“Mas nggak masuk?”
“Oh, kebetulan saya non muslim, cuma lagi nunggu teman yang lagi sholat. Nggak apa-apa kan ya kalau saya nunggu di sini?”
“Oh, ya nggak apa-apa, Mas. Maaf ya, saya kirain masnya ini muslim.”
Zahira menghentikan langkahnya di ambang pintu mushola saat rungunya menangkap percakapan antara Juan dengan seorang remaja laki-laki kisaran usia 15 tahun yang baru saja melepaskan alas kaki untuk naik ke atas mushola.
Ada nyeri yang terasa di hatinya, sebab ini bukan yang pertama. Saat Juan menunggui dirinya selesai sholat, lelaki itu sering kali menerima kalimat serupa. Ajakan untuk masuk yang berujung dia harus menjelaskan bahwa tempat ibadahnya bukanlah di sana. Yang lebih parah lagi, ketika orang-orang melihat dirinya keluar dari dalam mushola dan menghampiri Juan, mereka akan mulai menatap skeptis, mendadak berlagak jadi hakim dalam sebuah persidangan yang serius.
“Oh, kamu udah selesai?”
Zahira memaksakan senyum kala Juan menoleh ke arahnya dan menyunggingkan senyum cerah seakan hatinya baik-baik saja. Padahal Zahira tahu, lelaki itu sedang menahan nyeri yang sama sakitnya dengan dirinya.
“Yuk,” ajak Zahira setelah dia selesai mengenakan alas kaki. Biasanya, Juan akan jadi orang pertama yang berinisiatif menggandeng tangannya, tapi sore itu, Zahira lah yang melakukannya. “Kita langsung balik ke cafe nyusulin Reno sama Clarissa, atau mau jalan-jalan dulu di pinggir danau?”
“Jalan-jalan.” Juan menjawab tanpa ragu. Genggaman tangan Zahira yang terasa hangat membuat senyumnya tak habis-habis. “Aku mau ngabisin waktu selama mungkin sama kamu hari ini, Za. Soalnya nggak tahu kapan kamu bisa ada waktu luang lagi.”
Zahira mengangguk. Mendekati masa-masa akhir koas, dia malah semakin sibuk. Bukan sekali dua kali dia tidak pulang ke rumah dalam kurun waktu beberapa hari. Sudah sering. Dua bulan terakhir ini saja, dia sudah 6 kali pulang ke rumah dalam 3 hari sekali.
“Kamu berapa lama lagi sih koasnya?”
“Kurang lebih 5 bulan.”
“Habis selesai koas, kita nikah yuk.”
Refleks, Zahira menghentikan langkahnya. Ia menatap Juan yang tampak tersenyum, jenis senyum tidak tulus yang disunggingkan untuk menutupi kesedihan.
Sadar bahwa celetukannya telah membuat Zahira tidak nyaman, Juan pun terkekeh sebagai upaya untuk mencairkan suasana. Sekaligus sebagai upaya untuk menghibur dirinya sendiri atas satu kalimat panjang yang terpatri di kepala. Begini bunyinya: “Menikah beda agama? Bagaimana bisa?”
“Bercanda, Za, jangan tegang gitu ah mukanya.” Juan meledakkan tawa pura-pura. Tangan Zahira di genggamannya dia remas-remas pelan. Itu adalah kebiasaan yang selalu dia lakukan saat gugup menyerang. “Kamu kan masih mau ambil spesialis anak ya, Za. Biar apa deh? Oh, iya, biar bisa nyembuhin anak-anak yang sakit, ya, biar mereka bisa main lagi.” Sesungguhnya, cengiran di akhir kalimat itu tidak berpengaruh apa-apa untuk Zahira. Yang ada, perempuan itu malah semakin merasa sedih karena ia bisa melihat kekecewaan dari sorot mata Juan saat ini.
“Ju,” Zahira melirih.
“Ambil spesialis berapa lama deh? 2 tahun? 3 tahun? Nggak apa-apa, aku tunggu kok, Za.”
“Ju, please.”
“Aku tunggu.” Final Juan. Entah apa pula yang dia tunggu. Kesiapan Zahira untuk meninggalkan Tuhannya, atau keajaiban di mana dia bisa mendapat izin untuk menyembah Tuhan yang sama dengan perempuan itu. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sedang ditunggu Juan, selain dia dan Tuhan (entah Tuhan mana yang dia maksud).
Zahira membisu. Dia tidak tahu harus memberikan respons seperti apa kepada Juan. Terlalu bingung, kepalanya terlalu penuh.
Lalu tiba-tiba, Juan menariknya, membawanya kembali melanjutkan langkah. “Kamu mau hadiah apa dari aku kalau berhasil selesai koas nanti?” tanya Juan dengan tatapan yang terarah pada sepasang kekasih (atau mungkin suami istri) yang berjalan seraya bergandengan tangan seperti dirinya dan Zahira. Bedanya, mereka tampak bahagia. Tidak terlihat sedang memikul beban berat seperti ia dan kekasih tercintanya itu.
“Tas? Ah, tapi kamu nggak suka koleksi tas mahal kayak orang-orang sih.” Juan menoleh, masih berusaha menyunggingkan senyum. “Apa dong? Sepeda aja gimana? Kamu kan suka olahraga, nanti kita sepedaan tiap akhir minggu. Gimana?”
“Ju,”
“Hmmm? Any better idea?”
Lagi-lagi, Zahira menghentikan langkah. Kali ini dia membawa Juan untuk menghadap dia sepenuhnya. Dia tantang manik lelaki itu untuk beradu, cukup lama, sampai lidahnya pulih dari kekeluan dan ia bisa kembali bersuara. “Aku cuma mau kamu tetap sehat dan bahagia, itu udah cukup. Nggak butuh tas mahal, sepeda, atau apa pun itu, Ju. Nggak butuh.”
“I will, asal kamu selalu ada di samping aku.”
Sayangnya, tidak ada yang bisa menjamin hal itu. Mereka hanya manusia, sedangkan hidup mereka sudah diatur sedemikian rupa oleh sang pencipta. Apa pun yang terjadi di kemudian hari masih menjadi misteri. Dan, bukankah mereka harus siap menerima segala sesuatu yang Tuhan telah tentukan?
Maka alih-alih mengiyakan, Zahira malah menuntun Juan untuk kembali menjejak langkah mereka yang terputus.
Sang surya yang semula bertahta begitu tinggi kini sudah mulai melunak, bersedia menggeser posisinya sedikit demi sedikit ke sisi barat, memberikan ruang bagi hamparan langit sore dengan warna-warna hangat untuk bertahta menggantikan eksistensinya.
Langkah yang Zahira dan Juan ambil cenderung lambat, tidak terkesan buru-buru karena memang mereka inginnya begitu. Mereka ingin menikmati setiap langkah yang mereka ambil, merekamnya dengan baik di dalam kepala agar tetap abadi sampai kapan pun juga.
“Tapi, Ju, soal Reno dan Clarissa...” Zahira memberikan jeda, sekadar berpikir apakah ia boleh turut ikut campur dalam urusan percintaan dua insan manusia tersebut. “Mereka beneran masih mungkin nggak, sih? Maksud aku, kalau chance-nya emang masih ada, kayaknya aku mau bantu deh biar mereka bisa sama-sama lagi. Soalnya aku juga geregetan ngeliat mereka yang sama-sama nggak mau melangkah maju.”
Kala mengatakan itu, Zahira terlihat begitu ekspresif. Dari situ Juan tahu, perempuan itu sudah kembali ke mood semula, sudah tidak terpengaruh oleh percakapan mereka yang sebelumnya. Atau mungkin, perempuan itu hanya sedang mencoba untuk terlihat baik-baik saja.
Juan menarik tangan Zahira sehingga tubuh mereka semakin dekat. Tangan yang masih dia genggam itu lantas disimpan di samping tubuhnya, tak dibiarkan melonggar sama sekali. “Emangnya, kamu bisa bantu apa?”
“Ya apa, kek. Masa nggak ada satu pun yang bisa aku lakuin, nggak mungkin deh.”
Juan terkekeh kecil. Kalau sudah masuk ke dalam mode penuh tekad begini, Zahira semakin terlihat lucu. “Di mata aku, yang namanya chance itu selalu ada. Kita semua berhak mencoba untuk tahu apakah itu works atau enggak. Tapi dalam kasusnya Reno dan Clarissa, yang bisa bantu hubungan mereka ke arah yang lebih baik ya cuma mereka sendiri. Karena percuma juga kita pontang-panting nyari cara buat bantuin mereka kalau merekanya sendiri masih ragu.”
“Terus gimana?”
“Ya kita kawal aja sampai nanti ending-nya gimana. Kita kasih mereka fasilitas buat ketemu dan ngobrol, selebihnya biar mereka sendiri yang atur baiknya gimana.”
Sore itu, mereka berdua menghabiskan lebih banyak obrolan tentang hubungan Reno dan Clarissa. Seolah-olah hubungan mereka sendiri baik-baik saja. Seolah-olah mereka tidak sedang mengkhawatirkan nasib hubungan mereka ke depannya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
R A
bentengnya tinggi banget mereka 🫠🫠🫠🫠🫠
2023-11-16
1
Zenun
berdo'a aj untuk kebaikan mereka
2023-06-04
3
Zenun
ayoook
2023-06-04
2