“Pagi Arya... Hoam...”
“Apa kamu bergadang menonton anime lagi?”
“Acaranya selesai lebih cepat, kemudian aku lanjut berdiskusi sampai tidak sadar sudah jam 3 subuh.”
Sama seperti Arya, Ghani juga suka menonton anime. Bahkan, dia lebih sering begadang untuk menonton anime sampai lupa mengerjakan tugasnya. Ia juga sering membahas ulasan anime yang sudah ditonton dengan teman grup sosial medianya.
“Pantas saja matamu seperti panda.”
“Mereka berdiskusi tanpa henti membahas teori yang sayang kalau dilewatkan.”
“Lupakan. Kuharap kamu tidak melupakan tugasmu.”
“Hhm~”
Ghani membusungkan dadanya dengan bangga didepan Arya. Wajah sombongnya yang tidak kenal malu dibuatnya. Kemudian melanjutkan dengan nada percaya diri.
“Kali ini aku menyelesaikannya lebih cepat sehingga bisa menonton sepuasnya.”
Sementara Arya hanya menunjukan wajah datarnya dan bersikap seperti biasa. Lalu ekspresinya berubah dengan senyum nakal di wajahnya.
“Heh~, apa kamu sungguhan dalam mengerjakan atau hanya asal mengisi jawaban...”
“Hoho...kamu meremehkanku kali ini Arya.”
Karena merasa ditantang, Ghani mengeluarkan buku teks yang ada didalam tasnya dan memberikannya kepada Arya.
Masih dengan postur tubuh yang percaya diri, Ghani tersenyum sombong karena dia yakin kali ini akan menang.
(Tunggu, kenapa kamu memasang ekspresi seperti itu?)
Apakah ini sebuah perlombaan baginya.
Setelah memeriksa tugasnya, ekspresi Arya seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Karena sangat tidak terduga, membuat matanya berdenyut sebelah dan menunjukan senyum masam.
“Apa kataku, aku serius kali ini.”
Karena merasa sudah menang duluan, Ghani melempari Arya dengan kalimat kesombongan.
“Jadi kali ini kamu mengakui kekalahanmu kan? Yah...kalau aku sudah serius semua akan baik – baik saja.”
Arya yang masih tidak membalas perkataan Ghani, tiba – tiba mengeluarkan aura mencekam dari tubuhnya. Matanya bercahaya dan mulutnya terbuka lebar. Matanya menatap tajam kearah Ghani yang sedang menggigil ketakutan.
Tubuhnya keringat dingin matanya belalakan kemana – mana. Kemudian dia mencoba menenangkan Arya.
“Hei, Tu-Tunggu tenang dulu....”
Kemudian Arya tersentak, seperti roh yang berada di tubuhnya ditarik keluar. Teman sekelasnya masih bingung dengan apa yang terjadi dan menatap kearah mereka. Tetapi matanya masih menatap lurus ke arah Ghani.
“Nee... Ghani.”
Suaranya seperti seorang pembunuh yang haus darah.
Kemudian Ghani mengerutkan keningnya sambil memegang bagian belakang kepalanya.
“I-Iya?”
“Ke sini sebentar.”
Dengan ragu, Ghani perlahan berjalan kearah Arya yang menunggu dengan senyum masam diwajahnya.
(Tunggu... Tidak... Itu bukan senyuman yang pantas untuk temanmu kan...)
Setelah berada tepat di samping Arya, tanpa disadari Arya mengepalkan tinju diam – diam dan mendaratkannya di perut Ghani.
Untungnya Ghani seorang atletik, pukulan dari Arya tidak terlalu berdampak, tapi masih meninggalkan sedikit efek kejut.
“Hei apa yang kamu lakukan brengsek.”
“Kau yang memulainya bodoh.”
“Apa maksudmu?”
“Lihatlah!”
Arya menunjuk ke tugas milik Ghani, mereka melihat ke arah buku teks yang ada di depan mereka.
“Tidak ada kejanggalan, semua jawaban sudah diisi.”
Sesaat tatapan Arya melirik tajam kearah Ghani.
“Tunggu, coba jelaskan kesalahannya padaku.”
Sambil menarik napas panjang kemudian dikeluarkan perlahan, Arya membuka mulutnya.
“Kamu bahkan tidak tahu letak kesalahannya dimana. Kamu memang berhasil menjawabnya dengan benar, tetapi jawabanmu kebalik – balik setiap nomernya.”
“Eh? Tidak, tidak, bagaimana mungkin aku salah meletakkan jawaban ku sendiri.”
“Buktinya ada di hadapanmu. Lihat kamu mengisi jawaban nomer empat dengan rumus phytagoras, yang seharusnya diisi dengan rumus persamaan bilangan di nomer dua. Begitupun dengan jawaban nomer tujuh, seharusnya disederhanakan terlebih dahulu baru di operasikan.”
“I-Itu... sepertinya karena terlalu bersemangat ... sampai tidak memperhatikan peletakan jawaban.”
“Dan kamu menyombongkan diri kepadaku seperti seorang pemenang?”
“A-Anuu... Maaf...”
“Belikan aku soda kaleng saat istirahat nanti.”
“Baik~.”
Setelah itu semua kembali normal seperti semula. Suasana kembali kondusif tidak ada keributan.
Meskipun kejadian tadi tidak bisa dibilang perkelahian. Hanya sebatas candaan biasa bagi keduanya.
...♢♢♢♢...
“Ini minumanmu, ambillah.”
“Dengan senang hati~”
“Apa kamu suka minuman bersoda?”
“Tidak terlalu, terkadang aku meminumnya untuk menambah staminaku.”
“Hmm... Unik juga caramu yang seperti itu.”
“Bukan urusanmu.”
Saat mereka sedang asik bergurau, salah seorang siswa laki – laki datang menghampiri mereka. Dia adalah Riyan Renaldy, teman sekelas mereka.
Riyan merupakan siswa yang cukup populer dibandingkan mereka berdua. Dia mempunyai rambut berwarna pirang dengan poni yang tidak terlalu panjang. Kesannya seperti pria yang sempurna di mata wanita.
“Sepertinya kalian sedang asik, maaf mengganggu waktu kalian.”
Setelah mendengar suaranya, mereka menoleh ke arah Riyan yang sedang berdiri di samping mereka dengan wajah tersenyum.
“Ah... Riyan, ada perlu dengan kami?”
“Iya, sebenarnya tidak terlalu penting.”
“Katakan saja kalau memang ada yang bisa kami lakukan.”
“Sebenarnya...apa kalian masih kekurangan anggota di kelompok kalian untuk praktik nanti?”
Ghani perlahan menatap ke arah Arya yang juga tersentak karena terkejut oleh pernyataan Riyan.
(Apa kamu melakukan sesuatu?)
(Tidak, aku ingat terakhir kali pernah terlibat dengannya.)
Keduanya diam – diam berbicara dengan bahasa isyarat di belakang Riyan. Tak lama, mereka mengalihkan kembali perhatian kepada Riyan.
“Kami memang belum memutuskan untuk hal itu.”
“Hei, kamu akan mengajakku kan Arya?”
“Haruskah aku mengundangmu?”
“Kamu terlalu jahat meskipun hanya candaan~”
“Baiklah, baiklah. Tetapi kita masih kekurangan anggota.”
“Kalau begitu kita bisa mengundang Riyan untuk bersama.”
“Benarkah?”
Arya diam sesaat dan mengamati penampilan Riyan dengan seksama. Di dalam otaknya muncul pikiran jahat seperti sebuah keraguan yang menyatakan pantaskah aku satu kelompok dengan pria seperti dia.
Riyan yang diperhatikan seperti itu hanya tersenyum. Dari senyumnya tidak ada maksud tersembunyi.
“Sebelumnya, kenapa kamu ingin satu kelompok dengan kami?”
“Eh- , aku pikir kalian adalah orang baik dan sangat perhatian.”
“Begini, kami tidak cukup baik seperti yang kamu pikirkan. Tetapi, jika kamu memang ingin bersama kami aku tidak akan membantah.”
“Benarkah... jadi aku boleh bergabung bersama kalian?”
“Aku tidak masalah.”
“Kalau begitu aku juga.”
Ekspresi Riyan langsung berubah, dia terlihat sangat senang bisa bergabung dengan mereka. Matanya melebar dan didalamnya tersimpan banyak harapan.
“Menjijikan!” (ucap mereka serentak)
“Maaf aku kelewat senang. Kalau begitu mulai hari mohon kerja samanya.”
“Mohon kerja samanya juga.”
Setelah Riyan pergi, Ekspresi Ghani yang penasaran bertanya kepada Arya.
“Jadi sebenarnya apa yang terjadi?”
“Sebenarnya aku hanya meminjamkannya buku catatanku. Aku rasa saat itu dia sedang kesulitan karena banyaknya aktivitas di klubnya.”
“Yah... mungkin dia merasa terbantu dengan itu. Semakin banyak yang mengetahui sisi kebaikanmu semakin baik untuk dirimu.”
“Aku hanya membantu karena dia juga teman satu kelas. Kalau Riyan ingin menjadi temanku kurasa aku bisa menerimanya.”
“Baiklah, kalau begitu ayo bersiap untuk jadwal selanjutnya.”
Karena sudah memasuki jadwal selanjutnya, mereka berpindah ke lab Sains untuk praktek berkelompok.
“Hei, apa kamu tahu apa yang harus dilakukan?”
“Setidaknya aku paham konsep dasar kerjanya.”
“Baiklah, jika ada sesuatu yang harus aku kerjakan katakan saja.”
Ghani memberikan dukungan yang antusias kepada Arya. Meskipun sejujurnya dia berusaha membantu, pasti akan membuat kelompoknya semakin terhambat. Ditambah mereka mempunyai amunisi tambahan yaitu Riyan.
Meskipun mereka belum lama mengenal, Riyan merupakan siswa pekerja keras dan selalu memperhatikan arahan.
“Kalau melihat kalian berdua bekerja, aku yang hanya diam dan melihat, nampak seperti siswa yang sudah diasingkan.”
Ghani mengerutkan keningnya dan tertegun lemas. Badannya yang menyusut dan hanyut terbawa angin nampak tidak berdaya.
“Jangan sedih begitu Ghani, kamu boleh membantu kalah kamu mau.”
“Benarkah? Apa yang bisa aku lakukan?”
Mendadak tubuhnya kembali terangkat. Ekspresi kekecewaan sebelumnya berubah menjadi penuh kebahagian. Semangat yang menggebu – gebu yang membakar seluruh tubuhnya menggelora.
“Aku tidak ingin merusak semangatmu, setidaknya jangan mengacaukannya karena semangat yang berlebihan itu.”
“Tenang saja Arya, kali ini... semua akan baik – baik saja.”
Sambil menepuk punggung Arya, Ghani meyakinkan pada mereka supaya tidak usah panik.
“Ambil cairan berwarna biru toska di sana lalu tuangkan ke tabung gelas kimia ini. Setelah itu campurkan cairan berwarna putih dan tunggu sekitar sepuluh menit.”
“Kalau hanya itu, serahkan padaku...”
Setelah mencampurnya dan menunggu sekitar sepuluh menit, cairan di dalam tabung gelas mengeluarkan buih – buih dengan aroma menyengat. Lalu tabung gelas dihubungkan satu per satu menggunakan selang untuk menimbulkan reaksi letusan busa yang meluap ke permukaan meja.
“Uwahh~... banyak sekali busa yang keluar.”
(Bukankah seharusnya reaksi yang ditimbulkan tidak seperti ini?)
Sambil bertanya – tanya di dalam benaknya, Arya menatap ke arah Riyan yang juga seperti tidak percaya.
Keduanya saling bertukar pandang dan memikirkan hal serupa. Karena tidak sesuai dengan instruksi hasil yang diberikan, mereka memastikan setiap langkah yang mereka kerjakan.
Tidak ada yang salah dengan tahapan pengerjaan, kemudian mereka memastikan apakah bahan yang digunakan sesuai dengan arahan yang dijelaskan.
Sepertinya Arya menyadari sesuatu yang salah.
“Cairan apa saja yang kamu masukkan ke dalam sini?”
Sambil memegangi tabung gelas reaksi, Arya menunjukan kekesalan di wajahnya.
Ghani yang sedikit tersentak oleh pertanyaan Arya, langsung menjawab dengan percaya diri. Ternyata cairan yang dia campur adalah Luminol dengan larutan soda kue.
“Kenapa kamu memasukkan soda kue?”
“Aku tidak tahu, kamu hanya menyuruhku untuk menambahkan cairan berwarna putih tidak menyebutkan mereknya.”
Waktu yang hanya tersisa beberapa menit saja. Mereka mengulangi dari awal lagi. Berpacu dengan waktu membuat mereka mengerahkan seluruh upaya terbaik supaya bisa mendapatkan nilai.
“Beruntung masih terkejar, kalau tidak kita harus ikut tes remidial.”
(Kamu pikir ulah siapa kita hampir tidak lolos!?)
Riyan hanya menunjukkan senyum masam karena tidak tahu harus berbuat apa.
“Sudahlah...jangan diambil pusing, hasilnya kita mendapatkan B+ dan itu tidak buruk.”
“Iya benar, itu hampir sempurna.”
“Entah kenapa aku sangat lelah. Aku akan toilet untuk membasuh muka.”
Arya pergi meninggalkan Ghani dan Riyan sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh.
“Jangan terlalu dipikirkan, pertengkaran kecil memang sering terjadi.”
“Eh... tidak, bukan begitu...ini pertama kali aku merasakan emosi yang membara, tetapi yang tercipta bukan kedengkian. Melainkan kehangatan yang diselimuti angin sejuk yang damai.”
“... Meskipun aku dan Arya kadang berbeda pendapat, tetapi kami tidak melibatkan dendam dalam hati masing – masing. Karena itu pertemanan kami tidak mudah hancur hanya karena hal sepele...”
“Begitu rupanya... aku semakin tertarik untuk lebih dekat dengan kalian berdua.”
...♢♢♢♢...
“Beruntung masih sempat untuk mengembalikan buku yang sudah aku pinjam dari kemarin lusa.”
Alisia yang baru saja mengembalikan buku di perpustakaan berjalan seorang diri di lorong dengan bergumam kata – kata manis tetapi terlihat tidak puas.
“Hari ini aku tidak ada kesempatan untuk
berbicara dengan Arya. Bahkan untuk mendekat saja tidak ada celah.”
Sambil menyesali dirinya sendiri, Alisia yang berjalan di depan banyak murid mendapatkan berbagai macam tatapan di sekitarnya. Diam – diam mengamati keadaan sekitar dia juga memberikan senyuman yang membuat murid – murid meleleh.
(Entah kenapa dengan senyuman bisa membuat mereka luluh.)
Di tengah perjalanan Alisia mendapatkan panggilan alam yang tidak bisa terelakkan.
(Aduh...kenapa tiba – tiba begini, apa boleh buat ke toilet dulu.)
“Ah... sekarang jauh lebih nyaman~”
Setelah selesai dari toilet Alisia melihat Arya sedang berdiri di depan cermin wastafel dengan muka basah kuyup.
Arya terkejut dengan tatapan penasaran di wajahnya yang melihat sosok gadis yang berdiri di samping belakangnya lewat pantulan cermin.
“Kamu sedang apa sampai mukamu basah kuyup begitu?”
“...”
(Kenapa ada Alisia disini?)
“Ah itu, aku hanya membasuh muka karena merasa lelah.”
“...Hmm~”
“Kamu sendiri kenapa ada disini? Bukannya sudah hampir memasuki pelajaran terakhir.”
“Aku selesai mengembalikan buku di perpustakaan, lalu tidak tahan untuk buang air kecil.”
“A-Ah... begitu.... Kalau begitu kenapa kita tidak segera kembali?”
Alisia menatap Arya seperti tidak puas. Wajahnya menjadi jutek sambil melipat kedua tangannya di dada. Alisia membuang muka, pipinya merah, dan mulutnya terbuka malu – malu.
(Hah, ada apa ini terlalu imut, kenapa Alisia malu – malu begitu?)
“Anu... Arya....”
“Hm?”
“Apa kamu mau bolos jam terakhir bersama...?”
“Eh-?”
Arya terdiam mendengar kalimat yang tidak diperkirakan muncul dari mulut Alisia. Dia terpukul kewalahan oleh kekuatan yang langsung menusuk hatinya.
“Tunggu tadi itu bercanda kan?”
“...”
(Apa – apaan wajahnya polos itu, kamu tidak sungguhan ingin melakukannya... iya kan?)
“Bercanda~”
“Iya, iya tentu saja, mana mungkin putri Alisia melakukan itu.”
“Bagaimanapun kalau aku bolos, aku akan dikenal sebagai siswa tidak berpendidikan.”
“Tidak heran karena prestasi yang sudah kamu capai selama ini.”
“Benar kan, ayo kembali sebelum ada yamg curiga.”
Alisia berbalik menuju kelas disusul Arya dengan jarak agak jauh supaya tidak timbul pertanyaan aneh.
Didepan Alisia berjalan sedikit menunduk sambil memegangi pipinya dengan langkah kaki dipercepat.
“Apa yang aku katakan barusan~…”
Setelah mereka sampai dikelas pelajaran terakhir langsung dimulai. Beruntung mereka masih sempat mengejar tidak sampai terlambat.
(Tadi itu serangan luar biasa, beruntung aku tidak tumbang)
Disisi lain Alisia juga memikirkan hal serupa.
(Yang tadi terlalu agresif...)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments