Tentang Dinda

"Mi," pulang sekolah aku langsung menghampiri Umi untuk menyatakan keberatanku atas perjodohan ini. Tetapi, bukannya peduli, Umi malah tertawa kecil dan menganggap aku ribet. Bagaimana tidak ribet, masa depanku sedang dipertaruhkan. Tak hanya tentang aku, tapi juga tentang masa depan amak-anakku. Dari buku yang aku baca, kecerdasan anak itu menurun dari ibunya. Kalau benar nanti Dinda adalah ibu dari anak-anakku, bisa dibayangkan kecerdasan seperti apa yang akan ia turunkan untuk anakku? Badanku langsung lemas, membayangkan seumur hidup akan merasa bersalah pada anak-anakku nantinya sebab karena pasrah menerima perjodohan berefek pada mereka yang tak salah apa-apa. "Pokoknya Dinda itu nggak banget Mi. Jangan sampai nanti Umi menyesal menjodohkan putra semata wayangnya Umi dengannya!"

"Hahahaha, Dihya sayangnya Umi. Sungguh, Umi nggak nyangka kamu sebegitunya. Dengar ya nak, Dinda itu mungkin tak pintar di pelajaran sekolah seperti yang kamu katakan, tapi ia pasti punya kelebihan lainnya." kata Umi. "Kamu kan sekelas dengannya, coba ingat-ingat ia pintar di bidang lain apa karena nggak semua orang harus suka pelajaran IPA, kan? Sama seperti kamu yang selalu juara kelas namun urusan seni kamu tak terlalu suka bahkan kamu dianggap ngasal kalau sudah disuruh belajar .

"Kelebihan apa? Olahraga? Enggak sama sekali, Mi. Guru olahraga saja sampai geram padanya. Basket tidak bisa, voli takut kena bola. Makanya ia disuruh main gundu saja. Itupun sama juga. Seni? Begitu juga. Umi harus dengar kalau ia sudah sibuk dengan adikmu. Suaranya fals, benar-bemar enggak enak di dengar. Lalu apa yang harus dibanggakan dari seorang Dinda, mi?" aku merengek agar Umi kembali mempertimbangkan keputusannya dan rencananya kalau tidak berhasil juga, aku akan mengajak Dinda untuk ikut protes menentang keputusan orang tua kami. Siapa tahu dengan begitu bisa berhasil sehingga keputusan itu bisa dibatalkan tanpa adanya kedurhakaan dari anak-anak karena tidak menuruti perintah orang tuanya.

"Memang kriteria istri idaman yang kamu inginkan seperti itu, Nak?" Umi melirikku. "Apa yang harus jago IPA, olahraga atau seni?" Tanya Umi. Mengingat apa yang sudah pernah aku katakan.

"Hmm," aku berpikir. Sebenarnya aku suka perempuan saliha. Yang anggun, lemah lembut, keibuan dan sabarnya tinggi agar nanti ia bisa membersamai anak-anak kami dengan kebaikan tanpa harus marah-marah kalau anak-anak sedang berulah sebab begitulah amak-anak, ada saja ulahnya yang menguji kesabaran orang tuanya. Ya seperti Umi yang tak suka marah-marah apalagi ngomel seperti kebanyakan perempuan. Aku tak suka tipe perempuan seperti itu meski kata Umi, kebanyakan perempuan meski masa gadisnya santun dan pendiam namun ketika menikah ia bisa jadi cerewet dan sangat garang lantaran beban rumah tangga yang memang tidaklah enteng. "Ya yang speknya seperti sudah Dihya katakan sebelumnya, Mi. Dihya ingin perempuan yang sabar." Kataku, sambil membayangkan seorang perempuan mendampingi anak-anaknya.

"Lalu, apa Dinda tak seperti itu?" Umi balik bertanya.

"Maksudnya?"

"Apa kamu nggak merasa dia seperti itu, sesuai dengan spek yang kamu harapkan? Apa dia tidak sabar, tidak bagus? Kesampingkan dulu soal akademiknya karena kita nggak tahu mungkin kalau ia masuk pesantren bisa saja ia yang jadi juara sebab ketika kita menjalankan sesuatu yang tidak kita inginkan biasanya hasilnya tak bagus karena setengah hati dikerjakan.

Aku langsung membayangkan seorang Dinda. Gadis yang sangat ceroboh, pemalas karena selalu datang terlambat, suka cengengesan nggak jelas padahal ia dijadikan bahan Bulian oleh teman-teman sekelas, bahkan juga kelas lain. Ia seolah tak masalah diperlakukan dengan sangat buruk, bahkan sering dikatakan timun bongkok karena di kelas gak pernah ada prestasinya hingga benar-bemar dikucilkan sempurna.

"Kamu tahu tidak, Dinda itu, meski anak tunggal seperti kamu, tapi ia sangat telaten mengurus ibunya yang sakit lupus. Setiap pagi, ia selalu mengurus ibunya dahulu sebelum berangkat sekolah. Mulai dari menunggui sampai bangun, membersamai saat salat Subuh, memandikan, menyuapi mahkan hingga ibunya istirahat pagi."

Pikiranku kembali tertuju saat Dinda terlambat tiap hari ke sekolah, berarti ia begitu karena tiap pagi harus mengurus ibunya. Kata Umi, mereka memang punya satu khadimat di rumah tetapi hanya mengurus rumah, itupun setengah hari saja, sementara setengahnya lagi dihandle sendiri oleh Dinda

Dinda itu memang tak suka belajar. Ia sebenarnya ingin masuk pesantren, namun ibunya pernah berceloteh ingin anaknya masuk IPA agar jadi dokter. Gara-gara itulah Dinda mati-matian berusaha masuk kelas IPA, dibantu oleh bu Jeni, Tantenya Dinda yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah di tempat kami.

Kini aku mengerti semuanya. Kenapa Dinda seperti itu. Aku yang semula malas melihatnya, begitu kesal dijodohkan dengannya mendadak berubah seratus persen. Dinda kini luar biasa di mataku. Memang tak semua orang hebat di satu bidang, bisa jadi ia pintar di bidang lainnya. Dinda ingin masuk pondok pesantren sebab ia suka belajar keagamaan dan bercita-cita menjadi seorang ustadzah. Namun, demi baktinya kepada ibunya, Dinda mengganti semua mimpinya demi mimpi ibunya.

Mendengar semua cerita Umi membuatku merasa malu. Aku yang kemarin-kemarin sangat percaya diri yang pantas dengan Dinda sebab merasa jauh di atas Dinda kini jadi terbalik. Aku yang bukan apa-apa sementara Dinda luar biasa. Baktinya mengalahkan semua kebanggaanku. Aku saja mungkin tak bisa begitu. Mengganti mimpiku dengan mimpi Umi atau Abah. Contohnya, Umi yang sangat ingin aku berjodoh dengan Dinda, tapi karena merasa ia tak sepadan denganku makanya langsung melakukan protes besar-besaran.

Untuk masalah sabar, sebenarnya ia sangat sabar sekali. Dinda itu dengan siapapun luar biasa sabarnya. Senyumnya tak pernah hilang meski seisi kelas menertawakan. Ia tak pernah marah. Hidupnya sangatlah tulis. Aku benar-benar salut padanya.

"Jadi bagaimana? Masih mau protes?" Umi melirik aku yang kedapatan senyum-senyum sendiri. "Atau jangan-jangan ...."

"Apa Mi? Sudah ya Mi, Dihya mau ke kamar dulu. Mau istirahat." Kataku, lalu buru-buru ke kamar sebelum Umi menangkap warna merah muda di wajahku.

Yap, aku sepertinya sudah menyukai Dinda. Begitu cepatnya Tuhan membolak-balikkan hati manusia. Sebelumnya aku sangat kesal bahkan merasa tak adil ketika dijodohkan dengan Dinda, sekarang malah sebaliknya. Rasanya malu kalau terbayang wajah Dinda.

"Aghhh, ini benar-benar bikin kesal!" Aku senyum-senyum sendiri. Membaringkan tubuh di atas kasur, membayangkan hari esok. Mulai hari ini aku gak akan membiarkan Dinda diganggu lagi. Aku akan menjaganya dengan sangat baik tanpa melanggar aturan agama sebab kami sudah dijodohkan!

Terpopuler

Comments

abdan syakura

abdan syakura

MaasyaAllah Tabaarakallah Dinda
Tuh kan Dihya???
masih ingin mundur??
mangkanya Husnudzhon...🤭👍
Kak lanjutttt....
Aq Suka....Aq suka....😘💪🌺

2023-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!