Chapter 1 – Apa Salahnya Berteman?

Catatan :

(...) : bergumam dalam hati

[...] : gumaman Alisia

“(...)” : bisik - bisik

Di sebuah lorong kelas di pagi hari, terdapat suasana yang sedikit kacau.

Suasana bising dan kegaduhan dini hari membuat lingkungan semakin tak kondusif. Bukan terjadi perkelahian, melainkan sebuah pemandangan langka sedang berlangsung.

“Lihat! Mereka terlihat berwibawa seperti biasa.”

“Meskipun begitu, mereka tetap saling menyapa.”

Mereka merujuk kepada sekelompok siswa yang sangat diagungkan dan disanjung – sanjung namanya. Tidak hanya pintar mereka juga merupakan siswa kelas atas.

Memiliki penampilan berbeda dari yang lainnya sudah menjadi ciri khas sejak dulu. Ditambah tampang yang good looking membuat mereka semakin dikagumi. Mereka adalah anggota dari OSIS Serikat Bangsa.

OSIS di sana mempunyai kedudukan hampir setara dengan kepala sekolah. Mereka banyak memegang kendali atas segala acara di sekolah itu. Tidak heran anggotanya berisikan murid-murid pandai.

Banyak siswa yang mengagumi mereka. Bukan sekedar dari penampilan, tetapi prestasi yang telah mereka capai untuk sekolah membuat mereka semakin percaya kepada kepemimpinan OSIS di sekolah.

“Hei Arya, apakah kamu tahu keributan pagi ini?”

“Yah aku tidak terlalu memperhatikan.”

“Sepertinya para orang hebat itu sedang berkumpul.”

“....”

“Kamu tahu? Mereka sudah banyak membawa perubahan bagi sekolah kita.”

Setelah mendengar perkataan Ghani, Arya menatap ke luar jendela sambil memangkukan dagunya ke tangannya.

(Sepertinya, hariku juga mengalami banyak perubahan kemarin.)

Melihat perubahan suasana Arya, Ghani pun menegurnya dengan wajah yang penasaran dan sedikit mengejek.

“Ada apa?”

“Bukan urusanmu.”

“Jahat sekali ~ .”

“Omong – omong bukannya pacarmu dari anggota OSIS?”

“... Eh?”

Ghani tersentak dan merenung sebentar setelah ditanyai seperti itu. Sementara Arya menatapnya dengan penuh keteguhan. Dia sedikit heran dengan topik yang jarang dia bahas dengan Arya.

Melihat betapa antusias temannya, Ghani mulai membuka mulutnya. Dia membalas pertanyaan Arya dengan nada menggoda.

“Kenapa tiba – tiba?”

“Tidak jadi.”

“Hmm... Lelaki tsundere.”

“Diam.”

Dipikir berhasil menggodanya, Ghani tidak bisa menyimpan ekspresi tawanya. Berhubung membahas topik yang langka, Ghani berinisiatif menyambung berharap temannya mulai tertarik dengan urusan cinta.

“Hei Arya, menurutku sudah saatnya untuk mencari pasanganmu.”

“Aku tidak harus buru – buru sepertimu.”

“Akan lebih menyenangkan mempunyai seseorang yang bisa merawatmu.”

“Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula hanya membuang waktu dengan pasanganmu.”

“Kamu akan tahu setelah kamu memilikinya.”

Ghani sebenarnya tidak puas dengan jawaban masa bodoh temannya. Arya menghiraukannya dan entah ada apa dia melirik ke gadis yang kemarin dia tolong.

Entah kebetulan gadis itu juga sedang mengawasinya. Mata mereka bertemu di kejauhan dan sempat saling memandang. Mata yang Indah berwarna biru muda seperti salju musim dingin, ditambah pantulan sinar matahari memberi kesan kehangatan didalamnya.

Karena merasa tidak nyaman, Arya membuang muka dan matanya berkeliaran tidak karuan sambil menatap ke luar jendela memandang lautan langit yang tak berhujung. Kupingnya berubah menjadi kemerahan karena merasa malu, diiringi jantungnya yang berdebar semakin cepat membuatnya hampir didengar temannya.

Gadis itu memberikan senyum polosnya dan tertawa pelan. Pipinya mulai memerah karena sama – sama menahan rasa malu. Kemudian dia menghiraukan momen sesaat yang lalu dan melanjutkan kembali dengan teman - temannya.

“... Huh yang tadi itu hampir saja...”

Ghani yang menyaksikan kejadian itu merasa bingung dan mulai tertarik. Sepertinya, dia menyadari sesuatu yang menarik yang dia lewatkan.

“Apa kamu tertarik dengan putri kita?”

“Mana mungkin seseorang seperti ku serasi dengannya.”

“Kupikir itu mungkin. Lagipula penampilanmu tidak buruk.”

“Jika kamu terus menggodaku, kamu tidak akan mendapatkan salinan tugas.”

“Kumohon jangan lakukan itu...”

“Kamu tidak pernah berubah sejak pertama kita berteman.”

“Sulit untuk merubah kebiasaan yang sudah menjadi keyakinan dari dulu.”

“Tidak termasuk kebiasaan yang salah.”

“Hehe... Maafkan aku.”

Meskipun diceramahi beberapa kali pun Ghani memang orang yang seperti itu sejak dulu. Tetapi hal tersebut tidak masalah bagi Arya. Menurutnya kehadirannya selama ini sudah cukup mengisi slot yang selama ini kosong.

Arya tersenyum polos di hadapan Ghani membuatnya merasa tidak nyaman karena sikap Arya yang tiba – tiba aneh.

“Apa kamu mulai menyukai sesama?”

“Tidak juga.”

Karena merasa tidak nyaman Ghani meninggalkan Arya dan pergi ke tempat duduknya. Jam pelajaran pertama juga segera dimulai.

...♢♢♢♢...

[Saat istirahat di kantin]

Di tengah suasana bising di kantin, Arya dan Ghani memakan makan siang yang baru saja mereka beli. Mereka duduk di bangku pojok kanan dengan porsi dua orang saja.

Arya memesan satu porsi nasi dengan lauk ayam dada dengan tambahan saus sambal super pedas. Ditambah dengan lalapan hijau sebagai pelengkap.

Berbalik dengan Ghani yang memesan satu porsi nasi dengan lauk dua kali lipat lebih banyak. Dengan lauk daging steak, ayam goreng dan seporsi salad. Ditambah kentang goreng dan lalapan sayur yang membuat tidak ada tempat di meja mereka.

Mereka memesan minum yang sama yaitu susu coklat dingin ditambah krim vanila di atasnya.

“Kamu tidak khawatir dengan tubuhmu?”

“Aku mengambil kegiatan klub setiap hari dan cukup berolah raga.”

“Bukannya lebih sehat jika mengurangi porsinya?”

“... Yah kamu sama seperti dia mempermasalahkan hal kecil.”

“Bahkan kekasihmu tidak bisa menghentikanmu.”

“Mungkin sudah terlalu sering aku diceramahi sehingga tidak begitu berdampak.”

Arya yang berpikir tidak ada kemajuan membiarkannya begitu saja. Mereka memutuskan perdebatan dan lanjut ke makanan mereka.

Di tengah kekosongan sesaat, muncul gadis cantik di hadapan mereka. Kulit putih dan mulus dengan rambut hitam kecoklatan dengan sedikit aksesoris didalamnya. Tinggi badan rata – rata gadis seumuran. Senyumnya yang bersemangat menggambarkan sosok yang ceria.

Gadis itu dengan bersemangat memulai topik diantara kami. Dia membuka mulutnya perlahan dengan mata yang berbinar.

“Nee... Al, nanti kita pulang bersama kan?”

“... Eh Lyn, kenapa kamu disini?”

Begitulah panggilan kedua pasangan bucin yang sedang kasmaran.

Lynskia Hanayuna merupakan nama asli dari sang pacar. Namanya merupakan hasil perkawinan dengan Ibunya yang berkewarganegaraan Inggris. Mereka menikah ketika Ayahnya sedang bisnis di luar kota.

Meskipun dikenal sebagai Hana oleh teman – temannya, Ghani memanggilnya dengan sebutan Lyn. Sebaliknya Hana memanggil pacarnya dengan sebutan Al.

Meski begitu, pasangan itu sudah seperti pasutri yang sangat melekat. Ghani sangat baik kepada Hana begitu pula sebaliknya. Hana memberikan perhatian lebih kepada pacarnya yang membuat orang lain iri dibuatnya.

“Aku mencarimu sepanjang hari dan kamu tidak membalas panggilanku.”

Melihat ekspresi kecewa pacarnya dia tidak berani berkomentar apapun.

“Maaf, aku menghabiskan waktu seharian disini dengan Arya.”

Dia tahu biasanya Ghani bersama dengan Arya, tetapi dia marah karena tidak memberi kabar.

Karena merasa bersalah, dia menggenggam tangan pacarnya dan membuat ekspresi menghibur agar tidak timbul kecurigaan berlanjut.

“Aku akan memperhatikannya lain kali.”

“Baiklah... karena itu Al aku maafkan.”

Ekspresi wajahnya kembali bersinar dengan senyumannya yang membuat orang lain kewalahan.

Disisi lain Arya yang menyaksikan momen itu tepat dihadapannya merasa kesal seperti diracuni sesuatu. Dia mengutarakan kekesalannya tetapi tidak sampai keluar.

(Lakukan apapun jangan dihadapanku!)

“Jadi, kamu belum menjawab pertanyaanku sebelumnya.”

“Ah itu... aku hanya ingin bilang kita pulang bareng nanti.”

“O-Oh...oke. Aku menantikannya.”

“Baiklah akan kujemput di kelasmu nanti, Bye...”

“Sampai nanti.”

Setelah melambaikan tangannya dan segera meninggalkan mereka, suasana kembali seperti semula.

“Pacarmu sangat perhatian denganmu.”

“Terkadang dia tidak manja seperti tadi.”

“Meski begitu kau akan menjaganya.”

“Tentu saja, dia telah merubah hidupku lebih berwarna.”

Melihat temannya yang sedikit lesu Arya berusaha mencairkan suasana. Dia tidak ingin melihatnya terlelap dalam kenangan masa lalu yang bahkan dia tidak tahu. Tetapi Arya tidak pandai memilih topik yang menarik untuk dibahas. Dia hanya berkomentar sedikit kemudian tidak mengatakan apapun.

“Ayo selesaikan ini dan kembali ke kelas.”

“Kamu benar.”

...♢♢♢♢...

Pelajaran terakhir sebelum pulang merupakan mapel sejarah. Karena sehabis makan siang dan cuaca yang panas membuat sebagian siswa tidak bersemangat. Begitu pun Arya, dia merasa lebih lelah dari biasanya. Biasanya Arya akan lebih memperhatikan penjelasan guru, tapi hari ini dia tampak mengantuk.

Saat Arya sedang menjaga tubuhnya agar tetap terjaga, matanya melirik ke laci meja yang ada dibawahnya. Dia melihat secarik benda berwarna putih diantara tumpukan buku. Tadinya dia mengira hanya sobekan kertas biasa, karena merasa cemas dan dihantui rasa penasaran Arya perlahan mengambilnya.

Kertas itu disusun serapi mungkin dan sengaja sedikit dikeluarkan agar dia menyadarinya. Setelah melihat tampilan luar dari kertasnya dia membuka lipatan yang didalamnya berisi kata – kata.

Aku tunggu di belakang gedung olah raga setelah ini.

Begitulah bunyi kalimat di dalamnya.

Tidak ada pengirim maupun penerima surat tersebut. Arya menatap sekeliling mencari tahu siapa dibalik sang pengirim surat. Karena tidak menemukan petunjuk, dia berpikir sang pengirim salah menaruh di laci mejanya.

(Untuk apa surat ini dituju?)

Apa ini merupakan ajakan berkencan atau ada seseorang yang dendam terhadapku. Bisa jadi ini hanya lelucon semata.

Begitulah tanggapannya terhadap surat tadi. Kemudian dia menaruhnya di saku celana dan membiarkannya untuk sementara.

Jam pelajaran berakhir dan sudah menandakan waktu pulang. Para siswa bergegas meninggalkan kelas dan melanjutkan aktivitas mereka.

Ghani datang menghampiri Arya sambil menunggu jemputan. Arya dengan tatapan kosong yang masih kepikiran panggilan sebelumnya seperti menghantui kepalanya.

Arya kepikiran untuk menceritakan masalahnya pada Ghani atau tidak. Dengan dilema yang dirasakan saat ini membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia menutupi kegelisahannya dihadapan Ghani dan bersikap normal.

Tiba – tiba Ghani sudah dihadapannya sambil mengeluarkan kalimat penyesalan.

“Mapel tadi sangat melelahkan~.”

“Untuk dirimu yang pemalas kamu sudah berusaha bertahan sampai akhir.”

Bukan berarti Ghani tidak tertarik dalam hal belajar, hanya terkadang di agak menyepelekan. Ghani selalu bersemangat dengan mapel yang dia sukai dan sesekali mengerjakan tugasnya. Hanya saja dia terlalu memilih – milih sesuatu.

“Yah... sangat membosankan sejarah di jam terakhir.”

“Kupikir itu tidak salah.”

“Benar kan, kamu bahkan mengakuinya.”

“Aku kira kamu akan tertidur dan bangkit setelah semuanya selesai.”

“Aku berusaha untuk terjaga agar aku bisa merubah sedikit dari nilaiku.”

“Itu bagus untukmu.”

Ketika mereka selesai bersapa gadis yang muncul di jam istirahat masuk ke kelas mereka. Dia tampak lebih bersemangat dari sebelumnya.

Karena sudah lumayan lama, ruangan itu juga mulai hening. Hanya sedikit siswa yang masih bertahan di sana.

Melihatnya datang dengan penuh antusias, Ghani memutuskan untuk tidak membuatnya menunggu. Dia melambaikan tangannya dan meninggalkan Arya yang masih diam tak ada perubahan.

Waktu sudah semakin sore Arya memutuskan untuk segera pergi dari sana. Saat perjalanan menuju pintu masuk, dia terbayang dengan surat tadi. Karena masih bingung dan belum memutuskan untuk kemana, Arya berencana mengikuti terlebih dahulu.

Jika panggilan itu salah tujuan atau hanya lelucon dia tidak masalah. Karena yang lebih penting dia sudah menyaksikan sendiri.

Arya berjalan menuju tempat tujuan berada. Sesaatnya sampai di sana, Arya menyadari akan sesuatu.

(Sepertinya aku dipermainkan)

Itu adalah kalimat pertama yang keluar dalam benaknya setelah melihat di sana hanya ada pemandangan seperti biasa.

Muncul sedikit keputusasaan dalam hatinya karena dikhianati oleh sebuah harapan yang tidak nyata.

“Mending pulang saja.”

Dia pikir sudah tidak ada gunanya dia di sana dan segera beranjak dari tempat itu. Tiba – tiba suara langkah kaki yang tergesa – gesa terdengar di telinganya. Saat Arya membalikkan badannya, sosok yang selalu dia temui muncul dipandangannya. Bahkan belum lama dia menolong anak itu disaat tidak ada seorang pun yang mengulurkan tangan.

Anak itu memegangi lututnya dengan nafas yang tidak beraturan. Tubuhnya yang berkeringat dengan rambut putih perak terurai kebawah di bawah matahari senja membuat sosok tersebut bagaikan Putri dari kayangan.

Kemudian dia bangkit dari posisinya membenarkan rambut yang barusan terurai sambil memiringkan kepalanya dan tersenyum manis dihadapan lelaki di depannya. Nuansa alam dengan hembusan angin musim dingin yang memberikan pertanda alam ikut merestui peristiwa tersebut. Meskipun musim dingin segera hadir, tetapi di depan matanya terdapat musim semi yang tak pernah redup.

“....”

Keheningan sesaat menimbulkan suasana canggung diantara mereka. Pemandangan yang sangat tidak sehat bagi jantungnya jika dilihat terlalu lama.

“... A-Anu...Hm...”

Seluruh badannya bergetar tak terkendali. Mulutnya yang terbata – bata berusaha mengucapkan sesuatu tetapi tidak dapat tersampaikan. Pikirannya yang pergi entah kemana membuat otak tidak sinkron dengan tindakannya.

Anehnya gadis di depannya tertawa lepas tanpa beban. Matanya mengeluarkan air mata tetapi bukan tangisan. Tanpa disadari jarak mereka semakin tertutup. Sekarang posisi mereka hanya berjarak sekitar dua jengkal saja. Tatapan mereka saling bertemu satu sama lain membuat Arya semakin cemas.

“Santai saja...kita juga bukan pertama kali bertukar pandang seperti ini.”

Begitu Arya mendengar kalimat itu dari mulut Alisia. Kemudian dia menguatkan dirinya dan membalas tatapan lembut sang Putri dengan harapan.

Sambil mengeluarkan surat yang tadi dia dapat, Arya bertanya kepada gadis tersebut.

“Apakah ini kamu yang menulisnya?”

“Yap... ah maaf karena tidak memberi keterangan di sana.”

“Tidak... itu, kupikir kamu salah tujuan?”

“Itu memang untuk mu Arya. Kupikir kamu tidak akan datang karena tidak membaca isinya.”

“Sebelumnya aku pikir ini hanya bercanda dan memutuskan untuk kembali.”

“Maaf ....aku ditahan oleh mereka saat dalam perjalanan.”

(TN : ‘mereka’ merujuk pada teman – teman Alisia.)

Alisia membungkukkan badannya sambil melemparkan permintaan maafnya.

Melihat tindakan Alisia, Arya membangunkannya kembali sekaligus menghibur wajahnya yang terlihat menyesal.

“Aku mengerti, jadi tegakkan kembali kepalamu. Ini hanya salah paham sederhana saja. Lupakan kejadian sebelumnya.”

“Baiklah kalau Arya bilang begitu.”

Setelah mendengar perkataan Arya, Alisia kembali bersemangat dan ceria seperti semula. Senyum polos menghiasi wajahnya membuat Arya ingin selalu melindunginya.

“Jadi, ada perlu apa sampai mengundangku kesini?”

“... Anu, sebelumnya aku ingin berterima kasih sekali lagi atas kejadian kemarin. Kalau kamu tidak datang mungkin aku akan kesulitan sampai ke rumah.”

“Tidak masalah, aku senang kalau itu bisa membantu. Apa hanya itu?”

“Ti-Tidak... Itu s-sebenarnya... aku ingin bilang sesuatu.”

Kalimat itu membuat jantung Arya bergerak semakin kencang. Dia menahan rasa gemetar atas tekanan yang diberikan.

“Apa itu?”

Setelah ditanya balik mulutnya tidak sanggup meneruskan perkataan yang sudah dia siapkan sebelumnya. Alisia tetap berusaha menyampaikan isi yang ada dibenaknya. Perlahan dia kembali membuka mulutnya dan kata pertama yang keluar adalah...

“Kamu- ”

Arya sudah siap menerima pernyataan apapun dari Alisia. Dia sudah siap mental dan raganya agar tidak goyah oleh gelombang selanjutnya.

“Kamu... jadilah temanku, Arya.”

“Iya?”

Kupikir akan ada pengakuan tiba – tiba atau sesuatu yang lebih berdebar, begitulah hal pertama yang terlintas di otak Arya.

Mungkin terlalu cepat mendapat pengakuan cinta dari heroine utama seperti di manga – manga romcom. Karena merasa bersalah dengan tanggapan otakunya, dia melempar permintaan maaf dalam hatinya kepada Alisia. Tanpa sadar dia mengeluarkan tawa kecil dari mulutnya.

Alisia yang menunggu jawaban dari pertanyaannya menatap Arya dalam bingung sambil memiringkan kepalanya. Melihat respon tak terduga dari Arya, Alisia bertanya kembali.

“Apa ada yang lucu?”

“Tidak maaf, aku hanya sedikit terkejut atas pernyataanmu barusan.”

“Apa salahnya?”

“Tidak, tidak ada, hanya saja kau begitu malu untuk menyampaikannya.”

Alisia sedikit kesal dan memalingkan wajahnya sambil menunjukan wajah cemberutnya.

“Jika kau bersikap kekanak – kanakan seperti itu kau akan semakin diejek.”

“Mou...”

“Hanya bercanda ...maafkan aku.”

“Terserah kamu!”

“Baiklah kali ini serius. Untuk pertanyaanmu sebelumnya, kupikir tidak masalah untuk kita menjadi teman.”

“Benarkah...?”

“Yah kupikir aku yang seharusnya bertanya. Jika kita saling berbicara nanti pasti akan membuat ramai satu sekolah.”

“Kita hanya tinggal mengumumkannya.”

“Tidak akan semudah itu tanggapan dari mereka.”

(TN : ‘mereka’ disini mengarah pada teman sekelas maupun murid lainnya.)

Sudah jelas teman sekelasnya tidak akan percaya dengan hubungan yang mereka buat. Meskipun jika dilihat dengan seksama, Arya memiliki wajah yang cukup tampan. Mungkin karena sikapnya di kelas yang masa bodoh membuatnya tidak populer di kalangan wanita.

“Bagaimana kalau kita membuatnya terpengaruh dengan sendirinya? Kita buat momen saling menolong dan mereka akan percaya kalau kita sudah berteman.”

“Apa kamu tidak masalah dengan itu?”

“Ini cara paling aman yang terpikirkan di otakku.”

“Baiklah kalau begitu. Kau bertindak dengan caramu dan aku bertindak dengan caraku.”

“Baik sepakat.”

Keduanya setuju menggunakan usulan dari Arya dan bertindak dengan cara mereka masing – masing.

“Ternyata kau sangat berubah ketika sedang di luar.”

“Karena aku tidak ingin menunjukan sifatku yang sekarang kepada orang asing.”

“Kamu memperlihatkannya dengan jelas sejak awal.”

“Karena kamu bukan orang asing di mataku.”

Alisia tersipu dengan omongan Arya yang sangat terbuka. Badan menggeliat seperti sedang dikelitiki. Matanya berkeliaran ke sana kemari. Pipinya berubah menjadi merah padam seperti sedang terbakar.

“Kamu baik – baik saja Alisia?”

“Aku baik – baik saja.”

Mungkin mental Alisia yang dalam masalah. Setelah menerima pernyataan manis seperti itu pasti membuat hati seorang gadis tersentak.

“Berhubung sudah semakin larut, kita akhiri saja sampai sini.”

“Baiklah.”

Alisia langsung pergi meninggalkan Arya yang masih diam sambil memperhatikannya. Setelah beberapa langkah dia menoleh kembali dan membisikkan sesuatu.

“(Sampai jumpa besok...)”

Lalu gadis itu berbalik meninggalkan Arya.

“... Yah musim semi akan segera tiba...”

Sambil menatap langit orange yang segera luntur, dia menggumamkan suara hatinya. Setelah lama terlarut dalam suasana, Arya beranjak pergi menuju rumahnya.

Terpopuler

Comments

Manusia Biasa

Manusia Biasa

keren sih, ilustrasinya juga gambar sendiri, jadi mau latihan gambar buat bikin karakterku

2023-06-02

1

Manusia Biasa

Manusia Biasa

Sedikit kecewa, tapi jadi teman dah bersyukur apalagi dia cantik

2023-06-02

1

lihat semua
Episodes
1 Prolog – Titik Tumbuh
2 Chapter 1 – Apa Salahnya Berteman?
3 Chapter 2 – Serangan Kejutan Yang Efektif
4 Chapter 3 – Rayuan Maut Putri Alisia
5 Chapter 4 – Sudah Ku Bilang, Aku Tidak Menyimpannya
6 Chapter 5 – Putri Tsundere Dan Sedikit Kikuk
7 Chapter 6 – Sudah Ku Bilang Jangan Main – Main Dengan Api
8 Chapter 7 – Motivasi Sebelum Penilaian
9 Chapter 8 – Kencan Pertama Bersama Putri Alisia
10 Chapter 9 – Tersipu Malu
11 Chapter 10 – Perasaan Tidak Jelas
12 Chapter 11 – Cemburu Itu Sifat Yang Tidak Baik
13 Chapter 12 – Sisi Lain Seseorang
14 Chapter 13 – Perasaan yang Bercampur Aduk
15 Chapter 14 – Mendadak Demam Ku Semakin Parah
16 Chapter 15 – Tidak, kenapa jadi seperti ini?
17 Chapter 16 – Itu Sih, Parah Banget
18 Chapter 17 – Kalau Dilihat – Lihat, Kamu Juga Lucu
19 Chapter 18 – Sepertinya Aku Tidak Pernah Merasa Menang
20 Chapter 19 – Aku Juga Tidak Tahu Awal Mulanya Kenapa
21 Chapter 20 – Akhirnya Aku Mengatakannya
22 Chapter 21 – Jadi Seperti Ini Rasanya Pertama Kali Pacaran …
23 Chapter 22 – Seriusan, Aku Tidak Tahu Apa – Apa
24 Chapter 23 – Kenapa Harus Aku?
25 Chapter 24 – Fetish Otaku Memang Menakutkan
26 Chapter 25 – Tidak Ada Jalan Lain Kali Ini
27 Chapter 26 – Sifat Cemburu Gadis Harus Dihindari
28 Chapter 27 – Aku Tidak Bermaksud Seperti Itu
29 Chapter 28 – Aku Tidak Tahu Kenapa Bisa Seperti Ini
30 Chapter 29 – Kalau Seperti Ini … Tidak Ada Cara Lain
31 Chapter 30 – Kalau Mau, Aku Bisa Lebih Serius Lagi
32 Chapter 31 – Aku Tidak Akan Membiarkan Berakhir Seperti Itu
33 Chapter 32 – Bukan Berarti Aku Menolak, Itu Hanya Basa - Basi
34 Chapter 33 – Hari Ini Terasa Cepat, Sekaligus Menyenangkan
35 Epilog – Pesan Tersembunyi
36 SS – Karaoke
37 Kata Penutup
Episodes

Updated 37 Episodes

1
Prolog – Titik Tumbuh
2
Chapter 1 – Apa Salahnya Berteman?
3
Chapter 2 – Serangan Kejutan Yang Efektif
4
Chapter 3 – Rayuan Maut Putri Alisia
5
Chapter 4 – Sudah Ku Bilang, Aku Tidak Menyimpannya
6
Chapter 5 – Putri Tsundere Dan Sedikit Kikuk
7
Chapter 6 – Sudah Ku Bilang Jangan Main – Main Dengan Api
8
Chapter 7 – Motivasi Sebelum Penilaian
9
Chapter 8 – Kencan Pertama Bersama Putri Alisia
10
Chapter 9 – Tersipu Malu
11
Chapter 10 – Perasaan Tidak Jelas
12
Chapter 11 – Cemburu Itu Sifat Yang Tidak Baik
13
Chapter 12 – Sisi Lain Seseorang
14
Chapter 13 – Perasaan yang Bercampur Aduk
15
Chapter 14 – Mendadak Demam Ku Semakin Parah
16
Chapter 15 – Tidak, kenapa jadi seperti ini?
17
Chapter 16 – Itu Sih, Parah Banget
18
Chapter 17 – Kalau Dilihat – Lihat, Kamu Juga Lucu
19
Chapter 18 – Sepertinya Aku Tidak Pernah Merasa Menang
20
Chapter 19 – Aku Juga Tidak Tahu Awal Mulanya Kenapa
21
Chapter 20 – Akhirnya Aku Mengatakannya
22
Chapter 21 – Jadi Seperti Ini Rasanya Pertama Kali Pacaran …
23
Chapter 22 – Seriusan, Aku Tidak Tahu Apa – Apa
24
Chapter 23 – Kenapa Harus Aku?
25
Chapter 24 – Fetish Otaku Memang Menakutkan
26
Chapter 25 – Tidak Ada Jalan Lain Kali Ini
27
Chapter 26 – Sifat Cemburu Gadis Harus Dihindari
28
Chapter 27 – Aku Tidak Bermaksud Seperti Itu
29
Chapter 28 – Aku Tidak Tahu Kenapa Bisa Seperti Ini
30
Chapter 29 – Kalau Seperti Ini … Tidak Ada Cara Lain
31
Chapter 30 – Kalau Mau, Aku Bisa Lebih Serius Lagi
32
Chapter 31 – Aku Tidak Akan Membiarkan Berakhir Seperti Itu
33
Chapter 32 – Bukan Berarti Aku Menolak, Itu Hanya Basa - Basi
34
Chapter 33 – Hari Ini Terasa Cepat, Sekaligus Menyenangkan
35
Epilog – Pesan Tersembunyi
36
SS – Karaoke
37
Kata Penutup

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!