Kenapa Harus Dia?

Pukul tujuh lewat lima belas menit. Bel masuk berbunyi. Aku melihat ke arah gerbang sekolah saat salah satu guru piket menutup gerbang tetapi dia belum juga datang.

Terlambat lagi. Kenapa ia selalu datang terlambat, seolah membiarkan dirinya menjadi objek lelucon teman-teman satu kelas. Pantas saja dia nggak disukai temanya karena sikapnya sendiri yang membuatnya tidak diterima.

Entah apa alasannya. Aku sangat yakin ia pasti terlambat bangun. Makanya terlambat datang ke sekolah. Perempuan malas seperti itu, kenapa harus dia yang dijodohkan denganku? Umi kenapa nggak caritahu dulu. Main jodoh-jodohin aja, mentang-mentang orang tuanya bersahabat dengan orang tuaku.

Aku benar-benar khawatir dengan perjodohan ini. Karena harapanku nanti bisa menikah dengan yang sekufu denganku agar kami bisa memiliki anak-anak yang berkualitas juga.

Apel pagi baru saja selesai, belum ada tanda-tanda Dinda akan datang. Aku bersama siswa-siswa lainnya masuk ke kelas masing-masing. Untungnya jadwal guru yang mengajar pagi ini kosong karena guru yang bersangkutan sedang sakit, kalau tidak, seperti hari-hari sebelumnya, ia akan diskors tidak boleh mengikuti jam pelajaran, padahal harusnya pagi ini kami menjalani ulangan harian. Sebagai gantinya, kami mengerjakan lembar kerja matematika sekaligus sebagai nilai pengganti ulangan harian.

Lima menit sebelum pukul delapan barulah Dinda muncul. Seperti biasa, dengan tampilan acak-acakan. Ia pasti baru menjalani hukuman. Jilbabnya berantakan, namun senyumnya tak pernah pudar. Selalu cengengesan seolah tak terjadi apa-apa.

Aku memperhatikan dari tempat dudukku. Ia kebingungan harus mengerjakan apa sebab tak ada satu orang temannya pun yang mau memberitahu tugas yang diberikan guru matematika kami. Di kelas ini Dinda memang seperti diasingkan. Ia dianggap sebagai aib karena menjadi satu-satunya siswa kelas IPA yang nilai rata-ratanya jauh di bawah standar.

Raut wajah Dinda tampak khawatir, Gea, salah satu murid di kelas ini memberikan tugas bohongan. Dinda yang tak tahu apa-apa buru-buru mengerjakan meski aku yakin ia tak paham caranya. Beberapa kali ia melirik ke kiri dan kanan, tetapi semua orang menutup bukunya masing-masing seolah khawatir dicontek Dinda.

Kasihan sekali, paling tidak jangan dipersulit.

Aku bangkit dari kursi, berjalan maju ke depan, mengambil lembar soal punya Dinda yang mereka sembunyikan di laci meja guru, lalu kembali berjalan menuju Dinda. Kini, semua perhatian tertuju kepadaku saat lembar milik Dinda ku berikan padanya.

"Bukan yang itu tugasnya, mereka sedang ngerjain kamu, ini tugas yang benar, kerjakan punyamu." kataku pada Dinda yang langsung ngangguk-ngangguk. "Heh, kamu, siapa namamu?" aku melirik teman sebangku Dinda.

"Aku Wike," kata teman sebangku Dinda sambil mengulurkan tangannya, ia memamerkan senyumnya.

"Kamu, mulai sekarang duduk di bangku sana, tukaran denganku." kataku, sambil menyisihkan peralatan tulisnya dari meja di samping Dinda. "Tolong ambilkan tasku sekalian." kataku.

Wike menurut, membawa semua peralatan sekolahnya, lalu ia mengambil tasku, mengantarkan ke meja yang sekarang aku tempati. Semua orang di kelas terdiam, tak bisa berkata-kata sebab aku adalah Dihya Azizi, tahun lalu menjadi ketua OSIS, sekarang ketua kelas, siswa paling berprestasi di sekolah ini dan digadang-gadang akan masuk fakultas kedokteran saat kelulusan nanti.

"Kenapa bengong, kerjakan tugasmu, Waktunya tinggal setengah jam lagi!" kataku, sambil memukul pelan meja di depan Dinda agar ia terus-terusan melamun.

"Hah, eh iya." kata Dinda yang gelagapan, lalu mulai membaca soal-soal yang aku berikan, seperti tebakanku ia tak paham apa-apa. Lembar soal itu hanya dibolak-balik, tapi tak ada satu jawaban pun yang bisa ditulisnya.

"Kenapa? Kamu nggak bisa mengerjakannya?" pertanyaan aneh itu keluar juga, harusnya tak perlu aku tanyakan karena tahu Dinda memang sebodoh itu. Ia tak paham matematika, biologi, fisika, kimia, dan seluruh mata pelajaran IPA, tapi malah nekat masuk kelas IPA dan entah bagaimana caranya bisa masuk kelas ini juga. Itu juga yang menjadi alasan anak-anak kelas ini nggak respek pada Dinda, mereka merasa Dinda adalah aib yang harus dikeluarkan meski Dinda seperti parasit yang tetap bersikeras menempel di kelas ini.

"Enggak bisa. Soalnya susah sekali ya. Fiuff. Kenapa ada soal sesulit ini?" keluh Dinda, sehingga membuat keningku berkerut.

Soal itu nggak sulit, kamu saja yang bodoh Din!

"Lihat ini, kerjakan dulu yang nomor satu." aku yang tak bisa sabar akhirnya turun tangan juga. Ia masih muter-muter, sementara dalam hitungan detik soal itu sudah selesai olehku hingga membuat Dinda berbinar-binar, dengan cekatan ia menyalinnya.

"Dihya benar-benar jenius ya. Soal sesulit itu cepat banget lho diselesaikannya. Kamu makan apa sih, kok bisa sepintar ini?" tanya Dinda dengan polosnya.

"Udah enggak usah banyak ngomong, kerjakan saja!" aku menegaskan.

"Eh iya iya. Siap!" seperti mendapatkan harta Karun, dengan riang gembira Dinda mencatat jawaban yang ku buat di lembar oretan.

Hanya lima soal yang mau ku bantu. Lima lagi harus ia sendiri yang mengerjakan karena sebenarnya melakukan ini saja sudah melanggar prinsipku sendiri yang gak akan pernah memberikan contekan pada siapapun.

"Wah terimakasih ya Dihya, aku berhutang banyak nih sama kamu. Enggak apa-apa dibantu segini saja sudah senang. Lebihnya nggak usah dikerjakan." kata Dinda dengan santainya.

"Loh kenapa nggak dikerjakan?" aku balik bertanya.

"Untuk apa juga dikerjakan, aku nggak bakalan bisa. Lagipula dapat nilai lima udah keren sekali. Selama ini kan langganan nilai nol." kata Dinda sambil tertawa kecil, seolah bersyukur dengan keterbatasannya yang tanpa usaha itu.

Sungguh tidak lucu. Aku malah melihatnya sebagai sesuatu hal yang menyedihkan. Spontan aku menarik kertasnya, menyuruhnya untuk melanjutkan tugas berikutnya. Sampai waktunya habis ia harus berusaha mengerjakan sebisanya setelah awalnya aku membantu menjelaskan.

Dinda yang awalnya senang sudah menyelesaikan lima soal langsung kusut, ia ingin kabur namun tak bisa sebab aku seperti satpam yang tak akan melepaskannya.

"Kamu itu kenapa sih harus begitu." kataku.

"Begitu bagaimana?" tanya Dinda tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas soal, sementara tangannya aktif mencoret-coret lembar satunya lagi sebagai oretan.

"Setiap hari datang terlambat. Kamu nggak salat Subuh ya?"

"Sembarangan, salat kok!"

"Orang yang salah subuh nggak akan terlambat ke sekolah karena bangunnya pagi. Palingan kamu salatnya pukul tujuh."

Dinda berhenti mengerjakan soal, ia menatapku, lalu berlalu menuju meja guru, meletakkan lembar jawabannya.

"Heh belum selesai!" kataku. Baru satu soal yang ia kerjakan, itupun belum ku periksa apakah sudah benar atau masih salah.

"Bel sudah bunyi." kata Dinda bersamaan dengan suara bel.

Terpopuler

Comments

abdan syakura

abdan syakura

MaasyaAllah Dindaaaaaa...
Gemes Aq deh...
Tp....
Seorang anak Adam pasti memiliki kelebihan dan kekurangan...
Lanjutttt Thor.....😚💪

2023-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!