Curhatan Dinda

Seperti biasa, Dinda terlambat lagi. Tapi kali ini aku tak akan membiarkannya dibuly oleh teman-teman. Semua pasang mata saat aku tampil melindungi Dinda, menjadi tameng untuknya hingga akhirnya semua orang mundur teratur. Semua diam, tak berani merundung.

"Dihya enggak kenapa-napa, kan?" tanya Dinda.

"Apanya yang kenapa-napa?" Aku balik bertanya.

"Dari kemarin Dihya itu aneh. Aku jadi takut."

"Takut kenapa?"

"Takut kalau ...."

"Udah, jangan mikir macam-macam. Kamu ingat nggak apa komitmen aku saat terpilih jadi ketua OSIS tahun lalu? Salah satunya mencegah perundungan. Nah menurut aku, sikap teman-teman ke kamu itu sudah sangat keterlaluan. Makanya aku mau melindungi kwmu." Kataku. "Sekaligus karena kamu itu calon istrimu." Tentu saja kalimat di akhir itu kuucap dalam hati agar ia tak GR. Aku belum ingin membahas itu. Biar semua mengalir saja, setidaknya sampai kami lulus kuliah. "Oh ya, ngomong-ngomong soal terlambat. Kamu nggak punya cara supaya nggak terlambat lagi? Misalnya, ngurus uminya lebih pagi atau gantian sama yang kerja di rumah. Kamu bagian siang dia bagian pagi. Bagaimana?"

Dinda diam. Bukannya menjawab, ia malah menebak kalau aku diberitahu ibuku. "Ini pasti karena Tante Gina, ya?" tanyanya.

"Enggak juga. Ini murni dari diri aku sendiri."

"Oh begitu." ia tampak berpikir. "Sebenarnya bisa saja sih, malahan abi juga sudah menawarkan buat nggantiin aku tapi ... aku pengen berbakti sama Umi. Umiku sedang sakit, Dihya. Aku takut, takut kalau ...." ia tak dapat melanjutkan perkataannya. Namun aku tahu kemana arah pembicaraannya.

"Ya, aku ngerti Din. Tapi kan kamu juga punya tanggung jawab atas pendidikan kamu. Aku sudah ngecek, penilaian kamu atas keterlambatan sudah tak bisa ditolerir. Kalau kamu ngelanggar lagi bisa-bisa kamu kena skors. Aku juga nggak yakin Tante kamu bisa bantuin kamu terus menerus. Lagipula, kita sudah kelas tiga SMA, Din. waktu untuk di sekolah tinggal beberapa bulan lagi. nggak lama. sekitar tiga bulanan lagi. Sudah waktunya kamu konsentrasi untuk pendidikan kamu atau nanti malah nggak lulus." aku menjelaskan. "Umi kamu kan pengen agar kamu jadi dokter, berarti kamu punya tugas penting belajar yang baik agar nanti bisa lulus dengan nilai terbaik juga. Siapa tahu kamu bisa jadi dokter seperti harapan ibumu."

"Memang masih bisa terkejar?"

"Bisa kalau kamu sungguh-sungguh."

"Bener Dihya?"

"Ya InshaAllah. Makanya sekarang perhatikan absensi dan belajar sungguh-sungguh. Kamu harus tingkatkan kualitas belajar kamu berkali lipat dari biasanya karena beban kamu lebih banyak dari orang lain termasuk aku!" kataku.

"Hah, iya juga sih. Tapi apa bisa. Ahh kayaknya nggak bisa deh. Udahlah, jalani saja apa adanya."

"Lho kok begitu? Belum juga usaha sudah mau menyerah saja. Coba dulu."

"Tapi nggak bakalan bisa. Diterangkan guru saja nggak ada yang nyangkut di otakku." kata Dinda.

"Aku yang akan bantu. Kalau kamu nggak bisa aku yang akan menerangkan."

"Bener?"

"Yap!"

"Wah makasih ya Dihya!" saking senangnya, Dinda sampai berteriak sehingga menarik perhatian orang-orang yang ada di kelas. Aku tak terlalu nyaman dengan semua itu, makanya memutuskan pergi meninggalkan kelas menuju kantin.

"Dihya!" seseorang mengejarku. Ia menyamai langkahku dengan susah payah. Jingga, salah satu gadis berprestasi di sekolah ini. Ia juga sainganku saat olimpiade. Jingga pernah dengan terang-terangan menyatakan cinta padaku di kelas dua, namun aku menolak sebab memang tak mau pacaran. Aku ingin fokus belajar dan mengejar cita-citqku terlebih dahulu. "Kamu mau kemana? Boleh aku ikut?"

"Kantin!" kataku.

Jingga benar-benar mengikutiku. Ia membuntuti kemanapun aku pergi. Usai memesan makanan, ia buru-buru duduk di hadapanku.

"Kamu dua hari ini beda ya." katanya.

"Beda apanya?" aku balik bertanya.

"Dinda. Sepertinya kamu perhatian sekali dengannya. Kamu suka?"

"Apa peduli mu?"

"Dihya,"

"Dinda itu anak temannya umiku. Aku kasihan karena kalian menjadikannya sebagai bahan bully padahal dia seperti itu karena harus mengurus ibunya yang sedang sakit. Jangan bilang Dinda mau cari perhatian ya, sebab yang menceritakan itu bukan Dinda melainkan ibuku!"

"Oh begitu ya. Tapi kenapa Dinda nggak ngomong?"

"Karena dia nggak caper." kataku. "Dia apa adanya saja. Lagipula dia nggak suka dikasihani juga."

"Baiklah kalau begitu, aku mengerti sekarang. Kamu enggak perlu repot-repot mengawal Dinda karena aku yang akan bilang sama teman-teman untuk nggak mengganggu Dinda lagi. Kapan perlu aku akan menjaganya jadi kamu bisa pindah ke tempat duduk kamu semula."

"Kenapa harus pindah?"

Jingga tersenyum. "Dihya, sekarang sudah ada aku yang akan menjadi teman Dinda. Jadi jangan khawatir."

"Dinda nggak hanya butuh teman, apalagi kamu, Ngga."

"Lho kenapa denganku."

"Nggak kenapa-napa!" aku menyudahi makan, lalu berlalu menuju kelas usai membayar makanan yang tadinya aku makan.

***

Jingga berusa menjadi teman untuk Dinda. Tetapi meski begitu aku merasa ia tidak tulus. Harusnya sejak awal. Apalagi sampai menginginkan agar aku menjauh dari Dinda. Padahal ia tak tahu kalau aku dan Dinda sudah dijodohkan. Kalau Allah merestui maka kami tak akan bisa dipisahkan. Akan menikah setelah kami dewasa.

Entah kenapa saat membayangkan itu aku malah senyum-senyum sendiri.

Dinda memang bukan gadis sempurna. Bukan yang jago matematika, fisika apalagi kimia. Namun ia luar biasa dimataku.

"Cie Dinda sama Dihya!" tiba-tiba saja teman -teman geng Septi dari kelas sebelah, yang aktif sebagai anak cheers menyoraki aku dan Dinda. "Kalian pacaran, ya?" salah satu personil mendekati mejaku dan Dinda. Ia benar-benar kepo dengan hubungan kami.

"Enggak. Dihya dan Dinda nggak pacaran kok!" kata Jingga yang langsung menghampiri meja kami. "Mereka hanya sedang diskusi saja."

"Terus kenapa dari kemarin berduaan terus? Emang apa yang didiskusikan? Pasti pacaran, kan? Wow ini bakal jadi gosip super banget karena laki-laki paling jenius pacaran sama murid perempuan paling ....!" mereka tertawa bersama Sementara aku meradang.

"Heh kamu ngomong apa?" kataku. "Jangan sok pintar deh, kalian juga kalau nggak dapat contekan dari Sisil juga nggak bakal masuk kelas IPA!" kataku. "Yang kalian tahu cuma bersorak-sorai saja. Belajar nol!" aku membalas Bulian mereka. "Jadi jangan sembarang mengejek orang lain sampai menganggap orang lain di bawah kita.

"Dihya," Jingga berusaha menahan agar aku tak melayani ocehan mereka. "Sudah deh, mending kalian balik ke kelas sebelah dari pada nanti aku laporin ke guru piket!" ancam Jingga. "Mau kalian di skors? Nggak bisa ikut cheers." kataku. "Sudah sana pergi!"

"Halah Jingga mau jadi obat nyamuk saja ribet banget!" mereka mengejek Jingga sebelum kembali ke kelasnya.

Terpopuler

Comments

abdan syakura

abdan syakura

Waahhhhh payah ni
Ada Yg mulai caper...
Jingga....jingga...
jauh jauh gih......

2023-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!