Aurel tidak memiliki pilihan lain selain diam, sekalipun ia benar-benar tertekan dengan pertengkaran orang tuanya yang tidak ada habis-habisnya.
Ia benci dengan orang tuanya yang selalu bertengkar tanpa henti. Kadang ia merasa iri kepada anak-anak dengan keluarga harmonis. Ia iri dengan anak-anak yang mendapatkan cinta dan perhatian penuh dari ibu mereka.
Hal sekecil dibuatkan bekal oleh mamanya adalah impian Aurel sejak dulu. Tapi nyatanya ia bahkan tidak pernah melihat mamanya pergi ke dapur. Sejak kecil ia sama sekali tidak tahu rasa masakan sang mama.
Di tengah-tengah pikiran-pikiran yang memenuhi otaknya, suara benda yang pecah menyadarkan Aurel.
“Lama-lama aku muak dengan tingkahmu! Suami macam apa yang tidak mendukung karir istrinya?” teriak Carramel tepat di depan wajah Mario.
“Harusnya saat kau menikah kau siap dengan konsekuensinya Carramel. Bukankah kewajiban seorang wanita yang sudah menikah adalah mengurus anak, suami dan rumah?” tukas Mario.
“Kau bahkan hanya menjadikan rumah sebagai tempat tidur. Kau akan pergi dari pagi hingga larut malam. Alasanmu selalu sama, karir-karir dan karir!” Mario benar-benar muak.
“Apakah setelah menikah kehidupanku hanya berputar di atas kepalamu dan Aurel?!” tanya Carramel dengan nada tinggi.
“Lagi pula, tahu apa kau tentang karir hah?!”
“Aku tidak tahu dan tidak pernah ingin tahu tentang karir yang kau pikirkan, yang terpenting adalah aku memenuhi kewajibanku menjadi suami dan ayah yang baik. Tidak sepertimu!”
Prang!
Suara pecahan kaca terdengar nyaring di penjuru rumah. Carramel lalu mengatakan, “Kau lihat vas itu? Itu seperti kepercayaanku yang sudah kau hancurkan, tidak akan utuh kembali.”
“Kepercayaan mana yang kau bicarakan Carramel? Kepercayaan mana?!”
“Kepercayaanku tentangmu yang akan mendukung karirku yang kubangun dengan susah payah!” Papar Carramel dengan emosi yang sudah memenuhi dirinya.
“Gelas itu sama dengan kepercayaanku pula Carramel. Kepercayaan yang sudah kau hancurkan! Mana janjimu untuk membagi waktu antara karir dan rumah tangga? Seharusnya kau menikahi karirmu dan bukan aku!”
“Jika bisa memilih aku tidak akan pernah menikahi pria sepertimu! Kau hanya bisa menuntut dan menuntunku setiap harinya!” teriak Carramel dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Melihat Carramel yang mulai berkaca-kaca, Mario jadi serba salah sendiri.
“Arghhhh!!!” teriak Mario frustrasi.
Mario membanting benda-benda di sekitarnya. Sementara Carramel hanya berdiam di tempatnya, menahan air mata yang sudah siap meluncur bebas.
Sementara di dalam kamar Aurel menutup telinganya dengan kedua tangan. Matanya terpejam meringkuk di atas ranjangnya. Ia sangat membenci pertengkaran orang tuanya yang tidak ada habisnya.
Gadis itu menangis tanpa suara saat suara-suara benda yang melayang bersatu dengan teriakan orang tuanya. Ia benar-benar lelah dengan suasana ini. Aurel membencinya!
Kenapa mamanya seegois itu. Bukankah Aurel juga perlu cintanya? Aurel juga ingin diperhatikan seperti layaknya anak-anak pada umumnya.
Ia selalu mendambakan saat-saat Carramel memperhatikannya, dan mengurusnya seperti ibu pada umumnya.
Satu-satunya yang terlintas di pikiran Aurel saat ini hanya Alex. Satu-satunya teman yang selalu ada untuknya. Tidak ada yang bisa mengerti dirinya seperti Alex.
Aurel turun dari ranjang, mencari-cari di mana ia membuang ponselnya tadi. Saat menemukan ponselnya di kolong tempat tidur, Aurel segera mencari nomor Alex.
Setelah menekan tombol telepon, Aurel menunggu Alex menjawab panggilannya. Panggilan pertamanya tak terjawab, ia masih terus mencoba.
“Mangkinkah Alex sibuk?” gumam Aurel bertanya-tanya.
Aurel hampir saja melempar ponselnya lagi karena terkejut saat mendengar suara itu. Ia meletakan ponselnya di atas ranjang, dengan tubuh bergetar Aurel kembali meringkuk di atas ranjang.
Tubuhnya hampir tertutup sempurna oleh selimut. Makian, teriakan dan bunyi pecahan barang memenuhi telinga Aurel. Gadis itu benar-benar ketakutan.
“Alex, Aurel takut.” Aurel bergumam dengan nada bergetar.
Kapan situasi seperti ini akan selesai? Haruskah Aurel merasakannya setiap hari? Ini benar-benar memuakkan.
“Ingatlah usiamu Carramel! Kau tidak lagi muda! Seharusnya kau mulai fokus mengurus aku dan Aurel!” sergah Mario.
“Memangnya usiaku setua apa? Guru bahkan pensiun di usia enam puluh tahun. Usiaku bahkan belum lima puluh tahun!” balas Carramel.
“Aku tidak akan pernah mempermasalahkan usia pensiun kamu, jika kau tetap mengurusku dan Aurel. Kenapa kau begitu tergila-gila dengan karir? Bukan hanya kau yang membangun karir dengan susah payah. Tapi mereka bisa mengatur kapan waktunya berkarir dan mengurus rumah tangga!”
“Aku memang posesif itu dengan semua pencapaianku. Apa salahnya tergila-gila dengan buah dari usahaku selama ini?”
“Kenapa kau tidak mengerti juga Carramel? Aku hanya ingin kau mengurusku dan Aurel seperti istri dan ibu pada umumnya!” sentak Mario dengan kesal. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana untuk menghadapi Carramel.
“Tidakkah kau pikirkan perasaan Aurel? Dia pasti sangat ingin mendapat kasih sayangmu!”
“Aku melahirkannya! Apa itu tidak cukup? Aku mengorbankan tubuh ideal aku untuk membuatnya ada di dunia! Apakah itu masih kurang?!”
“Bahkan hewan sangat mencintai anak mereka, Car. Ibu macam apa kau ini, bukan berarti setelah melahirkannya tugasmu selesai!”
“Memiliki anak bukan hanya tentang mengandung sembilan bulan lalu melahirkan! Memiliki anak itu juga tentang bagaimana kita memperhatikan dan mencurahkan perhatian serta kasih sayang penuh.”
“Kau bahkan tidak pernah ada di setiap pencapaian Aurel karena sibuk dengan karir mu itu!”
“Aurel, Aurel dan Aurel! Kenapa tidak sekalipun kau memikirkan perasaanku Mario?! Aku juga ingin dimengerti!”
“Aku sudah cukup mengerti dirimu belasan tahun terakhir!”
“Mengerti aku? Dengan cara mengajakku bertengkar setiap hari?”
“Harus berapa kali kukatakan! Kita tidak perlu bertengkar seperti ini, jika kau bisa membagi waktumu!”
“Aku menikahimu karena ingin ada yang mengurusku. Jika seperti ini, sama saja dengan bohong! Aku menikahimu! Bukan karir!”
“Bukankah kau sudah melihat cara Bibi June bekerja. Apakah kau ingin kukku aku rusak?”
Aurel terus meringkuk dan menutup telinganya rapat-rapat, hingga nada dering ponselnya. membuat gadis itu segera bangkit dan meraih ponselnya tersebut.
“Alex, Aku takut,” ujar Aurel dengan nada bergetar. Suaranya serak karena menangis sedari tadi, sekarang ia benar-benar takut. Alex sudah mengetahui semua masalah yang dialaminya. Oleh karena itu, Aurel berani bercerita kepada Alex.
“Mereka bertengkar lagi?” tanya Alex.
“Mereka bahkan saling melempar kaca, Lex. Aku takut!”
“Haruskah aku menjemputmu sekarang? Kita bisa pergi untuk menenangkan pikiranmu,” tawar Alex.
“Itu tidak mungkin, di saat-saat sepertinya ini Papaku bisa membunuhmu jika kau datang.” balas Aurel, mana mungkin Alex akan datang di saat posisinya sedang gawat seperti ini? Bukannya bisa membuang segala masalah, malah akan menambahkan masalah yang baru.
“Tidak ada yang bisa kulakukan selain menjadi pendengar yang baik. Aku akan mendengarkan semua keluh kesahmu, Rel.”
Aurel menceritakan semua keluh kesahnya pada Alex yang setia mendengarkan segalanya. Setidaknya dengan bercerita dengan Alex, hati Aurel sudah lega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments