Membelokkan Cita-cita Dinda

Ternyata mengajar Dinda tak semudah yang aku bayangkan. Ia benar-benar sulit memahami pelajaran meski aku sudah menjelaskan sampai tiga kali. Terpikir olehku untuk menyuruhnya ikut tes IQ agar tahu kemampuannya sebagai antisipasi kesia-siaan belaka. Namun aku berusaha menahan diri sebab itu sudah tergolong mengejeknya padahal aku anti dengan bullying.

"Din, sepertinya kamu nggak berbakat dalam pelajaran deh." Kataku, bicara apa adanya agar ia berpikir dan menemukan jalan keluar lainnya. Nggak ada gunanya juga memaksakan diri, bukannya bisa nanti khawatirnya malah jadi trauma. Bukankah semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing? Dinda mungkin kurang di pelajaran sekolah tapi unggul di bidang lain. Nah, apa bidangnya, itulah yang ingin aku cari tahu!

"Jadi kamu mau nyerah?" tanya Dinda.

"Ya enggak. cuma mau bilang, sebaiknya kamu mulai fokus ujian kelulusan sama persiapan kuliah. nah sepertinya kamu nggak akan cocok kuliah di kedokteran mengingat mata pelajaran biologi dan matematika saja kamu selalu langganan dapat nol. Mungkin kamu cocok dibidang lain, Din."

"Kok begitu, sih? Aku kan pengen jadi dokter."

"Kamu atau umi, kamu?"

Dinda diam.

"Din, aku paham kamu pengen membahagiakan orang tua kamu, apalagi umi kamu sedang sakit. Tapi kan kita juga harus berfikir rasional. Kalau kamu nggak menguasai bidang itu dan tetap memaksa masuk kedokteran, taruhlah kamu bisa masuk kampus swasta tapi kan tetap sama saja. Kamu akan menjalani setengah-setengah, padahal mata kuliah di bidang kedokteran itu enggak mudah lho. Jadi pikirkan lagi. Enggak selamanya uang bisa menyelamatkan." kataku. Mencoba membuka hati dan pikirannya tanpa maksud mengajarinya durhaka pada ibunya.

"Begitu ya Dihya. Sebenarnya aku sih ingin kuliah bidang agama. Aku ingin ke Madinah, Dihya. Tapi aku juga ingin mewujudkan mimpi Umi agar anaknya jadi dokter." curhat Dinda.

"Bagaimana kalau menantu dokter saja." kataku. "Kalau kamu nggak bisa jadi dokter, setidaknya kamu harus menikah dengan dokter. Nah kalau kamu sudah jadi istri dokter, maka nanti umi kamu akan punya menantu dokter. Anak sama menantu kan sama saja Din."

"Tapi emangnya ada dokter yang mau sama perempuan yang lemot seperti aku?"

"Itu akan jadi tanggung jawab aku. Jadi jangan khawatir oke!" aku mengacungkan ibu jari. Tenang saja Din, aku akan berusaha jadi dokter agar umi kamu bisa punya menantu Dokter!

Hari ini aku berhasil membelokkan cita-cita Dinda. Ia bersedia tak ikut tes kedokteran. ia mengikuti kata-kataku. Merelakan mimpi jadi dokter. Kini tugas kami mencari cita-cita Dinda. Ia mengatakan ingin kuliah di Madinah. Aku setuju. Ia akan lebih enjoy menjalankannya nantinya.

"Aku tahu kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi memang enggak mudah Din. Makanya kamu harus mewujudkan mimpimu bisa ke Madinah nantinya." kataku, menyemangati dirinya.

"Dihya, terima kasih banyak ya. Entah kenapa aku merasa sangat senang sekali sebab akhirnya ada yang paham dengan apa yang aku mau. Dari dulu aku enggak berani membantah perintah umi karena umi sudah bersusah payah menjaga kita.

Puas berbincang dengan Dinda, aku menuju kantin. Ternyata Jingga sudah menanti di luar, ia minta izin untuk ikut denganku. Namun tanpa ada persetujuan dengan sigap ia mengekor.

"Dihya, sebenarnya ada apa Antara kamu dan Dinda?" tanya Jingga yang sudah tak mampu menahan dirinya.

"Enggak ada apa-apa." aku menjawab singkat.

"Enggak ada apa-apa kenapa begitu dekat dengannya. Jawablah jujur!" pinta Jingga, kali ini dengan sangat memaksakan kehendak.

"Untuk apa kamu harus tahu hubunganku dengan Dinda?" aku balik bertanya. Tak suka dengan sikapnya yang terlalu kepo.

"Karena aku sayang sama kamu Dihya. Aku sudah suka sama kamu sejak masih kelas 1 tapi kamu enggak pernah merespon aku ataupun siswi lainnya yang mencoba mendekati kamu. Makanya aku sangat penasaran kenapa dengan Dinda yang notabene lemot tapi kamu sangat perhatian padanya. Ada apa, Dihya? Apa hebatnya dia? kalau alasan kamu karena dia jadi korban bullying, aku siap menggantikan posisinya. Tapi jelaskan dulu ada apa?"

"Dinda itu calon istriku!" kataku. Singkat, padat dan jelas.

"Hah, calon istri? Kamu bercanda Dihya?" Jingga melongo. Lalu tak lama ia tertawa. "Ini benar-benar lelucon yang sangat lucu. Ternyata kamu bisa juga bercanda."

"Ini bukan candaan tapi ini serius. Aku dan Dinda sudah dijodohkan oleh orang tua kami. Setelah lulus kuliah kami akan dinikahkan."

"Tapi kenapa? Dihya ... oh, kamu pasti menolak perjodohan itu, kan? Ini menggelikan sekali. Sebuah lelucon yang nggak bisa diterima akal sehat. Sudah tahun segini masih ada perjodohan dan usia kalian masih sangat dini lho!"

"Kamu menganggap orang tuaku dan orang tua Dinda adalah sebuah lelucon?"

"Oh, enggak begitu Dihya. Tapi ... aku ngerasa aneh sekali. Kenapa juga kamu harus dijodoh-jodohkan segala. Kamu itu tipe lelaki yang sempurna bagi banyak perempuan. Kamu pintar, tampan dan aku yakin kelak akan jadi lelaki mapan. Tapi kenapa dijodohkan dengan Dinda yang ....."

"Kamu mau mengejeknya juga seperti pemandu sorak itu?"

"Enggak, enggak begitu tapi ...."

"Sudah cukup. Aku mau ke kelas dan jangan ikuti aku!"

"Dihya ... tapi Tolong jawab satu pertanyaan lagi. Kamu menolak perjodohan itu, kan?"

"Memangnya ada alasan menolak Dinda?"

"Dihya?"

Aku tak peduli panggilan Jingga, terus berlalu menuju kelas membawa beberapa jajanan dan air mineral. Tentunya untuk Dinda. Ia memang tak keluar untuk istirahat karena aku memberinya beberapa soal untuk dikerjakan. Sebagai balasannya aku membelikannya jajanan.

***

Jingga benar-benar di luar batas. Ia datang ke rumah. Tentunya untuk menemui Umi, menyampaikan keberatannya atas perjodohan aku dan Dinda.

"Dihya ini apa?" tanya umi yang kebingungan.

"Ngapain sih kamu ke sini Ngga?" tanyaku, tak habis pikir. Kenapa juga ia harus ikut campur urusan pribadiku. Kalau ia beralasan suka, sudah ku tolak sejak awal. Lagipula sepintar dan secantik apapun ia kalau terlalu maju seperti ini juga membuatku semakin tak suka. "Sudah sana pulanglah!" kataku.

"Enggak sampai umi kamu membatalkan perjodohan itu. Tolonglah Umi." pintanya.

Aku benar-benar kesal, makanya kembali menegaskan pada Jingga kalau ia tak pulang maka selamanya tak akan pernah mau bicara bahkan mengenalnya lagi. Untungnya ancaman itu Mampan. Jingga langsung kabur, takut aku tak mau mengenalnya lagi.

"Ternyata anak umi banyak fasnya juga ya." kata Umi. Aku menatap bingung. "Hari ini ada yang datang ke kantor menemui umi dan menitipkan surat ini untuk umi. Kamu tahu apa isinya, ia ingin jadi menantu umi." kata umi, sambil memperlihatkan sebuah surat berwarna merah muda.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!