Bab 4 Membicarakan Nayla

Selesai menelepon sang adik, Ardan kini menghampiri Wina sang Ibunda yang terbaring lemah di atas kasur, terlihat para menantu dan juga anak-anaknya telah berkumpul. 

"Bagaimana Ardan, apa adik kamu mendengarkan perkataanmu?" tanya sang Ibunda yang memegang dadanya sendiri, terlihat ia terus mengeluarkan suara batuknya. 

Ardan memperlihatkan raut wajah saya dihadapan sang ibunda, " Akbar tetap saja keras kepala,  bu. Dia tak mau mendengarkan nasehatku, ya berkata bahwa istrinya lebih baik daripada ibu."

Mendengar hal itu, membuat Wina sakit hati, iya menitihkan air mata di hadapan para menantu, " semenjak Akbar menikah dengan wanita miskin itu, dia menjadi lancang terhadap ibu. "

Budiarto yang mendengar keluhan sang istri hanya bisa menggelengkan kepala, lalu menimpal." Bu, jika sifat Ibu tidak egois kemungkinan besar Akbar tidak akan mengatakan hal yang malah menyakiti hati ibu. " 

Kata kata sang suami membuat hati Wina malah semakin kesal, " Bapak ini gimana sih dari dulu bapak itu selalu saja menyalahkan ibu, jelas-jelas Ibu ini mengatakan hal seperti ini karena memang pada kenyataannya.  Nayla itu wanita jahat yang mampu merusak hubungan ibu dan Akbar. "

Tetap saja berulang kali Budiarto menasehati sang istri, Wina tetap saja mengelak, merasa paling benar. 

"Bu, bu, kalau sudah benci dan memandang status pasti ibu selalu mencari cari kesalahan orang itu, sudah untung anak kita itu tidak mati, selamat karena istrinya sendiri."

"Alah, itu hanya keberuntungan saja bagi si Nayla, bisa mendapatkan hati Akbar karena sudah menolong suaminya sendiri, kalau saja Nayla tidak menyelamatkan Akbar kemungkinan besar Akbar juga tidak akan. Seperti sekarang membela si Nayla yang buruk rupa itu terus menerus."

"Sudahlah terserah ibu. Sekarang bapak mau pergi mengurus surat surat, pembagian harta warisan. "

Mendengar perkataan sang ayah, membuat kedua anak anaknya mendekat pada sang ibunda. 

"Bu, ibu dengarkan tadi bapak bilang apa. Dia mau mengurus surat surat pembagian hak waris. " ucap Ardan begitu antusias, ingin mendapatkan pembagian warisan yang lebih besar. 

Afdal sang adik, ikut serta bicara setelah membahas tentang hak waris. Dan pembagian warisan dari sang ayah. 

"Iya bu, tadi bapak ingin mengurus surat pembagian warisan untuk kita." Timpal Afdal, terlihat raut wajah licik diperlihatkan oleh anak kedua Budiarto. 

Sedangkan Lisa dan Aisyah hanya menjadi pendengar yang baik. 

Wanita tua itu mengerutkan dahi dengan menjawab perkataan anak anaknya, " Ya memangnya kenapa, itukan hak waris untuk kalian, ibu tidak akan ikut campur. "

Afdal terlihat begitu bersemangat dalam merayu sang ibunda. " Bu, walaupun ibu tidak punya hak atas warisan yang akan dibagikan bapak. Tapi ibu juga masih punya hak untuk mengeluarkan suara untuk membela kami berdua yang sayang sama ibu. "

Afdal mendekat, memijat kaki sang ibunda. " Benar apa yang dikatakan Kak Ardan bu. "

Mengerutkan dahi, wanita tua itu tak mengerti dengan perkataan kedua anak anaknya, dengan hak bicara. " Maksud kalian ini gimana?"

Ardan dan Afdal berusaha tetap sabar menghadapi sang ibunda yang memang tak paham dengan perkataan mereka. 

"Bu, Ardan dan Afdal berharap jika hak warisan itu jatuh saja kepada kita berdua, karena ibu tahu sendirikan kalau Akbar mendapatkan hak warisan itu, pasti Nayla akan menjajah ibu, merasa dirinya hebat dan sudah mengalahkan ibu. "

Perkataan Ardan membuat Wina terkompori, api yang tadinya mereda, tiba tiba saja menyala hebat. Mengepal kedua tangan, Wina termakan ucapan kedua anak anaknya. 

"Benar apa yang kalian katakan, sepertinya ibu harus membicarakan soal ini kepada ayah kalian. "

Mendengar jawaban sang ibunda membuat keduanya melirik satu sama lain, seperti berhasil meluluhkan hati sang ibunda. 

"Ibu sudah pahamkan sekarang, makannya Afdal dan Ardan bicara seperti ini, karena setelah ibu sakit pasti kita yang akan mengurus ibu sedangkan Akbar ibu tahu sendirikan lebih memilih istrinya daripada ibu sendiri. Jangan sampai nanti di hari tua ibu yang sakit sakitan ini malah mendapatkan perlakuan tidak baik dari Nayla. Berbanding jauh dengan Aisya dan Lisa yang lebih perhatian pada ibu" 

Semakin mulut mereka mengeluarkan suara, semakin Wina membenci Nayla istri Akbar. 

Wina kini menatap ke arah Aisyah dan Lisa, tersenyum dan memperlihatkan kasih sayang untuk kedua menantunya yang tajir dan pengertian, tidak seperti Nayla yang miskin dan malah menyusahkan anak bungsunya. 

Kedua anak anaknya yang sudah puas menghasut sang ibunda, membuat mereka kini berpamitan pulang. 

"Bu, kami pulang dulu ya. Ibu di rumah jaga kesehatan jangan cape cape, besok kami akan datang lagi membahas masalah tadi. "

Wina yang begitu mudah percaya dengan kedua anak anaknya kini tersenyum lebar dan menjawab, " baiklah, kalian hati hati ya. "

*******

Mereka berempat keluar rumah sembari tertawa puas, setelah berhasil membuat sang ibunda luluh. " Afdal, kamu lihatkan, Akbar sebentar lagi akan tersingkirkan dari hak waris di keluarga ini, dan kamu tahu sendiri kita akan menang banyak. "

"Benar kak, memangnya. kakak the best, siapa suruh si Akbar itu sombong, sudah tahu miskin belagu lagi. "

Mereka berempat menertawakan Akbar adik kandung mereka sendiri, dimana Aisya yang terlihat Alim dengan kerudung yang menutupi kepalanya kini berucap, "  Apalagi si buruk rupa itu, iw. Jijik."

Lisa dan Aisyah selalu terdepan ketika membicarakan Nayla yang selalu sok baik dan perhatian kepada ibu. Namun perhatian itu tak selalu di anggap sang ibu sama sekali.

"Benar, dia akan tetap jadi orang miskin dengan wajahnya buruk rupa itu, beruntung juga sih dia. Punya si Akbar yang masih setia walau wajahnya buruk rupa, " balas Lisa, membuat Aisyah tersenyum sinis.

"Berutung, hahhaha. Yang ada si Akbar bego, mau maunya sama cewek miskin dan jelek kaya si Nayla, buta apa dia, " ejek Aisyah, begitu pedas ketika menghina orang lain.

"Bukan buta lagi, tapi kelilip batu bara, " tawa semakin menjadi jadi dilayangkan Ardan.

Dimana sang kakak yang harusnya menjadi seorang penengah dalam keluarga, malah menjadi seorang musuh yang memecah satu keluarga hanya karena harta warisan.

Dan di posisi sekarang Akbar menjadi sosok orang yang teraniaya oleh kedua kakak - kakaknya yang serakah dan tamak akan harta.

"Mending batu bara, ini sama cewek yang nggak jelas wajahnya, kaya panci gosong, " Ketus Afdal.

Tawa kembali dilayangkan mereka berempat, sampai mereka tak menyadari jika, ada pasang mata dan pasang telinga yang tengah melihat kebahagian mereka berempat. 

"Jadi begitu. "

Memegang dada bidang, berusaha tetap tenang. kedua pasang mata itu tampak berkaca kaca, sampai menteskan air mata, perlahan demi perlahan mengenai kedua pipi.

"kalian benar benar keterlaluan, setelah ini akan ada akibat dari perkataan kalian semua. "

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!