"Ayo! Malah bengong!" seru Nadia.
Surya memang masih bengong melihat penampilan Nadia yang cute abis. Tidak seperti biasanya yang selalu tampil seadanya.
"Jangan liatin terus! Entar naksir, lho." Nadia mendorong lagi tubuh Surya agar ia bisa lewat.
Hhmm....Surya mencium aroma wangi parfum Nadia yang sangat disukainya dari dulu, sambil memejamkan matanya.
Nadia menoleh dan merasa heran dengan yang dilakukan Surya.
"Sur! Malah tidur di situ!" Suara Nadia reflek membuat Surya membuka matanya lagi.
Lalu sambil nyengir, Surya melangkah mengikuti Nadia. Mereka turun ke lantai bawah bersamaan.
Susi menatap mereka yang jalan beriringan. Sangat serasi. Andai saja mereka berjodoh, aku tak akan keberatan. Toh, Surya bebet bibit bobotnya jelas. Batin Susi.
Karena mereka bertetangga, Susi mengenal keluarga orang tua Surya. Mulai dari Rahma, mamanya Surya, Toni papanya Surya, sampai Sinta adik Surya satu-satunya.
Mereka bukan dari keluarga biasa. Meski tak sekaya keluarga Nadia, tapi mereka keturunan darah biru.
Rahma memiliki darah kraton. Dan Toni blasteran Indonesia dan Belanda. Jadilah Surya yang punya perawakan tinggi besar, berkulit putih bersih.
Beda dengan Nadia yang menuruni dirinya, berkulit sawo matang. Suaminya, Haris pun berkulit sama dengannya.
"Mama ngapain ngeliatin begitu?" tanya Nadia yang sudah sampai di bawah.
"Mama enggak ngeliatin kamu, kok. Ge er aja!" sahut Susi.
"Terus ngeliatin siapa dong?" Nadia kepo.
"Mama ngeliatin Surya yang makin ganteng." Susi sengaja memuji Surya biar Nadia sadar kalau ada makhluk ganteng di sebelahnya.
Sementara Surya tersipu malu. Untuk kedua kalinya Susi memuji Surya dengan terus terang.
"Iih, Mama genit. Nadia bilangin papa, lho," ucap Nadia. Yang dibalas dengan tawa renyah Susi.
Mana ada suaminya cemburu kalau dia memuji Surya. Bahkan Haris sendiri yang berniat menjodohkan mereka. Alasannya karena melihat kecocokan mereka selama ini, dan biar Nadia ada yang menjaga.
Mereka merasa lebih tenang kalau Surya yang menjaga Nadia. Terbukti selama ini, Nadia tak pernah bertingkah aneh-aneh seperti layaknya remaja yang menjelang dewasa.
Surya duduk di sebelah Nadia. Tangannya dia buka lebar-lebar, dan Nadia nyaris bersandar di bahunya.
Lalu tangan Surya memainkan rambut Nadia yang terurai sebahu. Nadia diam saja, tak merasa terganggu.
"Papamu kok belum sampai juga, ya?" Susi sudah berkali-kali menghubungi suaminya. Tapi tak diangkat.
"Lagi di jalan kali, Ma," sahut Nadia. Dia pun mengambil hapenya dan berusaha menghubungi papanya.
"Iya, enggak diangkat," ucap Nadia.
"Sabar dulu. Siapa tau jalannya macet." Surya ikut menimpali, agar dua wanita beda generasi itu anteng.
Tak lama, ponsel Susi berdering. Haris menelponnya. Dia mengabarkan kalau jalanan menuju ke rumah mereka sangat macet. Tapi yang arah sebaliknya, lancar.
Haris meminta mereka langsung ke lokasi saja, dan bertemu di sana biar tidak kemalaman.
"Gimana, Ma?" tanya Nadia.
"Kita langsung ke sana. Papamu juga langsung ke sana. Jalanannya macet katanya," jawab Susi.
"Terus kita naik apa?" Nadia pikir mamanya akan menyuruh mereka naik motor. Jelas Nadia bakal menolak. Karena dia memakai rok pendek.
"Cari taksi online aja. Nanti pulangnya kita naik mobil papamu," jawab Susi.
"Naik mobil Surya aja, Tante. Nanti pulangnya Nadia bareng Surya, Tante bareng om," usul Surya.
"Enggak ngerepotin?" Sekalipun mereka dekat, tapi Susi merasa tak enak hati.
"Enggaklah, Tante. Surya pulang dulu, ya. Ambil mobilnya."
Susi dan Nadia mengangguk. Surya pun segera pulang dengan motornya. Dia mengambil mobilnya yang jarang sekali dipakai.
Bagi Surya, lebih enak naik motor. Selain lebih cepat, punggungnya juga bisa merasakan tubuh Nadia kalau memboncengnya.
Tak butuh waktu lama, buat Surya mengambil mobilnya. Karena rumahnya hanya di blok sebelah saja.
Sebuah mobil keluaran terbaru, hadiah ulang tahun dari opanya yang tinggal di Belanda.
Surya mempersilakan Susi dan Nadia naik ke mobilnya.
"Kamu depan, Nad. Nemenin Surya. Mama di belakang aja," ucap Susi. Lalu membuka pintu belakang.
Tanpa ragu-ragu, Nadia masuk ke mobil. Dia beberapa kali menaikinya. Biasanya kalau hujan, Surya akan membawa mobil untuk mengantar jemput Nadia.
"Kita langsung ke sana kan, Tante?" tanya Surya yang sudah siap di belakang kemudi.
"Iya. Langsung aja," jawab Susi.
"Mama sama papa kamu belum pulang, Sur?" tanya Susi. Dia tahu informasi itu dari Nadia, kemarin.
"Belum, Tan. Mungkin besok sore. Tante mau dibawakan oleh-oleh? Biar nanti Surya bilang ke mama."
"Enggak, ah. Nanti malah ngerepotin," sahut Susi.
"Enggak apa-apa, Tan. Kemarin mama nanya Surya minta dibawain apa. Surya malah bingung. Kalau Tante kepingin sesuatu, biar Surya bilangin." Surya tetap memaksa.
Dan Susi tetap menolak. Bagaimana pun, dia tak mau dianggap memanfaatkan kedekatan anaknya dengan Surya.
"Ya udah, kalau Tante enggak mau. Kamu mau dibawain apa, Nad?" Giliran Nadia yang menolak.
Dia dididik orang tuanya agar tak suka merepotkan orang lain. Meskipun pada teman dekatnya.
"Enggak. Yang penting keluargamu kembali dengan selamat aja," sahut Nadia dengan bijak.
Entah makhluk mana yang menghinggapinya, tiba-tiba aja muncul kalimat seperti itu di kepalanya.
"Hhmm." Surya memonyongkan mulutnya. Dia tahu persis watak Nadia. Meski bibirnya bilang enggak, tapi hatinya kepingin. Cuma enggan bilang, karena dia tak terbiasa minta pada orang lain.
Tak terasa perjalanan mereka sampai di lokasi. Sebuah restauran yang cukup mewah dengan tampilan klasik.
"Wow, Nadia suka sekali, Ma," ucap Nadia tersenyum senang.
Seorang pramusaji menyambut mereka. Dan melihat Nadia yang sedang mengagumi interior restauran.
"Kalau mau selfi, silakan di bagian rooftop. Ada taman kecil di sana," ucapnya dengan ramah.
Tentu saja Nadia sangat senang. Dan tanpa basa basi, Nadia menarik tangan Surya. Dia ingin jadi orang pertama diantara teman-teman kampusnya yang berfoto di tempat mewah ini.
"Eh, Mama jangan ditinggal. Mama juga mau foto di sana. Mbak, kita carikan meja di sana saja," ucap Susi. Dia tak mau kalah dengan anaknya.
Di dunianya pun, masih berlaku narsis-narsisan. Apalagi Susi yang terkenal sebagai wanita sosialita. Tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan.
Akhirnya mereka bertiga menuju ke rooftop, dipandu oleh pramusaji. Tak lupa, Susi menghubungi Haris, biar kalau sudah sampai langsung ke lantai atas.
Dan benar saja, pemandangan di atas sangat luar biasa. Lampu-lampu menyala menghiasi sebuah taman kecil yang asri.
Ditambah pemandangan kota dari kejauhan dengan aneka lampu. Dan hilir mudik kendaraan di bawah sana.
"Sini aku fotoin." Surya meraih ponsel Nadia.
Setelah beberapa kali jepretan, Surya meminta foto berdua dengan Nadia. Nadia pun tak menolaknya. Mereka berselfi dengan posisi bersebelahan.
Hingga tiba-tiba, Surya merangkul pinggang Nadia. Dan menjepret kameranya.
Posisinya persis seperti saat Dewa berselfi dengannya di atas bukit kecil itu. Sejenak pikiran Nadia melayang pada sosok yang sangat dirindukannya.
Dan sekali lagi, Surya mendekatkan wajahnya ke wajah Nadia. Hingga pipi mereka saling menempel.
Ada getaran di hati Nadia. Tapi bukan pada Surya, melainkan rasa rindu yang semakin membuncah, hingga membuat hatinya bergetar.
Susi pun, diam-diam mengabadikan momen keromantisan Nadia dengan Surya. Dan mengunggahnya di laman medsosnya, dengan caption pasangan romantis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments