pulang sekarang?”
Jean bangkit dan turun dari tempat tidur, hendak pergi dari sana.
“Tunggu, Nona! Anda harus mandi lebih dulu, baru bertemu dengan pemilik rumah ini!” seorang wanita berpakaian maids memberi saran.
“Oh?” Jean melihat pada pakaian usangnya yang dekil berdebu. Dia terlihat malu. Bahkan pakaian para maids itu jauh lebih bersih dan bagus ketimbang yang dikenakannya.
“Apakah begitu aturan di rumah ini?” tanyanya agak takut.
“Ya!” Seorang maid mengangguk.
“Setelah mandi Anda bisa mengatakan semua yang ingin anda katakan, pada Tuan,” jelas maid yang lain.
Jean mengangguk ragu. “Baiklah ….”
Lalu dia didandani dan diantar ke tempat pria itu. Dibawah ancaman, Jean terpaksa menyetujui perjanjian pernikahan dengan Hugo. Atau Nyonya Mildred dan panti asuhan tempat adik-adiknya tinggal, akan dihancurkan. Dia membenci Hugo di dalam hatinya atas hal itu.
Jean tak pernah berharap banyak dengan menjadi istri kontrak Hugo. Kewajibannya hanya melahirkan putra untuk menjadi penerus pria itu.
Keberuntungan berpihak padanya. Setelah satu bulan pernikahan, dia hamil. Jean mengira dirinya tak akan terpengaruh sama sekali, dan masih percaya bahwa dia akan bisa kembali pada keluarganya di panti asuhan setelah perjanjian kontrak berakhir.
Hugo tidak mendatanginya sama sekali setelah itu.
Kecuali saat dia pulang dari rumah kakek dalam keadaan terlalu mabuk. Dia akan memaksa Jean untuk melayani.
Saat kehamilannya berlanjut, Jean mulai ragu dengan perasaannya. Bukan karena dia mulai mencintai Hugo. Namun, naluri keibuannya
yang bangkit seiring perkembangan janin di perutnya.
Kelahiran Moreno jadi isyarat bagi Jean bahwa pernikahan kontrak itu akan segera berakhir. Dia sudah cemas sejak awal, karena naluri keibuannya membuat hatinya tak hendak berjauhan dari bayi tampan dan menggemaskan itu.
Hugo masih mengijinkan Jean menyusui putranya. Hingga makan malam terakhir di kediaman kakek. Pria itu tak dapat lagi dibujuk untuk
membiarkannya mengasuh putranya sendiri.
Hanya saja, Jean tak menyangka kalau Hugo akan sangat tega membuangnya di tengah lautan! Hal itu membangkitkan kebencian yang selama ini terpendam begitu dalam. Terlebih lagi, setelah mengetahui bagaimana parah keadaannya kini.
“Dunia ini terlalu sempit untuk kita berdua. Aku akan
datang mengambil putraku dan membunuhmu!” sumpahnya dengan mata berapi-api.
***
Pagi hari adalah perjuangan lain bagi Jean alias Shadow.
Dia bangun dengan tubuh yang terasa remuk. Kakinya mengalami nyeri hebat.
Namun, dia tak tahu harus bagaimana mengatasinya. Erangannya menyayat hati.
Bahkan meskipun lelah menangis, rasa sakitnya tak juga reda.
“Aku harus turun dan mencari obat dan makanan. Atau,
aku akan mati saat Falcon kembali!” kata hatinya.
Dengan menyeret anggota tubuh yang hampir tak
dirasakannya, Shadow bergerak perlahan.
Brukk!
Tubuhnya kembali berdebum di lantai kayu. “Adduuhh …,”
keluhnya.
Rasa sakit yang tak terkira itu membuat tubuhnya gemetar. Dengan menggertakkan gigi, Shadow terus menyeret tubuhnya menuju meja yang patah malam sebelumnya.
SInar matahari yang menerobos masuk lewat jendela tanpa penutup itu, membuat dia bisa melihat benda apa saja yang tajuh dari meja tadi malam. Shadow menemukan tiga butir kentang dan satu ubi. Lalu beberapa macam dedaunan yang dia tidak pernah tahu, jika itu bisa dimakan.
“Apakah dia meramu obat dari daun-daun ini?” batinnya.
“Bagaimana kalau ini ternyata beracun?” Dengan curiga Shadow mencium aroma tiap jenis daun yang dia temukan.
“Baunya mirip dengan obat pahit tadi malam,”gumamnya
ragu.
“Ah … apa bedanya mati sekarang ataupun besok! Yang penting aku sudah usahakan membuat obatku sendiri!”
Dia memarahi dirinya
sendiri yang begitu takut mati. Padahal dia baru saja lolos dari maut!
Shadow kembali merangkak menuju perapian yang tinggal
bara. Dibawanya kayu meja yang kemudian dilemparkan ke perapian untuk jadi kayu
bakar. Ubi dan kentang disusun dipinggir perapian agar matang tanpa harus
gosong.
Jane mengumpulkan dedaunan yang ditemukan dan dimasukkan dalam cangkir kaleng yang tergeletak berantakan di lantai. Matanya mencari-cari tempat air dan dia menemukannya di dekat pintu. Sebuah cawan besar air dengan penutup.
“Semoga itu adalah air bersih,” harapnya sambil menyeret kakinya ke sana. Akan tetapi, dirinya segera membeku setelah menyadari
cawan air itu lumayan tinggi untuk dijangkau. Jika dia memaksa bertumpu ke benda itu, maka bisa saja isi di dalamnya tumpah tak tersisa.
Shadow melihat ke dekatnya. Sebuah balok kayu yang
mengikat dinding terletak sedikit di atas kepalanya. Tangannya menggapai dan
memegang kuat permukaannya. Bertumpu pada balok kayu tersebut, dia menarik tubuhnya naik.
Giginya gemeletuk menahan nyeri kaki yang dipaksa menahan beban tubuh. Tangannya segera membuka penutup cawan dan sangat bahagia saat melihat air memenuhi tempat itu.
“Terima kasih, Falcon!” lirihnya. Diciduknya air dengan cangkir kaleng dan langsung meneguknya untuk menyegarkan tenggorokan yang kering.
Shadow duduk dekat perapian, menunggu obat dan ubinya matang. Dia sudah membereskan kekacauan akibat mematahkan meja tadi malam. Pondok kecil itu sudah cukup rapi sekarang. Daun-daun yang berserakan sudah dikumpulkan di satu wadah.
Dua jam berlalu, rasa nyerinya memang perlahan mereda
setelah minum teh dedaunan yang ditemukannya.
“Sepertinya dia memberiku obat ini selama sakit. Apa ini hanya meredakan nyeri saja, atau memang ada manfaat
lain?” Diisinya lagi cangkir dengan air dan kembali meletakkan di perapian.
“Aku harus keluar mencari sesuatu untuk dimakan.”
Shadow melihat satu ubi bakar yang sengaja disisakannya untuk jatah makan siang nanti.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments