Oke, mungkin Jefri ingin menikah, tapi tidak saat ini juga, dia masih sangat muda, masa depanya masih panjang, ada banyak hal yang ingin dicapai dalam hidupnya yang tidak bisa dia capai kalau dia menikah.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang bahagia untuk mereka mengingat ini adalah hari kelulusannya dan Gebi, apalagi Jefri juga termasuk salah satu murid cerdas disekolah yang masuk lima besar dengan nilai tertinggi, harusnya mereka coret-coretan dan konvoi merayakan hari kelulusan mereka dengan teman-teman mereka yang lain, bukannya malah mendengar berita yang tidak pernah diharapkan seperti ini, berita itu berhasil membuat Jefri menjambak rambutnya frustasi, namun kemudian, dia teringat satu hal.
"Apa benar anak yang dikandung oleh Gebi anakku, aku dan dia melakukannya cuma sekali, apa bisa hal itu membuat Gebi hamil." batinnya meragukan apa yang dikatakan oleh Gebi.
Dan apa yang ada difikirannya itu dia lisankan, "Yakin itu adalah anakku."
Gebi menganga mendengar apa yang dikatakan oleh Jefri, Gebi yakin kalau Jefri akan kaget mendengar berita yang dia sampaikan, bahkan Gebi yakin kalau Jefri akan memintanya untuk menggugurkan kandungannya, tapi Gebi tidak pernah menyangka kalau Jefri akan mengatakan kata-kata yang menyakitkan seperti itu, hatinya benar-benar sakit, dia yang tadinya memberitahu akan kehamilannya untuk mengajak Jefri untuk mencari solusi bersama atas kehamilannya, namun, kata-kata Jefri barusan membuat Gebi mengurungkan niatnya, dia tidak menyangka kalau Jefri tega mengatakan hal tersebut kepadanya.
"Yakin itu adalah anakku." kata-kata itu terus terngiang-ngiang dikepala Gebi dan membuat hatinya seperti ter iris iris, "Dia fikir aku gadis apaan, apa dia fikir aku gadis murahan yang tidur dengan laki-laki manapun."
Tanpa bisa dibendung, air mata Gebi jatuh dengan derasnya membasahi pipinya yang pucat, Gebi tertekan dengan apa yang saat ini dia alami, dia tidak pernah menyangka kalau perbuatannya dengan Jefri itu bisa membuahkan janin yang mulai tumbuh diperutnya, dan sekarang, Jefri bukannya memberikan solusi atas apa yang tengah dia alami, malah mengatakan hal yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Jefri tahu dia salah, tidak seharusnya dia meragukan Gebi, Gebi adalah gadis baik-baik dan tidak mungkin melakukan hal tersebut dengan sembarang orang, melihat wajah shock dan air mata Gebi membuatnya menyesal, dia mendekati kekasihnya itu.
"Geb aku..." Jefri berusaha meraih tangan Gebi namun Gebi menepis tangan Jefri, dia tidak sudi dipegang oleh Jefri, laki-laki yang dengan teganya tidak mengakui janin yang saat ini dia kandung.
"Jangan sentuh aku, aku benci sama kamu Jef, benciiiii." Gebi menjerit histeris mengeluarkan amarahnya.
"Geb, maafkan aku, aku....."
"Mulai hari ini, kita berakhir Jef, jangan pernah temuin aku lagi." Gebi berkata tanpa berfikir.
Dan setelah mengatakan hal tersebut, Gebi berlari keluar dari ruang lab tersebut, hatinya benar-benar sakit, entah apa yang nantinya akan dia hadapi, entah bagaimana reaksi orang tuanya saat mengetahui kalau anak yang selalu mereka harapkan dan bangga-banggakan hamil diluar nikah, saat ini Gebi tidak ingin memikirkannya karna dia disibukkan dengan rasa sakit yang disebabkan oleh orang menyebabkannya hancur seperti ini.
Bukannya mengejar Gebi hanya sekedar untuk membujuk Gebi atau menenangkannya, Jefri malah terduduk dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi, dia menggeleng, "Gebi hamil, Gebi hamil." ulangnya berkali-kali, "Tidak bisa, aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, kami masih sangat muda, kami sama-sama belum siap untuk menjadi orang tua, lagipula bagaimana aku bisa menghidupi hidup kami nantinya, mana bisa aku mencari pekerjaan hanya dengan mengandalkan ijazah SMAku, lagipula apa kata orang tuaku nanti." Jefri hanya bisa mengacak-ngacak rambutnya saking frustasinya.
Sementara itu Gebi, tidak peduli dengan tatapan teman-temannya yang masih merayakan kebahagian mereka dilapangan sekolah dengan coret-coretan dan saling bertukar tanda tangan diseragam masing-masing, Gebi terus berjalan dengan air mata yang tidak bisa dia tahan dibawah tatapan heran teman-temannya itu.
"Gebiiiii." Imel melambai untuk menarik perhatian Gebi saat dilihatnya sahabatnya itu.
Gebi reflek menoleh saat namanya dipanggil, Gebi bisa melihat kalau ketiga sahabatnya kini dipenuhi oleh coret-coretan diseragam mereka sehingga sudah tidak kelihatan putih lagi, wajah ketiga sahabatnya dipenuhi oleh senyum kebahagian, dan seharusnya Gebi juga ikut berbahagia dengan sahabat-sahabatnya, sayangnya masalah berat yang dia hadapi tidak membiarkannya untuk merasakan yang namanya kebahagian.
"Gebbbb, ayok sini gabung sama kami." teriak Juli.
Gak mungkin melakukan hal tersebut, tanpa menggubris sahabat-sahabatnya, Gebi langsung pergi dengan langkah setengah berlari.
Dan hal itu membuat ketiga sahabatnya mengerutkan kening, mereka bingung dengan Gebi.
"Gebi kenapa, dia kayaknya nangis deh." tanya Nuri.
"Apa Jefri menyakitinya." duga Juli.
Mereka mencoba mencari keberadaan Jefri, dengan mengedarkan pandangan mereka kesekeliling, tapi mereka tidak melihat keberadaan Jefri diantara kerumunan anak-anak yang kini pada tengah sibuk coret-coretan dan berteriak-teriak.
"Kejar Gebi yuk, gue takutnya dia kenapa-napa lagi." saran Imel yang langsung disetujui oleh Juli dan Nuri.
Sayangnya, Gebi sudah lebih dulu memasuki taksi sehingga ketiga sahabatnya tidak bisa mencaritahu penyebab Gebi menangis.
****
"Hikss hikss." Gebi yang sudah tidak tahan menahan sesak didadanya terisak begitu berada didalam taksi, dia tidak peduli dengan sopir taksi yang menatapnya heran melalui kaca spion depan.
"Apa nona baik-baik saja." sik sopir taksi bertanya, agak khawatir juga dia dengan penumpangnya.
Namun Gebi tidak membalas pertanyaan sik sopir, emangnya kalau dia mengatakan masalah yang saat ini dia hadapi, sik sopir itu bisa membantunya, tidakkan.
Karna pertanyaannya tidak respon, sik sopir tidak bertanya lagi, dia hanya membiarkan penumpangnya menangis dibelakang, fikir sik sopir, mungkin yang saat ini dibutuhkan oleh penumpangnya adalah menangis bukannya bercerita, karna untuk sebagian orang, menangis bisa membuat hati menjadi lebih tenang.
"Jahat banget kamu Jef, jahat." rutuknya mengepalkan tangannya menahan kekesalannya.
Ditengah dalam keadaan meratapi nasibnya, Gebi mendengar suara ponselnya berbunyi, dia meraih benda tersebut dari tasnya, nama Juli terpampang dilayar ponselnya, Gebi yakin pasti ketiga sahabatnya itu khawatir saat melihatnya menangis tadi, namun karna saat ini Gebi dalam keadaan tidak ingin berbicara dengan siapapun, dia memilih untuk menonaktifkan ponselnya, yang Gebi butuhkan saat ini adalah ketenangan.
Gebi menyandarkan punggung dan kepalanya disandaran kursi, dia memejamkan matanya yang sudah capek menangis.
"Nona, maaf nona." sik sopir memanggil, dia sebenarnya tidak ingin mengganggu, apalagi kondisi penumpangnya tersebut sudah sedikit tenang sekarang, namun dia harus bertanyakan kemana dia harus mengantarkan penumpangnya tersebut.
Gebi membuka matanya mendengar sik sopir taksi memanggilnya.
"Maaf nona, ini kita mau kemana ya."
Entahlah, Gebi tidak tahu mau kemana, saat ini, dia tidak ingin pulang ke rumah, dia tidak mau mamanya melihatnya yang seperti ini, itu pasti membuat mamanya khawatir dan merongrongnya dengan berbagai pertanyaan, apalagi saat ini adalah hari kelulusannya, yang seharusnya dia bahagia bukannya mengerikan seperti ini.
"Bapak bisa membawa saya ke akhirat gak pak, saya...hiks hikss, saya rasanya tidak ingin hidup pak, saya ingin mati saja."
"Astagfirullan non, jangan berkata begitu non, ya Allah." kaget sik sopir mendengar jawaban Gebi, dia tahu penumpangnya itu tengah ada masalah, tapi dia tidak pernah berfikir kalau gadis yang duduk ditaksinya mengatakan hal yang tidak terduga begitu.
"Istigfar non, Allah tidak suka hambanya yang putus asa, nona itu masih muda dan cantik, jangan pernah sekali-kali berfikir seperti itu ya non, ingat orang tua non dirumah yang selalu menyayangi nona." sik sopir taksi menasehati.
Gebi hanya menangis, dia membenarkan apa yang dikatakan oleh sopir taksi, dia tidak boleh berputus asa seperti ini karna semua masalah pasti ada jalan keluarnya.
*****
Gebi pulang saat sore hari, suasana hatinya tidak bisa dibilang baik, tapi dia mencoba menormalkan wajahnya saat tiba dirumah, dia tidak mau mamanya khawatir kalau melihat wajahnya yang terlihat sedih.
Saat memasuki rumah, mama Putri yang sejak tadi menunggu kedatangan anak gadisnya itu berjalan menyongsong kedatangan Gebi, wanita setengah baya yang masih cantik diusianya yang sudah menginjak kepala lima itu khawatir dengan putrinya karna Gebi sama sekali tidak bisa dihubungi, dia sudah menghubungi ketiga sahabat Gebi, tapi jawaban ketiga sahabat Gebi sama, mereka tidak tahu Gebi dimana, dan itu membuat wanita itu khawatir, dan dia begitu lega saat mengetahui kalau Gebi kini sudah pulang dalam keadaan selamat dan tidak kurang satu apapun.
"Sayang." mama Putri memeluk putrinya semata wayanganya.
"Ma." ingin rasanya Gebi menangis dan menceritakan masalah yang saat ini dia hadapi, tapi sudah bisa dipastikan kalau mamanya akan shock saat mendengar putri kesayangannya yang selalu dia bangga-banggakan ternyata hamil diluar nikah, mamanya pasti tidak akan pernah menyangka kalau putrinya yang penurut, kalem dan tidak pernah terlihat dekat dengan laki-laki manapun hamil.
Mama Putri mengurai pelukannya, dan menangkup wajah Gebi, "Kamu kemana saja sieh sayang, ponsel dimatiin, mama tanyain teman-teman kamu satupun tidak ada yang tahu dimana keberadaan kamu, kamu membuat mama khawatir tahu gak."
"Maafkan Gebi ma, hiks hiks." Gebi kini mulai terisak, "Maafkan Gebi yang membuat mama khawatir."
Melihat putri kesayanganya itu menangis membuat mama Putri khawatir, "Heii, kamu kenapa sayang, apa kamu sakit."
"Gebi emang sakit ma, Gebi disakitin oleh laki-laki brengsek yang tidak mau bertanggung jawab." kata-kata yang tidak mungkin diucapkan, dan sebagai jawaban atas pertanyaan mamanya, Gebi hanya menggeleng.
"Terus kamu kenapa sayang, tidak mungkin kamu tidak luluskan, tadi ketiga sahabat kamu ngasih selamat sama mama, mereka bilang kalau anak kebanggaan mama ini merupakan lulusan terbaik seangkatan disekolah."
Gebi mengangguk, "Iya ma, Gebi memang lulusan terbaik disekolah." lisannya, Gebi menambahkan dalam hati, "Tapi percuma saja ma, percuma saja Gebi jadi lulusan terbaik kalau Gebi hamil."
"Selamat ya sayangku, putri kebanggaan mama dan papa." mama Putri kembali memeluk putrinya.
"Terimakasih mama."
"Tapi kenapa kamu menangis hah." mama Putri mengurai pelukannya.
"Gebi hanya menangis bahagia mama." bohongnya dan mama Putri percaya lagi dengan kebohangan yang dikatakan oleh putrinya tersebut, gimana gak percaya, Gebikan selama ini dikenal tidak pernah bohong.
"Papa pasti akan bangga mendengar kabar ini sayang, mama kasih tahu papa ya." mama Putri meraih ponselnya untuk menghubungi suaminya.
Gebi mengangguk, dalam hati perasaanya diliputi rasa gundah, "Kalian bangga denganku saat ini, tapi kalau tahu aku hamil, akankah kalian masih bangga padaku."
*****
Gebi begitu sangat dibangga-banggakan oleh mama dan papanya, setiap kali ada pertemuan, orang tuanya pasti membangga-banggakannya didepan rekan kerja papanya, dan kini, kebangaan itu berubah, Gebi telah membuat malu orang tuanya dengan kehamilannya.
Gebi bersandar dipintu kamarnya, tubuhnya merosot duduk dilantai menyesali apa yang telah dia lakukan sehingga berbuah janin, hal yang tidak pernah dia harapkan, namun bagaimanapun, penyesalan sudah tidak ada artinya sekarang.
"Haruskah aku menggugurkannya, aku tidak mau melihat mama dan papa menanggung malu karna memiliki anak seperti itu." tiba-tiba pemikiran itu terlintas dibenaknya.
Gebi mengangguk pasti dan dengan penuh keyakinan berkata, "Iya, aku harus menggugurkannya." Gebi reflek mengelus perutnya.
"Lagipula laki-laki yang telah menyebabkanku seperti ini tidak mau mengakuinya, dia benar-benar laki-laki brengsek, gue benci sama dia." Gebi mulai terisak saat mengingat kata-kata menyakitkan yang keluar dari bibir Jefri.
Gebi ingat, dia tidak mengaktifkan ponselnya sejak memutuskan pulang lebih awal dari sekolah, oleh karna itu, Gebi meraih benda tersebut dari dalam tasnya dan mengaktifkannya, begitu benda pipih itu diaktifkan, berlomba-lomba chat masuk ke ponselnya, kebanyakan chat tersebut sieh dari mamanya dan ketiga sahabatnya yang menanyakan dimana keberadaannya dan mengkhawatirkan keadaannya, dan meskipun saat ini dia sangat marah sama Jefri, Gebi berharap laki-laki itu khawatir dan mengechatnya hanya untuk menanyakan kondisinya, tapi ini, satupun tidak ada pesan dari Jefri dan itu membuat Gebi semakin kesal.
"Laki-laki brengsek, laki-laki tidak bertanggung jawab, bahkan sekarang kamu tidak peduli denganku saat mengetahui benih yang kamu tanam kini tumbuh dirahimku." melihat ketidakpedulian laki-laki yang menghamilinya itu membuat Gebi mengumpat, "Aku membencimu Jefri, aku sangat membencimu."
Rasanya Gebi ingin berteriak sekencang-kencangnya hanya sekedar untuk menghilangkan sesak dihatinya, tapi tidak mungkin dia lakukan karna itu bisa membuat mamanya curiga.
"Ya tuhan, kenapa nasibku seperti ini, apa salahku, apa aku tidak berhak bahagia seperti teman-temanku yang lain." Gebi menyalahkan takdir.
Gebi membuka geleri ponselnya, dimana disana terdapat foto-fotonya dengan Jefri, tanpa berfikir, Gebi menghapus foto-fotonya dan Jefri tersebut sampai tidak bersisa.
"Gue benci sama lo Jef, benci."
Ping
Gebi mendengar notifikasi masuk ke ponselnya yang dikirim oleh Juli.
Gebi membuka pesan yang ternyata adalah sebuah gambar ketiga sahabatnya, tidak ada hanya sahabatnya saja, digambar itu juga ada Miun dan Raskin, dua temannya yang iseng, mereka berpose dengan pakaian penuh coretan, gambar tersebut disertai dengan caption.
Seharusnya lo ikut foto sama kami Geb, rasanya ada yang kurang tanpa adanya elo.
Gebi menangis melihat foto tersebut, "Iya, gue harusnya bahagia, gue harusnya bahagia."
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments