Kisah Sore Itu

Pukul tiga Sore, bel pulang berbunyi. Emilia segera mengemas bukunya dan memasukkannya kedalam tas. Dia keluar dari kelasnya bersama Feni dan Puspa. Tak lama, Niko dan Andi pun muncul–berdiri berjajar, disamping Feni yang sedang mengobrol dengan Emilia untuk mengajak dia makan di kantin, sebelum pulang.

“Aduh, sorry ya, aku gak bisa. Next time aja ya, Fen. Soalnya aku udah ditungguin Mas Yofan didepan,” ujarnya dengan alis berkerut.

“Yof–fan?!” ucap Niko dan Feni bersamaan.

“Iya, aku tadi diantar dia kesini,” ujar Emilia.

“Udah ya, aku duluan. Dada!” Dia berlari sembari berteriak dan melambaikan tangannya ke sahabat-sahabatnya.

Sesuai perjanjian, Yofan menjemput Emilia didepan kantor TNI-AD–samping sekolah. Mereka berdua tidak segera pulang, tetapi mampir ke kafe dulu untuk makan siang berdua.

“Dorr!!" Emilia menepuk bahu Yofan, hingga lelaki itu tersentak.

"Kebiasaan, ya. Hobi banget, bikin orang jantungan."

"Maaf ya, jadi nunggu lama.” Emilia mengambil helm yang sudah Yofan bawakan dari rumah, lalu memakainya.

“Ke kafe dulu, ya … Makan siang. Mau, 'kan?” tanya Yofan.

Emilia mengangguk. Yofan melajukan motornya sembari menanyakan kegiatan sekolah Emilia hari ini.

Pertanyaan itu memang selalu dia tanyakan di setiap harinya dan sudah menjadi kebiasaannya sejak awal bertemu hingga saat ini.

Sudah delapan bulan lebih, mereka jadian. Yofan tak pernah menyangka akan bisa mendapatkan Emilia. Pasalnya, dia adalah gadis yang susah di dekati dan cenderung cuek.

Mereka berdua tiba di kafe pukul 15.20, saat kondisi kafe sedang sedikit sepi. Suasana yang tenang dan nyaman untuk makan berdua, pikir Yofan.

"Duduk di sana saja ya, Dek ..." Dia menunjuk tempat lesehan dekat dengan kolam ikan.

"Okey, terserah Mas aja," ucap Emilia.

"Btw, selama kamu jadi pacarnya Mas, kamu bahagia, nggak sih?"

Pertanyaan konyolnya membuat Emilia tersedak minuman.

"Ngapain, nanya begituan? Ya seneng, lah. Kalau gak seneng, ngapain bertahan sampai hampir setahun? Konyol banget," jawabnya mulai ketus.

Dua puluh menit kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah Emilia.

***

Tiba di rumah Emilia, Yofan tampak terburu-buru dan ingin segera berpamitan pulang. Sebab, masih ada urusan lain yang harus dia urus.

Yofan tiba di rumahnya tepat saat senja–15 menit sebelum adzan Maghrib berkumandang. Selama di perjalanan pulang, dia sudah menyusun kegiatannya mulai selesai Maghrib hingga jam sepuluh malam nanti.

Namun mood nya memudar bagai tertiup badai tsunami, ketika mendengar teriakan kemarahan Ilmi–kakaknya yang tiba-tiba meledak begitu saja, bagaikan bom hirosima versi masa kini.

"Dari mana saja, kamu? Pasti klayaban dulu sama bocil itu, 'kan?!" teriaknya.

"Maksud Mbak Ilmi apa ya, tiba-tiba ngomong begitu?" Pria berusia dua puluh dua tahun itu berdiri dibawah tangga sembari memandang Ilmi yang sedang berada di tangga.

"Mbak tahu, kamu sedang pacaran sama muritnya Mbak. Pacarmu Emilia, 'kan?" Ilmi turun dari tangga dan menghampiri Yofan.

Mereka saling bertatap mata, tanpa sepatah kata pun. Hati Yofan bergemuruh bagaikan ombak. Dia tidak suka terlalu diatur untuk hal pribadinya.

"Mbak tidak setuju kalau kamu pacaran sama Emilia. Dia masih terlalu kecil untuk kamu dan dia tidak sepadan dengan kamu!" pekiknya.

"Putuskan dia. Masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dan layak untuk kamu," ucap Ilmi–melanjutkan perkataannya dengan mimik wajah sedikit meredup.

Yofan tersenyum miring, “Yang tahu baik buruknya untuk aku, itu aku sendiri, Mbak."

"Kamu tidak berhak ikut campur urusanku," imbuhnya.

Mata Ilmi membulat–kaget, "Oh ... begitu, ya. Jadi sekarang kamu sudah berani bantah Mbak? Asal kamu tahu, Emilia itu anaknya orang jahat. Orang tua dia yang membuat papah di PTDH dari kantornya. Sekarang kamu mau pungut dia?!" teriak Ilmi lagi.

Yofan terkejut mendengar ucapan kakaknya. Dia tak lagi bisa berkata apa-apa, selain diam dengan irama jantungnya yang mendadak berdetak kencang. Percaya tidak percaya adalah perasaan yang ia alami saat ini.

Yofan tak ingin berdebat lagi dengan kakaknya, apalagi adzan sudah berkumandang. Dia pergi meninggalkan Ilmi.

***

Pukul tujuh malam, suara sambungan telepon terdengar dari dalam kamar Yofan. Cukup lama dan bahkan berkali-kali, setelah sambungan terputus. Yofan semakin panik bercampur penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat.

"Tidak. Ini pasti akal-akalan Mbak Ilmi saja, biar aku bisa putus sama Lia. Tidak mungkin orang tua Lia sejahat itu," gumamnya dalam hati.

Dia mencoba menghubungi Emilia sekali lagi, namun tak kunjung diangkat. Saat Yofan hendak mematikannya, Emilia mengangkat teleponnya.

"Halo, ada apa, Mas?" Lirih dan sedikit serak suara Emilia, seperti sedang sakit.

"Suara kamu kok beda? Kamu kenapa?" tanya Yofan–penuh cemas.

"Gak kenapa-kenapa. Baru bangun tidur. Capek, habis kerjakan banyak tugas. Tumben, kamu malam-malam telepon aku. Ada apa?" tanya Emilia lagi.

Yofan menghela nafas dan memilih to the point menceritakan maksud dan tujuannya menelpon Emilia malam ini. Dia tak ingin berlama-lama dalam rasa penasarannya.

"Apa benar, orang tua kamu yang menyebabkan papaku di PTDH?" Suara Yofan sedikit bergetar.

"Wadu …,h. Kalau soal itu aku gak tahu ya, Mas. Coba tanyakan sendiri ke ibu aku besok," ucap Emilia.

Gadis itu mendadak double L (lholak lholok) bagai orang yang sedang over dosis. Pasalnya, dia tidak tahu menahu perihal permasalahan orang tuanya di masa lalu.

Yofan merasa sedikit kecewa dengan jawaban Emilia, saat itu. Namun dia harus menghargai keputusan Emilia. Beberapa menit kemudian, Yofan mengakhiri teleponnya dan memutuskan untuk tidur.

***

Minggu pagi yang keabu-abuan.

Seperti hatiku yang diterpa keresahan.

Akan kah hari ini kudapatkan jawaban?

Atas misteri ketidak adilan.

Yang telah lama kucari informasinya.

***

Sebuah tulisan yang Yofan tulis di WhatsApp story-nya pada hari Minggu ini. Feni dan Puspa sempat mengintipnya, namun mereka tidak meninggalkan komentar apapun.

Jam sembilan pagi ini, Yofan pergi ke rumah Emilia untuk mengajaknya jalan-jalan. Berpakaian kemeja merah bata dan celana jins, terlihat begitu sangat gagah dan mempesona. Parfum wangi khas Garuda Air adalah ciri khas penampilannya.

"Wangi banget, mau kemana?" tanya Ilmi.

"Tidak perlu kepo. Urus saja urusanmu sendiri." Yofan sengaja menjawab ketus, agar Ilmi tidak lagi mengganggunya.

"Pasti mau ketemu Emilia, 'kan?" Ilmi menunjuk Yofan. Namun Yofan tidak memedulikannya.

Pria berkulit sedikit putih–keluar untuk mengambil motornya di garasi. Dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan menuju rumah Emilia, dia berdoa di dalam hatinya, agar tuduhan Ilmi itu salah.

"Aku tidak bisa membayangkan, seandainya omongan Mbak Ilmi benar. Haruskah aku korbankan cintaku?" ucapnya bertanya dalam hati.

***

Tin tin! Klakson motor pria kesayangannya sengaja ia bunyikan saat telah sampai di rumah Emilia.

Cklek. Seorang pria muncul–membuka pintu. Dia adalah Bryan–kakak kandung Emilia yang selalu menyambutnya dengan ramah dan santun.

"Masuk dulu, Bro," kata Bryan.

"Mil, ada Yofan di depan!" teriak nya, kemudian– sambil berjalan menuju kamar Emilia yang biasa dia panggil Emil.

Sampai depan kamar, Bryan menggelengkan kepalanya sambil mendecih. Sebab rupanya, adik satu-satunya itu belum selesai berdandan.

Dia sempat marah ke Emilia, sebab menjadi kebiasaannya, mengulur waktu hanya gara-gara makeup yang tak kunjung selesai namun hasilnya tetap biasa saja, bahkan terkadang bagi Bryan seperti ondel-ondel hendak ke kondangan.

Namun gadis kecil itu hanya meringis, seperti biasa. Tidak pernah peduli dengan ucapan kakaknya. Dia pergi menuju ruang tamu untuk menemui Yofan.

"Hei … maaf ya, menunggu lama." Dia duduk disamping Yofan.

Tetapi Yofan hanya melirik Emilia sekilas saja. Dia lebih fokus melihat langit yang semakin kelabu.

"Berangkat sekarang, ya. Biar tidak kehujanan," ujarnya.

"Oke, siap …" Emilia berjalan keluar–mendahului Yofan.

***

Tiba di taman yang indah dan terletak di pegunungan yang sejuk, Emilia berkali-kali minta tolong Yofan untuk memotretnya dengan ponsel pribadi miliknya. Dia berpose sangat PD layaknya seorang model.

Melihat Emilia bisa sebahagia itu, membuat Yofan terharu dan tak ingin melepasnya begitu saja. Dia ingin tetap bersama gadis kecil itu. Apapun dan bagaimanapun keadaannya.

"Wah, ada ayunan …! aku mau kita foto berdua di ayunan, Mas!" teriak Emilia sembari berlari menuju ayunan.

"Sayang, ada jajanan jadul, tuh. Kamu mau tidak?" tanya Yofan.

"Boleh, Mas." Sang gadis berdiri dan Yofan menggandeng tangannya menuju ke penjual kerak telor–jajanan masa kecil Yofan.

Mereka berdua bernostalgia dengan jajanan jadul itu yang ternyata juga ada di masa kecil Emilia. Rencana mereka berlama-lama di taman hari ini, ternyata tak sesuai ekspektasi. Sebab mendung yang semakin menghitam, mengharuskan mereka kembali pulang.

***

Tiba di rumah Emilia, tepat saat gerimis mulai turun rintik-rintik.

"Dek, saya mau bicara soal semalam sama ibu kamu," ucap Yofan.

Emilia menepuk dahinya, "Untung saja, Mas Yofan ingatkan lagi. Jujur, aku udah lupa, Mas. Sebentar ya, aku panggilkan."

Yofan menganggukkan kepalanya. Dia menunggu di sofa ruang tamu dengan penuh ketegangan, layaknya orang akan disidang oleh Hakim.

Tak ada henti-hentinya dia berdoa, agar semua pikiran buruknya salah dan hubungannya tidak hancur berantakan.

"Ada apa, Mas?" tanya seorang wanita berusia kepala empat.

"Mohon maaf, Bu, sebelumnya. Semalam, saya dapat informasi dari kakak kandung saya tentang ibu dan suami ibu. Katanya, ibu dan suami ibu yang membuat papah saya di PTDH oleh kantornya. Apa benar begitu? Jika benar, mohon kejujurannya untuk menceritakan alasannya ke saya. Karena saya berhak tahu," ujar Yofan dengan penuh gugup.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!