Menentang Restu

"Wah wah .... Hebat ya, kalian berdua. Walau sakit, tapi masih saja bisa tertawa layaknya tak ada masalah apapun." Ilmi melangkahkan kakinya–mendekati Emilia.

Tatapan matanya sangat sadis–membuat tubuh Emilia menegang dan tak jarang, menundukkan kepalanya.

"Kamu rupanya selalu lebih tahu keadaan dan keberadaan adik saya ya, di bandingkan dengan saya–kakak kandungnya. Apa jangan-jangan ..., kamu yang membuat adik saya seperti ini?"

Emilia dan Yofan terkejut mendengar tuduhan kejam Ilmi terhadap Emilia. Yofan tidak menyangka, kakaknya sejahat itu. Perlahan, Yofan menggerakkan tubuhnya untuk duduk bersandar di tempat tidurnya.

"Aku yang menyuruh Lia datang ke sini. Kenapa?" tanya Yofan sedikit menantang.

"Ou ou ... Begitu, ya. Jadi kamu lebih butuh gadis bau kencur ini, dibandingkan keluarga kamu, begitu maksudnya?"

Gadis malang–Emilia segera menghentikan perdebatan Yofan dan Ilmi dengan mengingatkan bahwa posisi mereka saat ini sedang ada di rumah sakit. Ilmi dan Yofan memang sangat sulit disatukan, sejak mereka masih kecil.

Ilmi yang posesif dan Yofan yang keras kepala, seringkali membuat mereka adu mulut–tak ada hentinya. Tak lama kemudian, suara pria muncul dari luar kamar. Suara itu tentu saja tak asing di telinga Yofan dan Ilmi.

"Yofan, kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Pak Cahyo yang baru datang dengan ekspresi penuh kepanikan.

"Tidak apa-apa, Pah. Yofan hanya luka ringan saja. Besok juga pasti boleh pulang," ujar Yofan.

"Ini semua pasti gara-gara anaknya orang yang bikin papah di PTDH itu, Pah!" Dengan suara keras dan penuh percaya diri, Ilmi menunjuk Emilia.

Lelaki parubaya itu pun menengok–memandang wajah Emilia dengan wajah semburat merah dan alis yang berkerut. Pak Cahyo dan Emilia saling bertatap mata cukup lama.

"Pah, jangan dengarkan Ilmi, Pah. Lia ke sini karena Yofan yang minta dia ke sini. Kecelakaan ini, benar-benar tidak ada kaitannya dengan Lia," ujar Yofan–memohon.

Pak Cahyo menghela nafas kasar dan mengabaikan masalah yang baginya tidak penting. Dia lebih memilih membahas tabrak lari yang menimpa Yofan. Namun saat dia dan Yofan membahasnya, Emilia berpamitan pulang. Dia tidak tahan lagi berada di dalam ruangan kurang luas dan berbau alkohol dengan situasi kurang baik.

Yofan kecewa dan tak ingin Emilia pergi. Namun dia paham dengan perasaan Emilia yang pasti sangat tertekan dengan perkataan gurunya–Ilmi–kakak kandung Yofan.

"Hati-hati, ya. Jangan ngebut dan kalau sudah sampai rumah, kabari aku, ya ..." Yofan dan Emilia saling melempar senyuman manis mereka.

"Permisi, Om, Bu Ilmi," kata Emilia dan Puspa.

***

Sepanjang jalan rumah sakit, gadis malang itu menghapus air matanya yang tak lagi dapat dibendung. Hatinya sangat sakit dan kecewa, namun dia sangat mencintai Yofan dan tak mungkin meninggalkannya.

"Mil, yang sabar ya, Mil. Aku tahu ini sangat menyakitkan buat kamu. Tapi, bagaimanapun mereka keluarga Pak Yofan, Mil. Kamu gak bisa menentang mereka, 'kan ..." Puspa berusaha mengikuti langkah kaki Emilia yang saat itu berjalan cukup cepat.

Emilia tidak merespon perkataan Manda sedikit pun. Dia mengambil motornya dan menyuruh Puspa untuk segera naik. Namun Puspa meminta agar dia saja yang menyetir motornya.

Saat Emilia dan Puspa pulang, Ilmi masih melanjutkan perdebatannya dengan Yofan, tanpa peduli keadaan Yofan–adik satu-satunya yang dia miliki.

Dihadapan papanya, dia menjelaskan identitas Emilia yang sebenarnya, hingga Pak Cahyo terkejut dan mempertanyakan kebenarannya pada Yofan.

"Justru kalian yang jahat. Aku sudah tahu semua kebenarannya. Papah yang sudah menabrak ayahnya Emilia dan hendak melarikan diri di tahun 2009 silam, 'kan?" Yofan menatap tajam papanya yang kini ada dihadapannya.

"Mak–maksud kamu apa? Papah tidak pernah melarikan diri, Fan. Papah waktu itu tanggung jawab, kok." Alis Pak Cahyo berkerut dan dia mulai gagap.

"Kalau papah tanggung jawab, tidak mungkin atasan papah PTDH papah dari kepolisian. Papah hanya bayar administrasi saja, 'kan, Pah? Lalu papah menghilang," cecar Yofan.

Pak Cahyo hanya diam mematung. Dia tidak tahu harus mengelak dan mengarang cerita apa lagi, agar anak-anaknya percaya dengannya.

Hening dalam ruangan itu. Hanya suara jarum jam yang terdengar. Hingga suara Ilmi kembali terdengar, setelah hampir setengah jam hening.

"Apapun alasannya, Ilmi tetap nggak setuju kalau Yofan dengan Emilia, Pah. Dia itu nggak selevel dengan keluarga kita dan juga profesi Yofan, Pah," ujar Ilmi.

Sepasang mata kembali menatap tajam Ilmi–layaknya seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Sorot mata Yofan yang tak pernah bisa menyembunyikan perasaannya, membuat Ilmi sedikit bergidik. Namun ia tak mau kalah dengan Yofan dan dia tetap inginkan Yofan dan Emilia putus.

"Aku yang menikah dan aku yang akan jalani kehidupanku setelah menikah. Jadi semua itu adalah urusanku, bukan urusanmu." Yofan menjawabnya dengan tegas.

"Oh, begitu. Setelah kamu menjadi seorang Polisi, kamu bilang urusanmu bukan urusanku? Apa kamu lupa, siapa yang membiayai pendidikan kamu hingga tamat SMA? dan siapa yang berusaha keras agar kamu bisa jadi Polisi. Siapa itu kalau bukan aku, ha?!" bentak Ilmi.

"Jadi kamu tidak ikhlas membiayai aku? Oke, Mbak. Kamu rinci semua modalmu untuk aku dan aku akan ganti semuanya!" balas Yofan dengan teriakan pula.

***

Sementara di rumah Emilia, hanya ada suasana menyedihkan yang memenuhi seluruh ruangan rumahnya. Kesedihan, amarah, kekecewaan Emilia berhasil mencuri perhatian Bu Dewi, Bryan dan Puspa. Mereka semua turut merasakan apa yang Emilia rasakan.

***

Aku memang gadis dari rakyat jelata

Tak seterhormat dirimu

Namun aku punyai ketulusan cinta

Yang tak akan pudar ditelan waktu

by Emilia

Sebuah puisi singkat–perwakilan hati, dengan sengaja Emilia tuliskan pada story WA miliknya. Dia berharap, Yofan dan Ilmi membaca story nya dan mempertimbangkan kembali keputusannya untuk memisahkannya dengan Yofan.

Andi : Kamu kenapa, Mil?

Niko : Pasti gara-gara Yofan lagi ya? Memang tuh cowok kagak pantes lu kasih hati, Mil.

Feni : Sabar ya, Mil. Aku yakin, kalian pasti bisa bersama sampai menua.

Berbagai komentar masuk–dari sahabat–sahabatnya, membuatnya bisa sedikit tersenyum.

Lain hal nya dengan Yofan dan Ilmi yang masih berada di rumah sakit. Ilmi tetap ngotot memisahkan Yofan dengan Emilia dan memilih Adelia–seorang Pramugari cantik untuk menjadi istri Yofan.

"Adelia adalah gadis terbaik untuk kamu dan layak menjadi pendampingmu, bukan Emilia," ujar Ilmi.

"Mbal Ilmi nikahi saja, sendiri. Nikah yang tidak didasari rasa cinta, tidak akan pernah bahagia, Mbak." Yofan masih berusaha membantah kakaknya yang sangat egois.

Namun Pak Cahyo melerai mereka. Teriakan Pak Cahyo mampu membuat suara bising mereka berhenti dalam hitungan detik saja. Yofan, Ilmi dan Pak Cahyo saling menatap mata.

"Apa yang dikatakan Ilmi itu benar. Emilia masih terlalu kecil untuk kamu. Usia kalian berbeda jauh, Fan. Lagipula, kamu layak mendapatkan yang lebih baik dari dia, Yofan," ujar Pak Cahyo.

"Pah, yang tahu baik buruknya untuk Yofan, hanya Yofan sendiri, Pah. Yofan sangat mengenal Emilia. Dia gadis yang baik." Yofan meringis–menahan rasa sakit di kepalanya akibat terbentur jalan.

"Cukup, Yofan! Sudah cukup kamu melawan papah. Sejak kamu mengenal gadis itu, kamu jadi kurang ajar sama papah. Pokoknya papah tidak mau punya mantu dia. Kalau kamu masih ngotot, papah bisa pastikan, kamu dikeluarkan dari kepolisian, bagaimanapun caranya!" bentak Pak Cahyo.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!