Keesokan harinya.
"Ma, Dza berangkat!" pamit Dzakiyya.
Diana melirik Dzakiyya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Melengos sudah pasti. Tapi ada hal yang membuatnya lebih benci lagi. Baru kemarin Abidzar menikah dan baru subuh tadi berangkat bulan madu. Apa Dzakiyya tidak sakit hati. Lalu kemana Dzakiyya akan pergi pagi-pagi begini?
"Suamimu tidak di rumah dan kamu sudah mau kelayapan?" seloroh Diana. Diana membanting koran yang dia baca. Melipat tangan sembari menatap Dzakiyya penuh curiga.
"Ma, Dza mau pergi ke kantor. Bukan kelayapan," terang Dzakiyya.
Mendengar penjelasan menantunya, jangankan mengubah sikap. Diana malah semakin sensi dan menyembunyikan punggung tangannya yang hendak dicium Dzakiyya. "Berangkat sana!" usir Diana.
Diana langsung bangkit. Meninggalkan Dzakiyya yang hanya melihat kepergian mertuanya dengan tatapan tak mengerti. Memangnya apa yang membuat mertuanya marah sampai mengacuhkannya lagi kali ini?
"Sudahlah, mungkin mama terlalu lelah setelah mengurus pernikahan Mas Abid kemarin," gumam Dzakiyya.
Dzakiyya akhirnya pergi. Sementara Diana yang sudah berada di kamar mengintip Dzakiyya dari jendela. "Cepatlah berangkat. Karena sesuatu yang besar sudah menunggumu di perusahaan," batin Diana.
.
.
.
"Ayolah, Dza! Jangan menunjukkan wajah sedih begini. Apa kata mereka jika melihat istri Presdir mereka loyo begini?"
Dzakiyya menyemangati dirinya dengan menepuk pipi beberapa kali. Mencoba biasa saja saat menginjakkan kakinya di perusahaan dan langsung masuk ke ruangannya. Sesampainya di dalam Dzakiyya tidak menunda waktu. Memeriksa tumpukan berkas yang memenuhi meja tanpa menghiraukan tatapan iba dari karyawan yang sempat berpapasan dengannya. Setiap menit setiap jam dilewati Dzakiyya begitu saja. Matahari semakin meninggi, pekerjaannya juga nyaris rampung. Tapi ketenangan itu pecah saat seseorang mengetuk pintu.
"Masuk!" kata Dzakiyya mempersilahkan.
Pintu terbuka. Seorang pria masuk dengan wajah gelisah. Hanya sekali melihat, Dzakiyya mengerti hal buruk telah terjadi. "Joshua, ada apa?" tanya Dzakiyya begitu Joshua mendekat.
"Nona, rekan bisnis kita kabur dengan membawa uang yang sudah kita berikan!" lapor Joshua.
Dzakiyya mengingat sebentar soal rekan bisnis yang baru saja Joshua bicarakan. Ekspresi wajahnya langsung berubah ketika menyadari berapa banyak uang yang sudah dia gelontorkan untuk bisnis baru yang mereka sepakati beberapa waktu lalu.
"Kabur, apa kau sudah membentuk tim untuk mencari?" tanya Dzakiyya.
"Sudah, tapi masih belum bisa menemukan keberadaan mereka," jawab Joshua.
"Bagus. Beri tahu aku setiap perkembangannya," pinta Dzakiyya.
"Baik, Nona! Tapi masih ada kabar buruk lainnya," sahut Joshua.
"Lagi?" tanya Dzakiyya.
"Salah satu gedung di cabang perusahaan kita terbakar," lanjut Joshua.
"T-terbakar katamu?" ulang Dzakiyya.
"Saya membawa laporan kondisi terkini. Silahkan di cek," kata Joshua sembari menyerahkan sebuah map.
Mata Dzakiyya membulat sempurna. Sempat terjadi beberapa ledakan yang cukup keras. Beberapa rumah warga yang berada disekitar lokasi juga menerima dampaknya. Berita itu cukup membuat wajah Dzakiyya memutih. Tapi laporan yang dia baca selanjutnya membuatnya sepenuhnya hancur. 150 orang dinyatakan meninggal. Jumlahnya masih bisa bertambah karena masih banyak pekerja yang dinyatakan hilang.
"150 orang meninggal?" lirih Dzakiyya.
"Nona, Anda baik-baik saja?" tanya Joshua. Pria yang sudah bermandikan keringat itu semakin panik begitu melihat atasannya lemas.
Sekarang ini bagaimana bisa Dzakiyya baik-baik saja. Uang sejumlah triliunan raib, ratusan nyawa melayang. Bagaimana cara Dzakiyya menjelaskannya pada Abidzar nanti?
"Segera siapkan sopir. Aku ingin menuju lokasi sekarang juga!" titah Dzakiyya.
"Baik, Nona!" jawab Joshua.
Joshua segera undur diri. Keluar dari ruangan Dzakiyya dengan tatapan penuh sesal. Tapi beberapa detik setelah menutup pintu, raut wajahnya langsung berubah. Tidak ada lagi Joshua yang sedih. Tidak ada lagi Joshua yang terlihat prihatin. Karena semua sifat baik yang Joshua tunjukkan pada Dzakiyya barusan hanyalah akting atas permintaan seseorang.
Di balik pintu itu Joshua tersenyum lebar. Mengambil ponselnya sembari menyoraki awal kehancuran Dzakiyya dan menyumpahinya dengan sumpah serapah kasar. "Nyonya, apa yang kulakukan sudah kulakukan," kata Joshua lewat sambungan telepon.
"Bagus," jawab Diana yang tak lain adalah dalang di balik dua kekacauan besar yang menimpa Dzakiyya.
Diana mematikan ponselnya. Memainkan segelas anggur diselingi senyum mengerikan. Merampas harta Abidzar adalah tujuan utamanya. Tapi sebelum itu ada hal lain yang harus Diana lakukan. Yaitu membalas dendam. Balas dendam karena cintanya pernah ditolak oleh seorang pria yang tak lain adalah ayah Dzakiyya itu sendiri.
Sayangnya ayah Dzakiyya sudah mati. Jadi dia tidak memiliki kesempatan untuk merasakan bagaimana pembalasan dendam Diana. Tapi memangnya kenapa kalau ayah Dzakiyya sudah mati. Bukankah masih ada istri dan anaknya yang hidup?
"Untukmu yang sudah di alam baka, lihat saja bagaimana aku membuat dua wanita sialan itu hancur berkeping-keping sebelum mengirimnya ke neraka," gumam Diana.
Diana tersenyum puas. Lalu segera menjalankan rencana selanjutnya. Yaitu menghubungi Abidzar dan melaporkan semua yang terjadi. Tentu saja dengan menambah bumbu-bumbu kebencian agar Abidzar membenci Dzakiyya.
Sementara itu, Abidzar yang mendengar laporan ibunya sudah sampai di rumah beberapa jam kemudian. Sepanjang hari disibukkan dengan berbagai urusan akibat kelalaian Dzakiyya. Selebihnya berdiam diri di ruangan pribadinya. Memeriksa laporan demi laporan yang di kirim Joshua.
Uang yang raib serta kebakaran kemarin memang terjadi atas ulah Diana. Hanya saja Diana terlalu licik. Secara pribadi meminta Joshua mengganti apa yang perlu diganti dan merubah apa yang perlu dirubah. Sehingga apapun yang masuk ke Abidzar hanyalah sebuah pernyataan bahwa Dzakiyya lah satu-satunya pihak yang pantas disalahkan dan harus bertanggungjawab.
"Aku salah, Mas!"
Kalimat itu akhirnya meluncur dari bibir Dzakiyya. Memecah kesunyian diantara dirinya dan Abidzar. Abidzar memijit keningnya yang pusing. Selama ini Dzakiyya tidak pernah teledor. Tapi dengan bukti-bukti yang ada ditangannya tidak ada pilihan lain bagi Abidzar selain memberikan sebuah pembelajaran untuk Dzakiyya.
"Mulai hari ini jangan menginjakkan kaki di perusahaan!" kata Abidzar tegas.
"Kenapa?" protes Dzakiyya.
"Membuat perusahaan rugi sebesar itu. Merubah kebijakan prosedur produksi tanpa memberitahuku sehingga gedung meledak dan memakan banyak korban. Apa kau masih belum sadar apa kesalahanmu?" tanya Abidzar.
"Merubah kebijakan prosedur? Apa yang sedang kamu bicarakan, Mas?" tanya Dzakiyya tak mengerti.
"Masih pura-pura tidak mengerti. Bukankah kau sendiri sudah melihatnya. Kau bahkan sudah menandatanganinya di surat pernyataan!" jawab Abidzar.
Abidzar menyerahkan map yang dia pegang kepada Dzakiyya. Mata Dzakiyya terbelalak ketika melihat isinya. Ini bukan laporan yang kemarin dia tanda tangani. "Kenapa isinya berbeda?" batin Dzakiyya.
"Mas Abid, ini salah. Aku tidak,-" bela Dzakiyya. Tapi pembelaannya tidak selesai karena Abidzar sudah lebih dulu memotong pembicaraannya.
"Cukup Dza! Jika aku tidak segera turun tangan kau sudah berakhir di penjara sekarang," potong Abidzar.
"Tapi aku tidak sepenuhnya salah, Mas! Ini fitnah!" bela Dzakiyya
Tapi pembelaan Dzakiyya membuat Abidzar sedikit kesal. "Dza, aku lelah. Jadi tolong jangan katakan apapun lagi. Cepat masuk ke kamarmu dan renungi kesalahanmu. Ini bukan karena aku membencimu tapi semua demi kebaikanmu. Jadi mengertilah," kata Abidzar.
"Aku mengerti, Mas!" kata Dzakiyya.
Dzakiyya pergi ke kamar dengan langkah gontai. Menerka-nerka siapa yang tega memfitnahnya sampai seperti ini. Tapi apa yang Abidzar katakan ada benarnya. Lebih baik dia mundur sampai semuanya reda.
.
.
.
Pagi ini Dzakiyya merasa ada yang aneh dengan penghuni rumah. Biasanya beberapa maid tersebar disana-sini. Tapi hari ini sangat sepi. Jangankan menjumpai salah satunya. Di dapur yang seharusnya ada maid pun terlihat kosong.
"Kemana perginya mereka?" gumam Dzakiyya.
Dzakiyya mengintip ke jendela. Berharap melihat mereka sedang merapikan bunga. Tapi yang dia lihat hanyalah bunga-bunga yang bergoyang ditiup angin. Dan di tengah kebingungannya, Diana tiba-tiba muncul.
"Lima belas menit lagi Abidzar berangkat ke kantor. Dan kau belum menyiapkan sarapan?" tegur Diana.
"Kenapa aku harus menyiapkan sarapan, Ma?" tanya Dzakiyya.
"Kudengar Abidzar memintamu tinggal dirumah. Daripada mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk membayar jasa maid, bukankah lebih baik kau yang melakukan semuanya?" jawab Diana.
Satu bibir Diana terangkat keatas. Lalu berbalik setelah mengingatkan apa yang harus Dzakiyya lakukan sekarang. "Ingat, kau bukan hanya menyiapkan sarapan untuk Abidzar. Tapi juga untukku dan Nafisa," kata Diana sambil melenggang keluar.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Yati Syahira
mertuanya iblus segera terbalaskan sdh bunuh 150 orang,terbakar joshua dan ibunya abid ,yg mandul abizar biar terbukti omongan ibunya
2025-02-14
0
Evy
uh ..mertua yang bengis dan kejam...
2024-07-27
0
Yunerty Blessa
mertua bertopeng manusia bersifat iblis
2023-07-06
0