Surya ikut berlari mengikuti Nadia. Khawatir Nadia akan terperosok kalau berdiri terlalu ke tepi tebing. Sungai itu berada jauh di bawah tebing.
"Lihat apa lagi, Nad? Kita pulang aja yuk," ajak Surya.
"Aku ingin memastikan perahu kertasku enggak terhempas, Sur," sahut Nadia. Matanya tak lepas dari aliran air sungai yang jauh di bawah sana.
"Jangan gila kamu, Nad. Perahumu kecil, mana bisa terlihat dari sini," ucap Surya. Ingin rasanya dia menyeret Nadia untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Itu dia, Sur! Lihat! Aku menandainya dengan gambar hati berwarna merah! Kamu bisa lihat, kan?" Nadia menunjuk pada sebuah benda kecil yang mengapung dan hanyut mengikuti aliran sungai.
Surya ikut menatapnya dengan jengah. Nadia bagai anak kecil yang menemukan mainannya kembali. Dia sangat kegirangan.
"Iya, Nad. Aku lihat. Tapi ini udah sore. Mendung juga," sahut Surya.
"Mendung tak berarti hujan, kan? Buktinya dari tadi mendung, enggak ujan juga." Sepertinya Nadia masih betah menatap ke arah aliran sungai.
"Kalau hujan akan repot, Nad. Di sini hanya ada gubug itu buat berteduh. Kamu siap kehujanan?"
"Kenapa enggak? Lagian aku udah lama enggak main ujan-ujanan. Kalau kamu enggak mau nemenin aku, pulang dulu aja, Sur." Nadia malah mengusir Surya.
"Gila kamu! Bahaya anak gadis sendirian di tempat sepi kayak gini." Akhirnya Surya mengalah. Dia tetap berdiri di sebelah Nadia. Berjaga-jaga jangan sampai Nadia nekat turun kembali ke bawah.
"Tuh, udah jauh. Apa kamu mau terus mengikutinya?" Surya menunjuk perahu Nadia yang semakin jauh dari pandangan.
Tanpa menjawab, Nadia berjalan kembali ke gubug kecil itu. Surya gregetan melihat Nadia malah duduk di sana. Bukannya naik ke jok motornya dan bersiap pulang.
"Kamu enggak akan nginap di gubug ini, kan?" tanya Surya.
Nadia malah kembali merebahkan diri. Surya menatapnya dengan kesal.
Andai saja bisa, ingin rasanya Surya menggendong tubuh kurus Nadia dan membawanya pulang.
Tapi Surya tak pernah punya keberanian apapun. Surya melangkah dan berdiri tepat di depan tubuh Nadia.
Dia tatap wanita yang selama hampir enam tahun menjadi sahabatnya itu dengan intens. Mata Nadia terpejam, seakan sedang menikmati suasana yang terlihat romantis kalau orang lain melihat kebersamaan mereka.
Walaupun kenyataannya, mereka sibuk dengan perasaan masing-masing.
Surya memalingkan mukanya saat merasa wajah dan tubuh Nadia begitu menggodanya. Meski wajah itu biasa-biasa saja. Tanpa sedikitpun polesan make up. Dan tubuh itu pun terlihat kerempeng.
Surya duduk di sebelah Nadia. Dia biarkan saja Nadia terlarut pada angannya. Surya hanya bisa menemani seperti biasanya.
"Sur..." panggil Nadia.
"Hhmm..." Surya tak menoleh sedikitpun.
"Aku kangen," ucap Nadia.
"Hhmm." Terus terang hati Surya sangat sakit mendengarnya. Nadia kangen pada sosok yang telah lama menghilang.
Sebagai sahabat, Surya juga merasa kangen pada Dewa. Orang yang paling dekat dengannya selain Nadia.
Tapi semua itu dia pupus, melihat kenyataan bahwa Dewa menghilang dan tak ada kabarnya sama sekali.
Nadia bangkit dan duduk di sebelah Surya. Sementara Surya menatap jauh ke depan.
"Surya Pradana...!" Nadia malah berteriak. Dia kesal karena Surya hanya menjawab dengan hhmm saja.
"Iya, Nadia Sofia. Enggak usah teriak. Aku enggak budeg," sahut Surya kesal. Karena Nadia berteriak tepat di telinganya.
"Lagian, malah melamun." Nadia langsung cemberut.
"Siapa yang melamun? Kamu yang dari tadi berkhayal terus. Enggak capek apa, mengharapkan orang yang udah ilang ditelan bumi?" sahut Surya.
"Jangan ngomong begitu dong, Sur. Bagaimana pun Dewa kan sahabat kamu juga." Nadia tak suka kalau Dewa dianggap hilang. Karena Nadia yakin, suatu saat nanti Dewa akan kembali.
"Justru karena dia sahabatku. Udah, ah. Ayo pulang. Udah sore." Surya berdiri. Tapi Nadia tak juga beranjak dari duduknya.
Surya mengulurkan tangannya. Berharap Nadia menyambut dan mau pulang bersamanya.
"Nad. Aku enggak perlu menyeretmu biar mau pulang, kan?" ucap Surya yang sudah makin kesal.
"Sejak kapan kamu berubah jadi pemaksa begitu?" Mata Nadia menatap tak suka pada sikap keras Surya barusan.
"Maafkan aku, Nad. Aku hanya tak ingin kita kemalaman di sini. Banyak nyamuk," ucap Surya.
Dulu aku yang jadi obat nyamuknya, Nad. Batin Surya.
"Sur. Boleh enggak aku minta sesuatu sama kamu?"
"Apa?" tanya Surya. Selama ini dia selalu menuruti apapun kemauan Nadia. Meski kadang suka protes duluan, tapi ujung-ujungnya mengikuti juga apa maunya Nadia.
"Aku ingin ke bukit di sana itu. Aku ingin melihat sunset. Dulu aku pernah ke sana. Indah banget," jawab Nadia.
"Pernah ke sana? Kapan? Sama siapa?" tanya Surya bertubi-tubi. Dia merasa selama bersahabat dengan Nadia, tak pernah sekalipun mereka ke sana.
Dan Surya hampir selalu ada dimanapun dan kemanapun Nadia pergi. Kecuali urusan keluarga. Itupun, kadang-kadang Surya diajak juga oleh mamanya Nadia.
Susi, mamanya Nadia, cukup dekat dengan Surya. Mungkin karena anaknya bersahabat dengannya cukup lama juga.
Nadia menepuk keningnya. Dia keceplosan. Mestinya dia tak perlu mengatakan hal yang dirahasiakannya dulu dengan Dewa.
Dulu, selepas mereka les pelajaran tambahan di sekolah, Dewa mengajak Nadia ke bukit kecil itu. Kebetulan Surya sudah pulang duluan karena ada saudaranya yang datang dari luar kota.
Sejak kelas satu, Surya sering mengajaknya ke bukit itu. Tapi Dewa selalu menolaknya dengan alasan kasihan Nadia. Karena jauh. Waktu itu, tak ada satu pun dari mereka memiliki kendaraan. Hingga untuk sampai di sana mesti jalan kaki, setelah turun dari angkot.
Kebetulan hari itu, Dewa dapat pinjaman motor dari bapaknya. Awalnya hanya ingin lebih cepat sampai saja dan pulangnya enggak kemalaman.
Karena diantara mereka, hanya Dewa yang rumahnya paling jauh. Kalau Nadia dan Surya masih satu komplek perumahan.
"Kita berdua aja? Nanti kalau Surya tau, kan enggak enak," ucap Nadia saat itu.
"Kita enggak usah bilang ke Surya. Gampang, kan?" sahut Dewa.
Dengan enggan, Nadia mengangguk. Bagaimanapun, Surya adalah sahabat mereka. Nadia merasa telah menikung kalau mereka pergi hanya berdua saja.
Karena cuaca saat itu sangat cerah, Nadia menurut. Dia membonceng Dewa sampai di bukit yang tak terlalu tinggi itu.
Di sana, mereka bisa menikmati udara sejuk sore hari juga sunset.
Nadia yang memiliki hape dengan kamera lebih bagus, berkali-kali mengambil gambar sunset. Bahkan selfie.
"Aku juga mau kita foto berdua kamu, Nad," ucap Dewa.
Tanpa curiga sedikitpun, Nadia berpose berdua Dewa. Awalnya hanya pose biasa. Tapi di jepretan berikutnya, Dewa memeluk pinggang Nadia. Dan posisi mereka sangat berdekatan.
Saat itulah, Nadia mulai merasakan ada getaran aneh dalam dadanya. Getaran yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Apalagi saat tak sengaja pipi mereka bertemu, wajah Nadia langsung merona.
Jantungnya berdegup sangat kencang. Ada apa dengan hatiku? Tanya Nadia pada dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments