"Oh iya sayang, kamu jadinya kuliah dimana." tanya mama Putri saat mereka tengah makan malam.
Gebi yang berniat menyuapkan makanannya menurunkan sendoknya, beberapa hari ini, dia hanya fokus memikirkan tentang janin yang terus berkembang diperutnya dan bagaimana cara melenyapkannya, tidak terfikir sedikitpun olehnya tentang kuliah meskipun tiap hari teman-temannya terus membicarakan tentang kuliah digroup chat, Gebi tidak bisa tenang kalau masalah ini belum selesai.
Papa Devan menatap putrinya saat mendengar pertanyaan dari istrinya barusan.
"Kamu jadi ngambil kedokteran." tanya papa Devan karna seingatnya sejak dulu Gebi bercita-cita ingin menjadi seorang dokter.
Tiba-tiba Gebi merasa tenggorokannya terasa seret, pertanyaan mudah dari kedua orang tuanya tidak bisa dia jawab
"Mmm, sepertinya iya pa, Gebi akan masuk kedokteran." jawabnya.
Dalam hati Gebi merasa sedih, gimana tidak, dokterkan tugasnya menyelamatkan nyawa manusia, ini dia malah merencanakan melenyapkan janinnya, benar-benar calon dokter laknatkan dia.
"Papa kira kamu akan berubah fikiran Geb, masalahnya perusahaan papa siapa yang urus nantinya kalau kamu masuk kedokteran, tapi yah kalau itu yang kamu inginkan, papa bisa apa."
Meskipun papa Devano lebih menginginkan putrinya kuliah bisnis supaya nantinya bisa mengurus perusahaannya, tapi dia adalah tipe orang tua yang tidak memaksakan kehendak, dia tetap kok mendukung impian putrinya yang ingin menjadi seorang dokter.
"Mama sudah tidak bisa diandalkan untuk memberi keturunan sama papa." papa Devano melanjutkan.
"Ya nanti cucu kita saja pa yang akan meneruskan usaha papa."
Mendengar kata cucu disebut-sebut oleh mamanya membuat Gebi tersedak makanannya sendiri sehingga membuatnya terbatuk-batuk hebat.
Ukhuk
Ukhuk
Mama Putri langsung memberikan gelas berisi air putih kepada Gebi, "Minum Geb."
Gebi mendesah lega saat air bening itu mengaliri tenggorokannya.
"Pelan-pelan makannnya Geb." peringat mama Putri yang diangguki oleh Gebi.
Obrolan kembali membicarakan tentang cucu, "Iya ma, papa berharap Gebi cepat lulus dan wisuda, menikah dan memberikan cucu untuk kita, dan papa harap sieh bisa mewarisi darah papa, darah pengusaha supaya nanti ada yang menggantikan papa memimpin perusahaan yang telah papa bangun."
"Amin." mama Putri mengaminkan doa suaminya.
Sedangkan Gebi, dia rasanya tidak nafsu lagi untuk melanjutkan makannya mendengar kedua orang tuanya membahas tentang cucu.
"Kalian memang sudah punya calon cucu ma, pa, tapi sayangnya dia harus pergi sebelum sempat melihat dunia."
****
Gebi merasa takut, tangannya gemetaran, Jefri meraih tangan Gebi dan membawanya dalam genggamannya, laki-laki itu berusaha untuk menenangkan kekasihnya yang ketakutan.
"Tenanglah Geb, kamu akan baik-baik saja, temanku bilang, dia dan pacarnya sudah dua kali melakukan aborsi diklinik ini, dan pacarnya itu baik-baik saja."
Saat ini kedua remaja itu ada disebuah klinik ilegal, dan saat ini tengah menunggu giliran.
"Tapi aku takut Jef, gimana kalau aku...." Gebi tidak sanggup menyelsaikan kata-katanya karna air matanya mulai luruh, Gebi menutup wajahnya.
Jefri mengelus punggung Gebi, dia masih berusaha untuk menenangkan Gebi.
"Tidak akan terjadi apa-apa Geb, percayalah, ingatlah, kalau anak ini masih berada diperut kamu, bagaimana dengan masa depan kita, lagian kalau orang tua kita sampai tahu, mereka pasti akan marah besarkan sama kita."
Kata-kata Jefri berhasil sedikit meruntuhkan ketakutan yang dirasakan oleh Gebi, dia memang harus melakukan ini, ini yang terbaik untuk mereka berdua.
Setelah berhasil mengontrol emosinya dan menenangkan dirinya, Gebi berkata dengan mantap, "Baiklah, aku akan melakukannya."
Jefri memeluk Gebi, sesungguhnya ada kekhawatiran juga dibenak Jefri tentang keselamatan Gebi, tapi dia meyakinkan dirinya kalau Gebi tidak akan kenapa-napa.
"Atas nama ibu Gebi Alvaro, silahkan masuk ke ruangan." seorang suster memanggil Gebi.
Gebi yang tadinya sudah agak tenang kembali
dikuasai oleh rasa takut.
"Kamu akan baik-baik saja Geb, percayalah." didetik terakhir Jefri kembali meyakinkan Gebi.
Gebi mengangguk ragu, meskipun begitu dia tetap bangun, kakinya terasa berat melangkah ke arah ruangan yang akan menjadi saksi betapa jahatnya dia sebagai seorang wanita, khususnya sebagai seorang ibu yang tega melenyapkan janin yang tidak berdosa yang saat ini bersemayam diperutnya.
Jefri juga ikut berdiri, dia memapah Gebi berjalan ke arah ruangan dimana Gebi akan dieksekusi, suster yang tadi memanggil Gebi masih menunggu dipintu masuk.
"Silahkan masuk ibu, dokter sudah menunggu ibu didalam." sik suster mempersilahkan.
Gebi menelan ludahnya, ruangan yang bernuansa putih itu terasa menyeramkan untuk Gebi.
Jefri memeluk tubuh Gebi sebelum melepaskan Gebi memasuki ruangan tersebut
dan kembali berkata, "Yakinlah sayang, semuanya akan baik-baik saja, ini semua demi masa depan kita." ini adalah pertama kalinya Jefri memanggil Gebi dengan panggilan sayang setelah mengetahui Gebi mengandung anaknya.
Gebi mengangguk dibalik punggung Jefri yang memeluknya, namun matanya tidak bisa bohong, Gebi takut.
Jefri mengurai pelukannya dan menangkup wajah Gebi, wajah yang terlihat sendu, "Aku akan disini menunggumu oke, jangan khawatir, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
Gebi mengangguk, dari sudut matanya merembas buliran kristal bening.
"Heiii jangan menangis, semuanya pasti akan baik-baik saja, percayalah." kata-kata itu terus Jefri ulangi hanya untuk menghilangkan kekhawatiran Gebi dan juga dirinya sendiri.
Setelah adegan drama yang cukup menguras emosi itu, Gebi akhirnya masuk, pintu tertutup sehingga Jefri harus puas hanya menunggu diluar.
"Ya Tuhan, jagalah Gebi." doanya, coba saja saat dia melakukan hal terlarang itu dia mengingat Tuhan, mungkin hal ini tidak akan terjadi, Gebi tidak perlu mempertaruhkan nyawanya sendiri hanya untuk mengugurkan janinnya.
"Maafkan papa dan mama nak, kami menyayangimu, tapi kamu hadir disaat yang tidak tepat."
Sedangkan didalam, Gebi memandang ruangan sekelilingnya yang didominasi oleh warna putih, terdapat satu bankar diruangan tersebut dan satu meja yang diatasnya telah tersedia beberapa benda tajam seperti gunting, pisau bedah dan beberapa hal lainnya, melihat benda yang sering digunakan dalam dunia medis tersebut membuat bulu kuduk Gebi berdiri, dia ngeri.
"Silahkan ibu berbaring."
Suara dokter perempuan itu menyadarkan Gebi.
"Ayok ibu silahkan berbaring, biar kita segera mulai." ulang sik dokter karna Gebi tidak kunjung menuruti perkataannya.
Gebi melangkah ragu menuju bankar yang ada diruangan itu, kini setelah dia berbaring, rasa takutnya bertambah berkali-kali lipat.
"Ya Tuhan, apa yang aku lakukan ini benar, aku telah melakukan dosa besar, dan sekarang aku melakukannya lagi, bagaimana kalau aku mati dan tidak sempat bertobat, bagaimana nanti kalau anak ini meminta pertanggung jawabanku diakhirat." Gebi menitikkan air mata, kenyataan itu sekaligus menyadarkannya untuk membatalkan niatnya.
Saat sik dokter akan melakukan tugasnya, Gebi bangun dari posisi berbaringnya, "Maafkan saya, saya tidak jadi menggugurkan kandungan saya."
Gebi langsung turun dari bankar dan berlari keluar, sik dokter dan suster hanya menatap punggung Gebi dengan kening berkerut menyaksikan pasiennya lari begitu saja.
Jefri yang saat ini mondar-mondir didepan ruangan kaget saat melihat pintu terbuka, tambah kaget lagi saat melihat kalau yang membuka pintu tersebut adalah Gebi.
"Gebi, kamu..."
"Aku tidak mau melakukannya Jef, aku takut."
"Geb, tapi ini...."
"Aku gak mau Jef, aku gak mau." Gebi menjerit histeris.
"Oke oke, mungkin tidak sekarang, kita terlalu cepat, kamu mungkin butuh waktu, besok kita kesini lagi oke."
"Tidak ada besok-besok Jef, aku tidak mau melakukannya."
"Geb, kamu sadar apa yang kamu katakan." Jefri meradang, tentu saja dia tidak terima mendengar kata-kata Gebi barusan, "Kamu tidak ingat dengan masa depan kita hah."
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments