Sebelum fajar menyingsing, Odin telah bangun dan memutuskan melanjutkan perjalanan. Dia tidak tahu hambatan apa yang akan ditemui dan akan sampai di mana langkah kaki berlangsung. Berharap ada kebaikan untuk bayi tak berdosa ini.
Odin sekali lagi menatap dalam melihat wajah tak berdosa yang masih terlelap. Tak habis pikir siapa orang yang begitu tega membuang bayi tak bersalah. Odin menarik napas dalam-dalam. Hatinya terasa sesak. Dia mengambil botol minum berisikan air putih. Odin meneguk sedikit dan memasukkan kembali ke tas lusuhnya.
Perlahan dan penuh hati-hati, Odin mengangkat ke dalam pelukan. Dia memeluk bayi itu dalam cuaca masih dingin. Bayi kuat itu tak menangis dan masih terlelap. Dia hanya menggeliat kecil ketika Odin mengangkat ke dalam dekapannya.
Odin berjalan perlahan menyusuri jalanan sepi. Dia telah melewati jalanan yang tak ada perkampungan. Hanya semak dan pepohonan. Bayi mungil itu masih terlelap.
Odin telah memasuki sebuah desa. Dia melihat desa ini jauh berbeda dengan desanya. Rumah-rumah di sini tidak lagi beratap dedaunan.
Odin membuka selimut bayi ketika melihat bayi tersebut bergerak gelisah. Keringat muncul di kening bayi tersebut. Cuaca memang mulai sedikit panas.
Setelah bertanya sana-sini Odin menuju rumah yang ditunjukkan warga untuk menerima anak tersebut. Ternyata ada di desa tersebut sebuah keluarga yang telah lama ingin mengadopsi seorang bayi.
Betapa gembira hati Odin mendengar perkataan seorang warga desa tersebut. Odin merasa tenang meninggalkan bayi tersebut pada orang yang menginginkannya dan bisa kembali ke desanya. Odin gelisah memikirkan sang ibu yang sendirian. Selama ini Odin belum pernah meninggalkan ibunya.
Setelah mengetuk pintu, Odin dipersilahkan masuk. Odin menjelaskan dengan cepat dari dia mulai menemukan bayi tersebut hingga tetua desanya yang tak bisa menerima.
"Ohh begitu. Bisa saya melihat bayinya?" tanya wanita separuh baya tersebut mengulurkan tangan hendak menyambut bayi tersebut.
Odin dengan hati-hati menyerahkan bayi tersebut ke dalam pangkuan wanita tersebut. Wanita itu bersama suaminya membuka kain bedong sang bayi. Suasana panas dalam kain bedong di tambah terkena angin semilir membuat kulit bayi tersebut merespon. Bayi itu kembali menggeliat dan membuka mata. Bertepatan pandangan wanita dan lelaki itu.
Wanita dan lelaki itu terpana melihat bola mata sang bayi yang berkedip-kedip tanpa menangis. Odin sedikit gelisah melihat tatapan mata wanita dan lelaki tersebut. Odin takut bayi itu ditolak kembali.
"Ibu terkejut?" Pertanyaan Odin menyentak keterpanaan pasangan suami-istri tersebut. Mereka memandang Odin dan mengangguk terus-terang.
"Apakah Anda berdua berubah pikiran?" tanya Odin lebih lanjut dan perasaan was-was semakin kuat dirasakannya. Harapan Odin kian terasa pupus melihat pasangan tersebut saling pandang.
"Bagaimana Bu?" Odin kembali bertanya dan menginginkan jawaban wanita itu.
"Ya kami akan merawat dan menyayangi sebagai anak kami."
Odin menarik napas lega. "Syukurlah kalau begitu Bu. Saya menginginkan ada yang mau menerimanya."
Wanita itu hanya tersenyum pada Odin. "Kamu cantik sekali," ujar wanita tersebut mencium dan mencolek-colek pipi dan hidung bayi. Bayi itu juga senang, dia tertawa-tawa. Jari-jari mungil bayi tersebut berusaha menggapai wajah wanita tersebut. Pasangan suami-istri itu tentunya sangat bahagia.
"Baiklah, kami akan merawatnya menjadi anak kami." Suami wanita tersebut mengucapkan seperti kalimat istrinya tadi. Dia sangat bahagia melihat istrinya begitu bahagia.
"Sekali lagi terima kasih." Odin mengutarakan rasa senangnya.
Tanpa berlama-lama, dia pamit untuk kembali ke desanya. "Kalau begitu saya permisi."
"Tunggu sebentar." Wanita itu menyerahkan bayi tersebut pada suaminya dan berlalu dari sana. Tak lama dia kembali dengan sebuah tentengan di tangan.
"Bawalah makanan dan minuman ini untuk bekal di jalan."
Odin menerima dan mengangguk mengganti kata terima kasih. Suami-istri mengantarkan Odin sampai ke pintu depan. Odin melihat sekali lagi pada bayi tersebut dan berharap kebahagiaan untuknya.
Bayi tersebut kembali menangis ketika Odin melangkah kaki menjauh dari rumah tersebut. Odin berhenti dan menarik napas dalam-dalam. Wanita tersebut mengangguk, mengatakan bahwa akan baik-baik saja.
Setelah punggung Odin tidak lagi terlihat, wanita itu masuk dan suaminya menutup pintu dan menguncinya. Mereka berusaha mendiamkan tangis bayi tersebut dan berhasil.
Mereka membagi tugas, ketika istri memandikan bayi tersebut, sang suami pergi ke sebuah toko kecil membeli perlengkapan bayi.
Bayi itu diperkirakan berusia sebulan. Mereka menamai sang bayi dengan nama Meimei. Kini rumah mereka tidak terasa sunyi lagi. Pasangan yang telah berusia 48 tahunan itu masih terlihat berenergi melakukan aktivitas apapun.
Mereka telah menikah selama dua puluh lima tahun dan baru tergerak hatinya untuk mengangkat anak setelah berusia 45 tahun. Sayangnya mereka belum mendapatkan hingga bayi bermata kuning tembaga itu hadir.
"Bukankah dia terlihat cantik sekali?" tanya istrinya setelah bayi itu bersih. Kulitnya terlihat lebih segar dan mata indahnya mulai bergerak mengikuti arah tangan sang ibu angkatnya.
"Iya, dia tidak terlihat seperti warga di daerah sini. Siapa yang begitu tega membuang dia ke hutan," ujar sang suami.
"Siapapun itu, kita berterima kasih saja padanya. Dengan cara ini kita bisa memiliki seorang anak seperti keinginan kita." Sang istri menjawab dengan terdengar penuh egois. Sang suami hanya menggeleng dan tersenyum hangat.
Suami-istri itu juga bukan orang berada di desa tersebut. Mereka juga dari keluarga sederhana. Mereka mengandalkan hasil kebun untuk kehidupan sehari-hari. Tentunya mereka telah mempunyai persiapan untuk mengadopsi seorang anak.
Mereka memenuhi kebutuhan bayi tersebut dalam kesederhanaan. Bayi tersebut membawa keberuntungan untuk keluarga barunya.
Awal-awal hadirnya bayi tersebut di rumah pasangan suami-istri tersebut. Tetangga yang mengetahui datang silih berganti untuk melihat rupa anak angkat mereka. Tentunya ingin melihat bola mata bayi tersebut yang mulai didengar warga.
Kedatangan mereka tidak hanya tangan kosong. Mereka membawa buah tangan untuk keperluan bayi tersebut. Pasangan suami-istri tersebut terkenal ramah dan baik di lingkungan sekitar.
Suatu malam, "Pak, napasku sesak." Ibu angkat bayi tersebut mengeluh pada suaminya.
Suaminya lalu mengurut dan memberikan obat pada istrinya. Ini ketiga kalinya istrinya mengeluh sesak napas.
Jalan hidup bayi kecil itu masih harus diuji nasib. Sedang bahagia-bahagianya dia di sayang orang tua angkatnya, ibu angkatnya meninggal pagi harinya.
Tangisan bayi itu menjadi bumerang bagi ayah angkatnya yang sedang bersedih. Kematian mendadak istrinya dianggap kesialan bagi ayah angkatnya. Ayah angkatnya melemparkan kesalahan pada bayi yang tak tahu apa-apa.
Ayahnya tidak memperdulikan tangisan bayi berusia 9 bulan tersebut. Seorang tetangga merasa iba meminta agar bayi tersebut dititipkan di panti asuhan di sebuah pinggiran kota. Ayah angkatnya menyetujui.
Tanpa banyak membuang waktu, esok hari sang ayah angkat mengantarkan bayi tersebut tanpa perasaan bersalah. Lupa sudah kasih sayang selama beberapa bulan ini. Rasa sedih dan benci mengakar di hati dan pikiran.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments