Pukul 12 malam, Juan menemukan Reno kembali ke ruangan dengan penampilan yang tidak keruan. Kemeja berwarna salem yang lelaki itu kenakan tampak kusut, tiga kancing teratas terbuka sehingga memperlihatkan baju dalaman berwarna putih, two toned hair-nya acak-acakan, sementara bau apak asap rokok menguar begitu kentara dari tubuhnya.
Dengan keadaan sekacau itu, mereka tidak bisa langsung pulang. Maka Juan berinisiatif mengulurkan minuman, menyuruh sepupunya itu untuk terlebih dulu membasuh mulutnya yang baru rokok dengan menggunakan air mineral yang dia berikan.
Si lelaki menurut saja. Dengan gerakan super pelan seperti manusia yang sudah tidak memiliki daya apa pun, Reno duduk di sofa bersamanya, menenggak air mineral pemberiannya bagai telah kehausan setelah sekian lama.
Tak ada komentar yang Juan keluarkan, dia hanya dengan sabar menunggu sampai Reno selesai minum.
“Ju,” cicit Reno setelah meletakkan botol air mineral ke atas meja kaca di depan mereka. Lelaki itu kemudian menoleh, membuat Juan bisa melihat betapa sudah tidak adanya binar yang terpancar dari netra sepupunya itu. “Apa gue culik aja ya si Clarissa, terus gue hamilin, biar dia nggak ada alasan buat nggak nerima gue lagi?”
Mendengar usulan gila itu, Juan praktis melotot. Cinta sih cinta, tapi ya jangan sampai bertindak gila! “Astagfirullah, Reno, istighfar lo!” serunya. Dengan entengnya, dia menggebuk bahu Reno hingga membuat si lelaki mungil sempoyongan.
“Astaghfi—eh! Kita kristen!” Reno refleks menghentikan ucapannya. Hampir saja dia menuruti keinginan Juan untuk beristighfar. “Ini nih efek pacaran sama Zahira, jadi campur aduk kan bahasa lo. Yang bentar-bentar nyebut nama Bapa lah, bentar-bentar istighfar. Tuhan juga bingung, Ju, liat kelakuan lo.” Ia lanjut mengomel.
Disinggung soal Zahira membuat Juan mendengus kesal. Ini juga bukan yang pertama dari Reno. Lelaki itu sudah sering membahas soal Zahira juga, bahkan mengusulkan dirinya untuk pindah agama saja supaya tidak perlu pusing memikirkan soal kisah cinta beda agama.
Juan yang dasarnya tidak alim-alim amat sempat tergoda, tapi kemudian dia sadar bahwa berpindah agama tidak semudah kelihatannya. Lawannya adalah seluruh anggota keluarga! Kalau nekat, mungkin dia akan berakhir dikebiri bahkan sebelum sempat mengucapkan kalimat syahadat.
Lama tak terdengar suara dari keduanya, yang muncul pertama kali malah dengusan keras dari Reno. Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok dari dalam saku celana, hendak menyalakannya.
“Jangan ngerokok di ruangan.” Cegah Juan. Bungkus rokok dia rebut, lalu dia letakkan dengan gerakan sedikit kasar ke atas meja kaca. “Lagian lo udah ngerokok banyak sampai badan lo bau tembakau. Lo tahu? Lo kayak habis mandi air rendaman tembakau.”
Reno mencebik, tatapannya jatuh pada bungkus rokok miliknya yang disita. Ingin protes, namun tenaganya seakan sudah habis tak bersisa. Tadi saat Juan menggebuknya cukup keras juga dia tidak membalas, kan? Itu karena ia sudah tidak memiliki energi untuk menciptakan baku hantam.
Sementara Reno terdiam meratapi rokoknya, Juan berinisiatif bangkit lebih dulu. Untuk bisa ikut terbang ke Singapura besok subuh, mereka harus segera pulang agar bisa tidur dengan baik. Toh tidak ada untungnya juga berdiam diri meratapi nasib percintaan mereka yang sama-sama rumit.
Juan berjalan menuju meja kerja Reno, berbaik hati mengambilkan kunci mobil, dompet dan ponsel milik lelaki itu yang memang sengaja ditinggalkan di sana selagi sang empunya keluar merokok. Tak sengaja, Juan melihat ada banyak sekali panggilan tak terjawab yang datang dari Mami ketika layar ponsel Reno menyala, seketika membuatnya meringis.
“Ren,” panggilnya pelan. Langkah kakinya otomatis terhenti di dekat meja kaca, di mana Reno masih menekuri rokoknya.
Yang dipanggil mengangkat kepala, tidak menyangka bahwa apa yang akan Juan katakan selanjutnya berhasil membuatnya terkena serangan jantung ringan.
“35 missed call dari Mami. Kayaknya, malam ini juga, kita bakal mati.”
...----------------...
Mati. Satu kata yang menyeramkan, setidaknya untuk sebagian orang. Kalau untuk Juan sih, kata itu nggak ada seram-seramnya sama sekali. Mati sudah seperti kata kunci, yang akan dia dan teman Pain Killer-nya ucapkan setiap kali hidup terasa amat bajingan untuk dijalani.
Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, Juan takut ia benar-benar akan mati.
Kedatangannya dan Reno yang terlambat disambut tatapan tajam oleh Mami. Wanita itu berdiri di ambang pintu utama, berkacak pinggang dan matanya terus bergerak naik turun memindai penampilannya dan Reno secara bergantian.
Di rumah besar ini, Mami berada di tahta paling tinggi. Wanita itu ditakuti oleh semua anggota keluarga, kecuali suaminya yang doyan selingkuh itu.
Alasannya jelas karena Mami terlalu bar-bar. Adegan di mana wanita itu menenggelamkan wajah seorang wanita simpanan ke dalam panci berisi air mendidih bukanlah satu-satunya yang menyeramkan. Belum lama ini, mungkin sekitar 3 bulan yang lalu, seorang perempuan muda datang ke rumah besar dengan kondisi wajah yang babak belur—nyaris hancur. Perempuan itu menuntut ganti rugi, sebab katanya Mami sudah membuat wajahnya menjadi seperti itu.
Usut punya usut, ternyata si perempuan muda itu adalah simpanan baru ayahnya Reno, dan luka yang diderita di wajahnya adalah akibat kebar-baran Mami yang tanpa belas kasih memukuli wajah perempuan itu menggunakan benda apa saja yang dia temukan saat memergoki suaminya sedang bercumbu dengan si perempuan.
Ujung-ujungnya, mereka harus mengeluarkan uang, tapi Mami sama sekali tidak keberatan karena uang di dalam rekeningnya tidak akan habis hanya karena harus mengganti rugi.
“Kenapa baru pulang?” tanya wanita itu.
“Lembur.” Reno yang menjawab singkat, tapi Juan yang menggigit bibir karena ngeri. Bisa-bisanya bocah itu menjawab demikian pada ibunya yang psikopat gila.
“Kalian tahu, kan, kalau besok subuh kita harus terbang ke Singapura?”
“Tahu.” Lagi-lagi, Reno menjawab singkat. Seakan tidak peduli kalau malam ini ia akan menjadi korban selanjutnya dari sang ibu.
“Tadi ada problem sedikit di kantor, Mi, makanya telat.” Sebelum suasana semakin mencekam, Juan buka suara. “Maaf, ya, Mi.” Sambungnya seraya menunjukkan puppy eyes berharap Mami mau berbaik hati untuk melepaskan mereka kali ini.
Mami menatap Juan cukup lama, lantas menghela napas sebelum menggeser posisi tubuhnya. “Masuk. Naik ke kamar, terus langsung tidur.” Titah wanita beraura dominan itu.
Juan mengangguk patuh, berbeda dengan Reno yang malah tidak bereaksi apa-apa, seakan tuli.
Melihat itu, Juan kesal. Dengan menyingkirkan rasa kemanusiaan, dia menyeret lengan Reno, mengerahkan seluruh tenaga yang dia miliki untuk membawa lelaki itu masuk ke dalam rumah sebelum Mami betulan berubah menjadi psikopat.
“Lepas-“
“Diam dulu, diam. Nanti aja gelutnya di kamar. Emang lo nggak lihat itu Mami udah mulai berubah dari psikopat, hah? Lo mau kita berdua mati malam ini? Iya? Nggak mau berjuang lagi lo buat Clarissa?” cerocosnya dengan suara super pelan.
Satu lagi kata kunci khusus untuk menenangkan Reno adalah Clarissa. Terbukti, bocah tengik itu langsung terdiam dan menurut setelah nama itu dia sebut.
“Ju,”
“Apa?!”
“Gue kayaknya beneran mau nyulik si Clarissa deh.”
“Nggak usah gila.”
“Udah terlanjur gila.”
“Ist—nyebut lo, ingat Tuhan!”
“Tapi nggak apa-apa kali Ju kalau bikin anak dulu, kan ujungnya tetap gue nikahin si Clarissa.”
“Nanti anak lo jadi anak haram, mau lo?”
“Ish! Terus gue harus gimana?”
“Tahajud sana, minta petunjuk sama Tuhan.”
“Si bangsat!”
Dan begitu terus. Mereka masih saling meledek soal nasib percintaan mereka yang miris bahkan sampai keduanya tiba di lantai 2 dan bersiap masuk ke dalam kamar.
Mereka tidak tahu saja, kalau percakapan absurd itu semuanya didengar oleh Mami, yang diam-diam membuntuti untuk memastikan sepasang sepupu itu betulan masuk ke dalam kamar dan tidur.
“Ha... dasar anak muda.”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Raudatul zahra
resiko punya pacar sholehah yaa gini🤣🤣
2023-11-20
1
R A
astagfirullah 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
nggak ada bedanya mereka
2023-11-02
2
Zenun
ide bagus, tapi bukan ide yang baik
2023-06-03
3