Atmosfer yang tercipta dari pertemuan sepasang mantan kekasih yang masih sama-sama cinta namun terlalu bingung untuk memulai kembali itu sangat terasa tidak nyaman. Juan berkali-kali bergerak gelisah di posisi duduknya, berulang kali menolehkan pandangan dari Reno dan Clarissa secara bergantian.
Dari sudut pandangnya, cara Clarissa menatap Reno tampak seperti singa yang hendak menerkam mangsanya. Sementara Reno, tidak perlu dijelaskan lagi. Hanya ada tatapan penuh puja di netra lelaki itu. Sejak dulu tidak pernah berubah, Reno selalu menjatuhkan sepenuh hatinya kepada perempuan bernama lengkap Clarissa Magnova itu.
Juan mendesah pelan, melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lantas beralih menatap Zahira yang duduk di seberangnya, memberikan kode melalui tatapan matanya, mengajak perempuan itu bekerja sama untuk kabur dari suasana tidak nyaman ini.
Salah satu kelebihan Zahira adalah, perempuan itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang peka. Maka tanpa perlu Juan menjelaskan lewat kata-kata, Zahira langsung paham dan segera mengambil tindakan.
Perempuan itu meraih goodie bag berwarna putih dengan hiasan sablon bertuliskan As If It’s Our Last yang semula teronggok di kursi kosong di sebelahnya, menyampirkannya ke satu sisi bahu lalu bangkit dari duduknya.
Pergerakan itu ditangkap tidak baik oleh Clarissa, perempuan itu langsung terlihat memicing ke arah Zahira seakan berkata, “Lo pergi, lo mati.”
Untuk itu, Zahira segera melontarkan alasannya. Dengan lembut dan diiringi senyum tipis yang manis, perempuan itu berkata, “Udah masuk jam sholat ashar, aku mau ke mushola dulu.”
Karena alasan yang Zahira berikan adalah tentang beribadah dan itu urusannya dengan Tuhan, maka Clarissa tidak bisa berbuat apa-apa. Perempuan itu hanya menghela napas pasrah, tahu bahwa tidak lama lagi, si kutu kupret Juan pasti akan ikutan beranjak. Alasannya : “Musholanya jauh, gue mau anterin Zahira, takut hilang.”
Clarissa sudah paham sekali dengan tabiat sepupu mantan pacarnya itu. Jadi saat Juan betulan bangkit dan mengatakan sesuatu yang persis seperti apa yang dia pikirkan, Clarissa cuma bisa tersenyum kecut.
“Posesif banget, najis.” Perempuan itu mencibir, namun Juan tidak peduli. Ia hanya mengangkat bahu, lantas menarik lengan Zahira agar mereka segera bisa kabur dari perang dingin antara Clarissa dan Reno.
“Itu mereka nggak apa-apa kita tinggalin sendiri?” Zahira berbisik setelah langkah mereka sudah dekat dengan pintu keluar.
Juan menurunkan tangannya yang semula memegang pergelangan tangan Zahira, terus turun sampai akhirnya telapak tangan mereka saling bertemu dan ia mengeratkan genggaman. “Nggak apa-apa. Biar mereka punya waktu lebih banyak buat merenung dan nyari tahu apa yang sebenarnya mereka pengin.”
“Tapi aku nggak enak sama Clarissa, Ju. Takutnya nanti dia nggak mau lagi aku ajak keluar.”
Langkah Juan terhenti sebentar, hanya untuk membukakan pintu cafe agar Zahira bisa lewat lebih dulu. Barulah setelah mereka sama-sama keluar, ia menjawab. “Nggak akan. Tuh cewek aslinya juga masih mau sama Reno, cuma nggak tahu aja kenapa masih keras kepala banget nggak mau balikan. Yeah, mungkin masih sakit hati sama kejadian yang terakhir kali.”
“Perempuan tuh emang rumit, ya, Ju?”
Mendengar pertanyaan itu, Juan terkekeh. “Nggak semua, kok. Buktinya, kamu enggak.” Disertai senyum manis madu yang hampir-hampir membuat Zahira langsung terserang diabetes.
Satu hal lain yang Juan sukai dari Zahira adalah perempuan itu mudah sekali tersipu. Pipinya yang mulus dan biasa hanya dipulas dengan bedak tipis itu akan bersemu merah dalam waktu dekat, hanya karena kata-kata manis yang keluar dari bibirnya. Juan suka. Dia tergila-gila dengan rona merah yang hanya bisa dia temui dari belah pipi seorang Zahira Cassanova.
Zahira tak berkomentar apa-apa. Tangannya yang masih ada di dalam genggaman Juan mulai sedikit basah oleh keringat, pertanda salah tingkahnya kali ini lumayan merepotkan. Sudah hampir 5 tahun, heran juga kenapa dia masih belum terbiasa menerima kalimat-kalimat manis seperti itu dari Juan. Padahal kalau yang mengatakannya adalah orang lain, dia hanya akan membiarkan susunan kata itu melewati telinganya begitu saja, masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri.
“Aku tunggu di sini, ya.” Juan melepaskan tautan tangan ketika mereka tiba di depan sebuah mushola yang terletak di deretan paling ujung dekat parkiran mobil. Di dalam, sudah ada beberapa pengunjung yang bersiap untuk menunaikan ibadah sholat ashar. Sementara di bagian luar, ada beberapa lagi yang baru bersiap untuk megambil wudhu.
Zahira mengangguk. Lalu ia berjalan menuju mushola, melepaskan alas kakinya lantas berderap menuju tempat wudhu.
Sedangkan Juan, terdiam cukup lama di posisi berdiri, menunggu sampai Zahira keluar dari tempat wudhu dan masuk ke dalam mushola, bergabung dengan yang lainnya.
Sudah hafal kalau Zahira sholat akan memakan waktu cukup lama, Juan akhirnya memutuskan untuk duduk di bagian depan mushola. Tatapannya ia layangkan pada hamparan air danau yang tenang, namun tidak ada seorang pun yang tahu ada apa di bawah sana. Seperti dirinya, yang tampak tenang dan enjoy saja menjalani hubungan beda agama ini, padahal setiap harinya, kepalanya terasa hendak pecah.
Lama terdiam, Juan akhirnya masuk ke dalam lamunan. Ingatannya terlempar ke masa lalu, ke momen di mana dia pertama kali bertemu Zahira di Neosantara.
Pagi itu Juan datang secara terburu-buru, setengah berlari melewati koridor untuk menuju kelas karena si bajingan Reno meninggalkan dirinya, tidak membangunkannya sehingga ia kalang kabut mencari cara supaya tidak telat datang ke kampus.
Lebih sialannya lagi, di saat dia sedang terburu-buru, Juan malah bertabrakan dengan seseorang. Ia sudah hampir mencak-mencak, hampir memaki seseorang yang dia tabrak karena adegan itu telah menghambat langkahnya.
Akan tetapi, niat itu urung sepenuhnya saat dia menemukan seorang perempuan tersungkur di depannya, terduduk tak berdaya dengan beberapa buku yang bercecer di sekitarnya.
Juan semakin tidak berdaya ketika perempuan itu mendongak dan tatapan mereka bertemu untuk pertama kalinya. Aneh, dia merasakan napasnya tercekat, jantungnya seakan berhenti berdetak selama beberapa saat dan lidahnya terasa kelu dalam sekejap.
“Maaf.” Si perempuan berkerudung abu-abu itu berkata pelan seraya mengambil buku-buku miliknya yang berceceran.
Sebagai laki-laki, Juan seharunsya menunjukkan sedikit sisi gentle-nya untuk membantu perempuan itu membereskan buku-bukunya. Tapi karena ia masih sibuk berusaha menormalkan kondisi tubuhnya, Juan berakhir hanya bengong melihat perempuan itu membereskan semua yang berantakan sampai kemudian berdiri di depannya.
“Maaf, ya, aku buru-buru.” Permintaan maaf itu kembali datang dan yang bisa Juan lakukan hanyalah menganggukkan kepala seperti orang bodoh. Ia bahkan masih tidak bisa bicara apa-apa sampai ketika perempuan itu berlalu pergi setelah meminta maaf sekali lagi.
Pagi itu, untuk pertama kalinya, si Juananda yang bajingan tertarik dengan seorang perempuan. Perasaan tertarik yang lain, tidak seperti ketika dia hanya menginginkan sebuah one night stand seperti yang sudah-sudah.
Jatuh cinta? Anggap saja begitu. Sebab waktu itu, dia masih belum berani memberi nama pada perasaannya tersebut. Yang jelas, semakin lama, perasaannya itu semakin berkembang pesat dan Juan tahu dia harus mulai mengambil langkah mendekat.
Tentu saja, langkah yang dia ambil tidak semudah itu untuk direalisasikan. Reputasi dirinya dan teman Pain Killer yang terkenal sebagai anak nakal membuatnya acap kali merasa minder, apalagi saat dia tahu seperti apa sosok perempuan yang hendak dia dekati.
Selama berbulan-bulan, dia hanya berani mengagumi Zahira dari kejauhan, mendoakan hal-hal baik untuk perempuan itu.
Sampai suatu hari, bencana yang menimpa pertemanannya dengan Pain Killer sehingga ia harus terpisah dengan Fabian dan Baskara membuatnya sadar bahwa segala kemungkinan bisa terjadi. Maka daripada menyesal kalau-kalau Zahira tiba-tiba tidak bisa lagi dia lihat dalam jarak pandangnya, Juan memberanikan diri mengambil langkah besar. Sebuah langkah besar yang kini membuatnya berada di sisi perempuan itu, sebagai seseorang yang dicintai dan juga mencintai.
Juan tahu perjuangannya belum selesai. Masih ada banyak hal yang harus dia tempuh untuk memperjuangkan hubungan mereka. Tapi tidak apa, selama Zahira masih mencintai dirinya, dia akan terus berusaha.
Entah bagaimana pun akhirnya. Entah apakah dia yang berakhir bersanding dengan Zahira, ataukah dia justru harus merelakan cinta pertamanya itu berakhir di pelaminan dengan orang lain dan ia datang sebagai tamu undangan.
Takdir itu rahasia Tuhan, maka biarkan Juan berjalan sesuai dengan kata hatinya, sampai nanti waktunya Tuhan menunjukkan seperti apa takdir yang sudah Dia siapkan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Neli Susanti
kok g enak ya namanya ada ''casanova' -nya
🙏🙏✌️✌️
2024-11-26
0
R A
planning kita belum tentu Tuhan acc
jadi memang nurut aja sama Tuhan langkahnya kmn, itu sudah terbaik 🥰
2023-11-11
2
Zenun
Juan mau jagain sendal Zahira aja
2023-06-04
3