Kami Sudah Dijodohkan

Kami Sudah Dijodohkan

Nguping

"Sepakat ya, pokoknya kita jodohin anak-anak kita. Setelah mereka lulus kuliah maka kita akan minta mereka untuk menikah. Dengan demikian maka kita akan jadi saudara sebenarnya. Besan karena anak-anak kita menikah!" kata Umi dengan suara riang gembira. Lalu terdengar jawaban dari teman perempuan umi yang mengaminkan kata-kata umi, ia juga meminta persetujuan dari para bapak-bapak.

"Baiklah, karena semuanya sepakat, maka perjodohan ini bersifat mutlak!" tegas teman ibu. "Mari kita jaga dan persiapkan anak-anak kita agar kelak setelah mereka lulus kuliah sekitar empat atau lima tahunan lagi kita siap menjadi besan. MashaAllah!"

Penasaran. Aku yang baru pulang sekolah dan berniat mengambil air di kulkas mengintip ke ruang tamu untuk melihat siapakah orang-orang yang membuat kesepakatan perjodohan dengan kedua orang tuaku.

Aku nyaris melonjak saat melihat siapa yang sedang berbincang dengan orang tuaku. Orang tuanya Dinda Annisa. Om Hasan dan Tante Fifi. Ini nggak salah, kan? Apa umi dan Abah paham dengan siapa mereka menjodohkan anak semata wayangnya. Apa Umi dan Abah nggak melakukan riset dulu, agar tahu kualitas calon menantunya? Perjodohan itu enggak main-main lho, setidaknya tanya dulu pada anak yang bersangkutan, apakah mau dijodohkan dengan seorang Dinda?

Tanpa permisi, pikiranku langsung terbayang wajah Dinda Annisa. Siswi kelasku yang nilainya selalu jelek saat ujian, rajin disindir guru karena tak pernah paham pelajaran dan entah kenapa ia bisa masuk kelas IPA yang notabene diisi oleh orang-orang pintar. Ada yang bilang Dinda dapat contekan saat ujian jurusan, ada juga yang mengatakan itu hanya kebetulan belaka. Mungkin guru-guru ingin merubah circle pertemanannya agar bisa lebih pintar. Bukankah kita biasanya tergantung dengan teman-teman. Banyak bergaul dengan orang pintar maka harapannya bisa ketularan pintar juga.

Aku ingin sekali melakukan interupsi, tapi ingat ajaran Abah dan Umi agar mengutamakan sopan santun. Apapun yang ingin kamu lakukan, ingat untuk selalu menjaga adab. Kalau aku terang-terangan protes dengan perjodohan ini sambil menjelaskan alasannya bahwa Dinda itu bukan gadis yang aku idamkan menjadi pendamping hidupku kelak sebab ia tak pintar sementara aku berharap mendapatkan pasangan yang otaknya selevel denganku sebagai juara umum di sekolah sejak bangku sekolah dasar. Ini termasuk kategori tidak sopan, orang tuanya bahkan bisa tersinggung meski begitulah kenyataannya!

Dengan sangat gelisah, aku terpaksa naik ke kamar di lantai dua. Ganti baju, menenangkan diri sambil menunggu tamu Abah dan Umi pulang.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Annisa dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!" kataku, sambil menjabat tangan Om Hasan

"Sah"

"Sah" kata dua orang saksi

Alhamdulillah. Tamu-tamu yang datang bergembira, namun aku merasakan sebaliknya. Kenapa harus Dinda? Kan banyak anak perempuan lainnya yang kalau bicara itu selalu nyambung denganku, yang enggak menghabiskan waktunya untuk hal-hal sia-sia seperti membaca majalah anak-anak. Misalnya Jingga.

Tak sengaja netraku menangkap bayangan Jingga ada di antara tamu-tamu putri. Ia menundukkan kepalanya untuk menutupi matanya yang basah. Gadis itu pasti sedih dengan pernikahan ini karena aku tahu ia menyukaiku, bahkan sejak masih di kelas satu.

Jingga pernah menyatakan perasaannya secara langsung padaku, tetapi ku tolak sebab masa sekolah bukan waktunya untuk berpacaran. Aku ingin fokus belajar, mewujudkan cita-citaku. Sementara cinta di usia dini jelas-jelas hanya kesia-siaan saja sebab belum tahu tujuannya kemana.

"Maaf Jingga, harusnya kamu tak usah datang. Akupun sama seperti kamu, sedih dengan pernikahan ini. Tak terbayangkan bagaimana anak-anakku nantinya, diasuh oleh ibu yang IQ-nya dibawah standar dan juga sifatnya kolokan!" kataku dalam hati

Seorang perempuan bergaun putih keluar dari kamar, ia memang sengaja disembunyikan hingga ijab Kabulnya sah. Aku tak bisa melihat wajahnya sebab ia menggunakan cadar. Dengan santun ia menyalamiku, sikapnya yang anggun membuatku terpana. Apa benar ia Dinda yang biasanya seperti ulat cabe, tak bisa diam, bergerak kesana-kemari.

"Suamiku, terimakasih sudah menghalalkan aku. InshaAllah, mulai saat ini aku akan berbakti padamu. Aku akan menjadi istri, ibu dan menantu yang baik untukmu, anak-anak kita nantinya dan kedua orang tuamu. Terimalah pengabdianku, mohon bimbing aku dan bersabar dengan segala kekuranganku." pintanya dengan suara Dinda yang teramat lembut hingga membuatku terpana.

Cadarnya belum juga disingkap. Dinda menyatakan baru akan membukanya nanti setelah kami berdua saja sebagai bentuk penghormatannya kepadaku.

Dinda? Apa benar ini Dinda? Tapi kenapa ia tak sama seperti ia yang biasanya aku lihat di sekolah?

***

"Dihya ... Dihya ... kamu tidur sejak sore ya? Pasti belum salat, sudah azan Maghrib lho, Abah saja sudah ke masjid, kamu pasti enggak dengar, kan? Kamu pasti belum makan, juga kan?" Umi sudah berada di kamarku, ia mengguncang tanganku agar terbangun. "Dihya ... kamu pasti kelelahan dengan segudang kegiatan di sekolah."

"Mimpi. Astagfirullah." aku langsung taawuz, lalu membaca doa.

"Mimpi? Memang kamu mimpi apa?" Umi begitu penasaran, duduk di tepi ranjangku, menanti sampai aku bercerita.

"Enggak apa-apa, Mi."

"Iiihhh Dihya, cerita dong. Umi kan pengen tahu!'

"Mi, namanya mimpi buruk kan nggak boleh diceritakan."

"Mimpi buruk? Benar mimpi buruk? Ya sudah kalau begitu. Semoga anak Umi dijauhkan dari segala mara bahaya. Sekarang buruan salat, setelah itu turun, makan ya sama Umi dan Abah." kata umi.

Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Mimpi buruk? Apa iya tadi itu mimpi buruk? Bukannya sebaliknya? Astagfirullah, aku buru-buru mengalihkan pikiran agar tak terpancing dengan itu semua. Lalu memikirkannya. Bukankah setan itu paling pintar mencari celah mempengaruhi manusia.

***

"Mi, siang tadi itu Umi bicara sama Uminya Dinda, kan?" tanyaku, sambil membantu Umi mencuci piring bekas kami makan malam.

"Hmmm, iya." jawab Umi, masih fokus dengan cuciannya. "Kamu kenapa tanya? Kamu dengar pembicaraan Umi?"

"Itu serius atau cuma guyonan?" aku balik bertanya.

"Seriusan."

"Mi?"

"Lho, kenapa? Kan dulu sudah umi tanyakan, nanti kamu mau cari jodoh sendiri atau umi Carikan. Kamu yang bilang mau dicarikan saja, ya sudah, umi jodohkan saja dengan anak sahabat umi dan Abah." Umi tersenyum sumringah. "Lagian kamu dan Dinda kan sudah saling kenal, satu kelas juga, kan? Nggak ada masalah, dong!"

Yap, satu kelas dan aku tahu semua aib Dinda dan itu masalah untukku!

"Tapi kan itu dulu, Mi. Waktu Dihya masih SMP. Dihya jawabnya asal-asalan saja karena Dihya masih sekolah dan belum mikirin jodoh."

"Tapi Umi serius! Lagian sekarang kan kamu juga masih sekolah, lalu kenapa harus dipikirkan juga?" Umi tersenyum padaku.

Terpopuler

Comments

abdan syakura

abdan syakura

Assalamu'alaikum
nyimak yaa Thor...

2023-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!