Aurel terdiam dengan tatapan kosong di atas ranjangnya. Setelah mengakhiri panggilannya dan Alex, ia tidak tahu harus apa.
Orang tuanya tidak berhenti berdebat sejak tadi. Aurel hanya mendengarkan saja sangat lelah, bagaimana keduanya yang terus saling meneriaki?
Aurel menatap lengannya yang lebam karena ia sentuh sendiri. Hemofilia berat yang ia alami benar-benar mengganggunya. Bahkan sentuhan halus bisa meninggalkan memar di tubuhnya. Orang akan mengira Aurel mengalami kekerasan verbal. Padahal tidak ada yang melakukan kekerasan kepadanya, ini hanya karena hemofilia yang ia alami.
Gadis itu mulai merasakan sakit di sekujur badannya. Ia lelah, karena sejak tadi berkutat dengan desain gaun wisuda nya nanti. Sekalipun acara wisudanya masih lama, gadis itu ingin mempersiapkan gaunnya dari sekarang. Karena ia ingin gaunnya menjadi yang terbaik. Dan yang terjadi adalah Aurel kelelahan karena sibuk mendesain gaunnya.
Aurel merasakan rasa asin di mulutnya. Seingatnya ia tidak makan apapun sejak tadi, apakah ini … lagi? Aurel harap ini bukan darah.
Aurel mengambil cermin di nakas, saat cermin tersebut berada tepat di depan wajahnya, gadis itu mendesah kecil saat melihat darah yang keluar dari mulutnya. Ia rasa gusinya berdarah, lagi. Inilah yang selalu Aurel alami saat kelelahan.
Jika gusinya sudah berdarah, pasti tidak lama lagi akan disusul dengan mimisan. Ini juga salahnya karena memaksakan membuat gaun berjam-jam, padahal ia tahu hemofilia tidak bisa kelelahan. Hanya saja Aurel ingin seperti remaja-remaja lainnya yang bebas melakukan apa saja. Tapi nyatanya? Aurel justru harus membatasi kegiatannya agar tidak kelelahan. Karena jika ia kelelahan maka hemofilia nya akan kambuh.
Aurel lalu pergi ke kamar mandi dengan langkah gontai, gadis itu mendorong kursi meja riasnya dengan kaki ke kamar mandi. Karena ia tidak mungkin mengangkatnya jika tidak ingin pendarahannya semakin parah. Walaupun dengan mendorong menggunakan kaki, kakinya turut memar, setidaknya tidak ada darah yang keluar.
Setelah kursi tersebut berada tepat di depan wastafel, gadis itu duduk dan memuntahkan darah yang memenuhi mulutnya. Jika sudah seperti ini, gadis itu akan diam di kamar mandi untuk waktu yang cukup lama sampai darah itu berhenti keluar dari gusinya. Mungkin tidak akan terlalu lama jika hemofilianya belum mencapai status hemofilia berat.
“Sampai kapan aku akan seperti ini?" tanya Aurel sembari mendesah pelan. Gadis itu membuang tisu ke sekian yang penuh darah ke dalam tempat sampah.
Gusinya terus saja mengeluarkan darah, jika sudah begini haruskah ia bermalam di dalam toilet? Membayangkannya saja membuat Aurel geleng-geleng. Toilet akan sangat dingin di malam hari. Rasa dingin yang akan sangat menusuk ke dalam kulitnya.
Gadis itu berdecak, ketika rasa dingin mengalir di sekitar hidungnya. Haruskah keluar bersama-sama? Kenapa tidak menunggu yang satu selesai lebih dulu? Kenapa tidak keluar salah satu saja, atau bahkan tidak sama sekali? Benar-benar menyebalkan!
Aurel lalu meraih tisu toilet yang ada di sebelah kanannya. Dan langsung digunakan untuk menyumbat salah satu hidungnya yang mengeluarkan darah. Aurel harus melakukannya secara bergantian pada kedua hidungnya, karena ia perlu salah satunya tetap terbuka untuk bernafas.
Keadaannya benar-benar kacau, mulutnya dipenuhi darah karena gusinya yang berdarah. Sekarang justru bertambah dengan mimisan. Jangan lupakan rasa nyeri yang menguasai lututnya sejak ia menggambar desain gaunnya tadi. Lengkap sudah penderitaan Aurel.
Jika diperhatikan, antara lutut kanan dan kiri memiliki perbedaan ukuran. Lutut kiri jauh lebih besar, Aurel rasa itu bengkak lagi. Ia harus memakai kulot atau rok agar itu tidak menarik perhatian orang-orang saat Aurel keluar rumah nanti.
Ini semua memuakkan, Aurel benar-benar lelah. Ia sangat merasakan dampak hemofilia, itu mengganggu studinya. Aurel tidak boleh kelelahan, tidak boleh stres. Sementara kelelahan dan stres, adalah makanan sehari-hari seorang pelajar. Bukankah sangat tidak adil untuk Aurel?
Semua gejala yang ada sudah Aurel alami sejak enam tahun yang lalu didiagnosa dokter mengidap hemofilia berat karena faktor genetik. Orang tua Aurel, tepatnya sang Papa juga mengidap hemofilia. Hanya saja masih berstatus ringan.
Sebenarnya gadis itu sudah terbiasa, hanya saja ia masih sering kesal saat penyakitnya kambuh di saat yang kurang tepat seperti ini. Jika ini tidak terjadi Aurel pasti bisa menyelesaikan desain gaunnya.
Aurel berpikir, mungkin ini kambuh bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena sudah empat bulan terakhir tidak kontrol ke dokter. Seharusnya ia tidak nekat melewatkan jadwal kontrol, hanya karena malas atau kesibukannya.
Rasanya Aurel ingin berteriak sekencang-kencangnya di situasi seperti ini. Baru saja ia merasa lega karena Alex mendengar keluh kesahnya, sekarang malah penyakitnya kambuh. Suasana hatinya benar-benar dibuat seperti roller coaster.
Rasa kesalnya semakin bertambah saat tisu toilet sudah habis digunakan untuk mengusap darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Ia tidak terbayang, sebanyak apa darahnya yang keluar. Bisa-bisa ia kekurangan atau bahkan kehabisan darah.
Mau tidak mau ia harus ke meja belajarnya untuk mengambil stok tisu. Aurel mendekati meja belajarnya dengan langkah agak diseret, karena kakinya yang bengkak. Ia lalu kembali ke kamar mandi bersama tiga pack tisu. Aurel rasa itu akan cukup.
Siapapun yang melihat kondisi Aurel saat ini pasti akan meringis karena miris. Matanya sebam karena menangis dalam waktu yang lama, belum lagi darah yang terus-menerus keluar dari gusi dan hidungnya. Jangan lupakan kakinya yang bengkak dengan warna yang mulai membiru. Kondisinya benar-benar memprihatinkan.
Akan tetapi orang tua nya bahkan tidak berniat melihat kondisi Aurel setelah bertengkar hebat tadi. Gadis itu selalu merasa sendirian. Hanya Alex yang mengerti dirinya.
Mamanya bahkan tidak pernah peduli dengan apa yang ia alami. papanya mungkin sudah lelah menghadapi tingkah mamanya, sehingga ia kurang bisa memperhatikan Aurel. Aurel mengerti perasaan papanya.
Setelah menghabiskan total tiga pack tisu, akhirnya pendarahan di hidung dan gusinya mulai reda. Walaupun masih keluar, tapi tidak sebanyak tadi. Itu cukup melegakan Aurel.
Tempat sampah di kamar mandi sudah penuh dengan tisu berwarna merah karena darah. Aurel tidak peduli, dan sama sekali tidak memikirkannya. Ia bisa membuangnya nanti, saat ini yang terpenting adalah pendarahannya berhenti dulu. Karena ini benar-benar mengganggunya.
Setelah hampir dua jam berada di kamar mandi akhirnya pendarahannya berhenti. Punggung Aurel sudah tidak terasa seperti punggung, benar-benar kaku. Bagaimana tidak? Ia duduk terus menerus dalam waktu lama.
Setelah membasuh hidung dan berkumur-kumur, Aurel lalu kembali ke kamarnya. Aurel berjalan dengan tertatih karena kakinya yang bengkak.
Gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Akhirnya, perlahan tapi pasti gadis itu menutup matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments