Allegra

"Di mana?" tanya lelaki yang membawa Meimei pulang melalui sambungan telepon.

"Ada apa tiba-tiba kau ingin tahu aktivitasku?" Wanita di seberang telepon menjawab dengan sinis.

"Kau jangan besar kepala. Aku meminta kau mencari beberapa baju anak perempuan berusia 10 tahun." Lelaki itu salah memperkirakan usia Meimei melihat postur tubuh Meimei yang memang lebih besar dari anak seusianya.

"Jika aku menolak?" tanya wanita itu menantang.

Lelaki itu mendengus dan berkata, "Kau sangat tahu konsekuensinya. Terserah kau!" Tanpa menunggu jawaban, lelaki tersebut memutuskan sambungan telepon.

Lelaki tersebut kembali menelepon seseorang dan berkata kesal. Dia masih teringat permasalahan sebelum bertemu Meimei di pinggir jalan.

Dia masih enggan kembali ke kamar. Dia duduk di sofa panjang di ruang tamu rumahnya. Lelaki tersebut sangat yakin tak lama lagi wanita yang berstatus istrinya itu akan kembali.

Seperti perkiraan dirinya, tak lama terdengar deru mesin mobil memasuki pekarangan. Tanpa basa nasi wanita tersebut mendorong pintu mewah rumahnya. Seperti gaya peragawati dia melenggang menuju arah lelaki tersebut duduk.

"Ke mana kamu?" tanya lelaki tersebut tidak sabaran.

"Jangan banyak tanya, aku telah membelikan sesuai pesananmu." Wanita tinggi langsing itu meletakkan dua kantong paper bag berisi baju berukuran untuk Meimei.

Lelaki yang diketahui bernama Hansen tersebut tidak puas melihat sikap istrinya yang semakin berani kepadanya. Dia mengabaikan untuk saat ini dan memanggil pelayan serta memberikan paper bag berisi pakaian untuk Meimei.

"Pakaikan dan bawa dia ke sini." Hansen masih menunggu di ruang tamu dari tadi.

"Anak siapa kau bawa pulang? Apa anak selingkuhan?" tuduh istrinya sengit tanpa alasan jelas.

"Aku bukan dirimu! Juga ingat jangan lupa jaga sikapmu."

"Apa maksudmu?" Yiran terlihat tidak senang.

"Kau tahu pasti maksudku," ujar Hansen sinis.

Mereka tak sempat berdebat lebih lanjut. Pelayan telah kembali dengan Meimei. Bajunya sedikit kebesaran di tubuhnya. Hansen tersenyum melihat Meimei terlihat lebih lucu memakai baju longgar.

Yiran justru terlihat terkejut melihat Meimei, terutama bola mata Meimei. "Mengapa matanya mirip seseorang?" batinnya.

Matanya menatap tajam bola mata Meimei. Intuisi anak itu merasa tak nyaman melihat tatapan wanita cantik di langsing dihadapannya. Spontan dia memilih mundur dan bersembunyi di belakang tubuh pelayan.

"Ayo ke sini anak cantik." Hansen memanggil sambil melambaikan tangan. Panggilan Hansen mengejutkan Yiran.

Meimei menatap Hansen dan Yiran bergantian. Hansen melihat reaksi berbeda dari Meimei ketika ada Yiran. Pandangan gadis itu terlihat gelisah. Tidak ada bahasa tubuh senang seperti tadi.

"Ayo ke sini," sapa Hansen kembali. Hansen menepuk pahanya. Pelayan mendorong pelan tubuh Meimei agar mengikuti permintaan tuannya.

Meimei ragu-ragu menuju ke arah Hansen. Ketika berpapasan dengan Yiran, dia menundukkan tatapannya. Dia perlahan menuju ke arah Hansen dan duduk tertunduk di samping Hansen. Hansen menarik dan mendudukkan dipangkuan berhadapan dengannya.

"Kau takut?" tanya Hansen. Meimei hanya mengangguk.

Lalu kembali Hansen bertanya, "Pada siapa?" Meimei tidak menjawab dan masih memilih menundukkan pandangan.

"Kau takut padaku?" Hansen memegang kedua bahu Meimei. Meimei menggeleng. Hansen tersenyum. Dia sudah memperkirakan siapa yang membuat gadis kecil itu takut.

"Apa kau tidak menyukai gadis kecil ini?" tanya Hansen pada Yiran dengan tatapan sinis.

"Warna bola matanya tajam penuh misteri." Yiran sebagian beralasan.

Perkataan Yiran membuat Hansen tertawa sinis. "Alasan. Kau tidak pernah menyukai anak-anak."

"Aku bukan tidak menyukai. Hanya belum siap." Yiran beralasan.

"Kini kau siap tidak siap harus mau merawat gadis kecil ini untukku. Aku menyukai dirinya."

Yiran tak bisa membantah. Dia sangat tahu konsekuensinya jika tidak menuruti permintaan Hansen. Bisa-bisa Yiran keluar dari rumahnya sendiri.

"Baik. Aku akan merawatnya. Jelaskan padanya, jangan takut padaku."

Hansen mengangguk menyetujui. Dia memberikan penjelasan pada Meimei agar tidak takut pada Yiran. Meimei menoleh Yiran. Yiran menyunggingkan senyum. Meimei tidak membalas senyuman Yiran.

"Baiklah, sekarang kamu ikut bersama Wenyue." Meimei mengangguk patuh.

Wenyue adalah salah satu pelayan di rumah Hansen. Usianya tidak muda lagi. Namun Wenyue sangat cekatan dan penuh energi. Hansen termasuk keluarga berada, dia mempunyai beberapa pelayan untuk tugas berbeda.

Meimei telah berlalu bersama Wenyue. Yiran lalu bertanya, "Anak siapa?"

Hansen enggan untuk berkata sebenarnya. Hansen mengatakan, "Dia anak teman lamaku. Ayahnya meminta aku menjaganya jika sesuatu terjadi padanya."

"Apa yang terjadi dan ke mana ibunya?"

"Ayahnya terkena kanker dan sekarang dirawat keluar negeri. Ibunya telah meninggal ketika melahirkan dirinya." Hansen mengarang kebohongan.

Yiran masih setengah percaya, tetapi dia enggan untuk berdebat dengan Hansen. Dia akan berusaha mencari tahu perlahan identitas gadis bermata aneh tersebut. Itulah pemikiran Yiran tentang mata Meimei.

"Siapa nama gadis itu?" tanya Yiran. Hansen menyadari dia lupa menanyakan namanya. Hansen tidak mungkin berkata tidak tahu. Tentunya itu akan menimbulkan kecurigaan bagi Yiran.

"ALLEGRA," katanya menyebutkan sebuah nama. Yiran mengangkat alis seakan tak peduli. Hansen menyebutkan salah satu nama relasi bisnis dari Italia.

Ketika Yiran pergi ke kamarnya yang berada di lantai atas, Hansen pergi mencari gadis kecil tersebut. Dia menemukan gadis itu sedang berada di kamarnya dengan duduk termangu di pinggir jendela.

"Hai cantik, mengapa termenung?" Hansen menyusul mendekati Meimei. Meimei tak mendengar Hansen ketika membuka pintu. Meimei menoleh dan memberi senyum manisnya.

Hansen menarik gadis itu ke ranjang dan mendudukkan Meimei ke tepi ranjang. Hansen ikut duduk di samping Meimei. Dia bertanya, "Siapa namamu?"

"Meimei."

"Ohh ... mulai sekarang namamu paman ganti. Namamu Allegra. Kamu setuju?" Meimei lagi-lagi tak banyak membantah atau sekedar bertanya. Dia mengangguk setuju.

"Bibi tadi tahu namaku, Paman."

Hansen mengerti siapa yang dimaksud Meimei. "Ok, nanti paman akan memberi tahu siapa namamu sekarang. Ingat namamu Allegra. Terutama ketika istri paman bertanya."

"Iya Paman."

"Jika kamu salah menyebutkan, jangan salahkan paman jika dia meminta mengembalikan kamu ke jalanan." Meskipun suara Hansen terdengar lembut, nada mengancam secara halus dilakukan Hansen.

"Aku mengerti Paman."

"Baiklah, paman akan ke istirahat. Kamu tidak boleh nakal. Paham?" Hansen mengacak lembut pucuk kepala Meimei.

"Iya." Meimei menjawab singkat.

"Ohh ya, kamu belum menjawab pertanyaan paman. Kamu tadi mengapa melamun?"

"Aku takut dipulangkan ke panti Paman." Gadis itu dengan lugas menyampaikan ketakutannya.

Hansen jelas terkejut mendengar pernyataan gadis kecil itu. Dia melirik ke pintu mencari tahu bahwa tidak ada orang di dekat pintu. Mendapatkan kenyataan baru, Hansen melangkah ke depan pintu dan menutup.

Dia kembali mendekati Meimei. "Kamu benar dari Panti? Meimei mengangguk tanpa ragu.

"Panti di dekat sini?" tanya Hansen memastikan. Meimei menggeleng. Dia menunjuk jauh keluar jendela.

Hansen tak perlu bertanya panti di mana. Dia akan mencari tahu nanti. Dia bisa memprediksi berapa jauh panti yang di maksud dari baju Meimei saat bertemu terlihat kotor dan lusuh.

Dia hanya ingin tahu apa yang terjadi sehingga gadis kecil itu berjalan di pinggir jalan raya.

"Kamu melarikan diri?" Meimei diam. Dia tidak paham apa itu melarikan diri.

Hansen cukup tanggap jika Meimei tidak mengerti. Dia kembali bertanya, "Kamu pergi dari panti?"

Meimei terlihat takut untuk mengatakan kebenarannya. Namun Hansen berhasil meyakinkan gadis kecil itu. "Jujurlah, paman tidak akan mengantarkan kamu pulang ke sana."

"Aku selalu dipukul dan didorong oleh teman sekamar Paman. Aku juga tidak di kasih makan selain nasi saja."

"Ok, paman mengerti. Apa kamu tahu nama pantinya? Paman janji tidak akan mengantarkan kamu pulang."

Meimei menggeleng, dia memang tidak mengetahui apa-apa. Selama dia mulai bisa mengurus dirinya sendiri, selama itu juga dia selalu dikurung di kamar dan di izinkan ke halaman belakang sesekali.

Ketika itulah dia belajar memanjat pohon tanpa ada yang menghiraukan dirinya. Awalnya dia tidak pandai memanjat. Meimei terus mencari cara ketika dia di izinkan ke halaman belakang. Hingga suatu hari dia mendapat cara untuk memanjat pohon tersebut.

Hansen tidak banyak bertanya, dia lalu meminta gadis itu untuk tenang dan tidak cerita apapun pada yang lain. "Jika ada yang bertanya, kamu katakan tidak tahu saja. Kamu paham?" Meimei mengangguk.

"Paman pergi. Kamu di sini saja, jika kamu ingin sesuatu, carilah bibi yang memandikan kamu."

Hansen melangkah pergi ketika Meimei mengangguk. Dia menutup pintu kamar lalu mencari Wenyue.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!