Akhirnya, pak Prabu terjebur di kolam ikan. Mungkin saking terkejutnya kala Angga mengagetkan ayahnya tadi.
"Dasar anak durhaka, bisa-bisanya orang tua di kerjain." Pak Prabu mendengus kesal karena kelakuan Angga yang tiba-tiba suka jahil. Padahal anaknya tak sekalipun berlaku seperti ini sebelumnya.
Mendengar keributan di halaman belakang. Mama Rena pun langsung melihat, untuk memastikan apa yang diperdebatkan oleh dua laki-laki tersebut.
"Papi!" Melihat suaminya terjebur di kolam. Mama Rena lantas langsung menghampiri sang suami.
"Papi, Papi kenapa nyemplung. Bukannya ikannya di kasih makan malah berendam. Memangnya tadi gak mandi?" sebuah pertanyaan konyol keluar dari mulut sang istri. Sehingga membuat pak Prabu langsung menepuk jidatnya.
Sedangkan Angga yang masih bergelantung di atas pohon. Merasa perutnya sakit akibat menahan tawa.
"Sungguh manusia aneh," batin Angga sembari tertawa.
Menyadari kedua orang tuanya sedang memelototinya. Membuat Angga seketika bungkam, dan tidak lagi tertawa.
Ada yang aneh dari pemandangan tersebut. Setelah menatap Angga yang bergelantung. Pasangan pasutri pun saling tatap. Pasalnya ini adalah pemandangan langka bagi mereka berdua. Bagaimana bisa, Angga yang seorang tulang lunak bisa memanjat pohon mangga. Sampai bergelantung pula, itu mengapa keduanya merasa aneh.
"Apa jangan-jangan anak kamu sudah tobat, atau habis terjungkal?" pak Prabu berucap dengan keadaan yang masih tercengang.
"Sepertinya anak kita semalam habis dapat Wahyu, dan pada akhirnya jadi tulen." Jawab mama Rena dengan bahu yang terangkat.
Keduanya saling berbisik, hingga membuat Angga penasaran. Apa yang sedang mereka bicarakan.
"Kalian sehatkan," kata Angga yang tiba-tiba menghampiri ayah dan mama nya.
"Memang kami ini sakit apa!" seru pak Prabu pada Angga.
"Iya kali saja. Kalian habis terjungkal makanya sekarang jadi aneh," ujar Angga dan bersiap untuk memunguti mangga, yang ia ambil tadi.
"Bukan kami yang aneh, tapi kamu!" timpal mama Rena.
"Kok jadi aku," kata Angga sambil menunjuknya dirinya sendiri.
"Cara bicaramu bukan lagi seperti tulang lunak, dan terkesan pria tulen."
"Iya, gaya berjalan mu juga sangat gagah." Mama Rena tak mau ketinggalan, beliau ikut menyahuti dan menjelaskan apa yang sudah ia pikirkan sedari pagi tadi.
Angga yang mendengar itu pun langsung menelan ludah, dengan susah payah. Tidak dipungkiri jika dirinya juga was-was. Orang tua tidak akan lupa sifat anaknya. Maka dari itu Angga sepertinya harus hati-hati dalam melakukan sesuatu hal.
"Ayah, Mama. Masuk yuk. Angga gerah nih mau mandi, tuh mangganya juga udah dapat kan." Angga pun mencoba untuk mengalihkan pembicaraan agar tak semakin luas nantinya.
"Hmmm … baiklah," ucap mama Rena setelah menimang-nimang ucapan Angga.
Hufff.
"Hampir saja," ucap Angga lega dan tangannya tak lupa mengusap keningnya. Yang sudah dipenuhi oleh keringat.
"Apa kabar ya diri gue di rumah. Apa tubuhku baik-baik saja? Atau tubuhku sudah tidak berdaya," rutuk Angga dengan mimik muka yang sedih.
"Ngga, setelah mandi. Jangan lupa beli beli lontong kikil di warung langganan yah. Tiba-tiba mama pengen makan pedes-pedes," ucap mama Rena dengan bibir layaknya sedang menelan perasan jeruk nipis.
"Iya Mama, aku aku mandi dulu ya." Angga pun segera berpamitan dan sekarang sudah berada di dalam kamar mandi.
"Aneh deh. Sebenarnya ini orang. Laki apa perempuan sih. Hampir semua barang itu milik cewek. Gila-gila, terus ini lagi kacamata kuda buat apa coba. Ini badan kan gak punya gunung kembar, terus buat apaan lagi."
Beberapa saat kemudian.
Angga sudah keluar dari kamar mandi, dan sudah memilih baju. Namun, lagi-lagi Angga dibuat tercengang dengan penemuannya lagi. Di dalam lemari pakaian.
"Dasar wong edan," umpat Angga yang merasa jika dirinya terus-terusan berada di sini. Itu akan membuatnya ikut gila juga.
"Angga, cepetan kamu ini lelet sekali sih." Belum ada setengah jam. Mama Rena sudah berteriak, semua orang pun yang berada di rumah nampak kaget mungkin saking kerasnya, yang mengalahkan soun sistem
Sedangkan Angga dengan keadaan terpaksa, mau tak mau harus mengenakan baju berwarna kuning. Tidak lupa gambar kucing cantik menghiasi warna bajunya.
“Kenapa tidak ada baju yang sesuai dengan keinginanku. Semua baju seperti ini, apa gue harus bener-bener jadi Angga!” umpat Angga dengan wajah jengah nya.
Merasa kesal kala mama Rena terus memanggilnya, akhirnya ia pun keluar juga.
“Kamu itu ya, kebiasaan banget. Lama-lama di depan kaca mau ngapain sih!” saat Angga keluar dari kamar. Sebuah lontaran tak enak di dengar tengah menyambutnya.
“Udah ah, jangan ceramah terus Mama. Katanya mau beli lontong kikil. Yang sebetulnya ia tahu warung siapa yang nantinya ia kunjungi.
………………
Sedangkan di jalan Nara nampak kebingungan karena harus datang ke bengkel, tempatnya ia bekerja. Kalau harus disuruh memperbaiki mana bisa dirinya.
Jangankan memperbaiki, ia pun sama sekali tidak tahu mana kunci inggris satu dan dua. Obeng ataupun peralatan yang lain, yang pasti teman dari si obeng itu. Nara tidak dapat mengenalinya satu persatu.
“Duh, kenapa jadi seperti ini. Aku kan sama sekali tidak tahu apa-apa! Mana mungkin harus bekerja ke bengkel,” dengus Nara dengan ekspresi layaknya perempuan yang sedang merajuk. Tidak lupa baju yang di remet-remet hingga terlihat kusut, dan untung saya tidak mirip dengan tahu remet itu baju.
Nara terus merutuki nasibnya. Di satu sisi ia sekarang sangat bahagia dengan keadaan tubuhnya yang sekarang, karena seperti menemukan jati dirinya. Sifat kemayu, suka dengan barang milik wanita. Terasa menemukan kehidupan apa yang diinginkan.
Hobi masak, dan membuat kue. Itulah kesukaannya kala berada di rumah, tapi sekarang keadaan berbeda. Dirinya memiliki tubuh baru, dan entah nasib tubuhnya yang saat ini berada di rumah.
“Eh Nara, kenapa lo ngelamun?” sosok Jali rekan kerjanya tengah menegurnya. Itu karena Nara bagai orang yang tak punya rumah dan terlihat lesu.
“Kamu siapa?” Nara justru bertanya balik. Siapa pemuda tersebut karena merasa asing, dan tidak pernah bertemu sebelumnya.
“Apa kamu habis terbentur,” ucap Jali dengan pikiran terasa jika semua ini adalah lelucon.
“Tidak, karena aku memang tidak mengenal kamu.” Nara pun mengatakan pada pria tersebut. Kalau memang dirinya tidak kenal.
“Nara jangan bercanda!” sungut Jali yang masih setia duduk di atas motornya dan segera menyelesaikan permainan yang dibuat Nara.
“Siapa yang bercanda!” balas Nara, dan tidak lupa meniup anak poninya dan itu membuat Jali heran.
“Tunggu, tunggu. Sejak kapa elo niup poni dan punya poni?” tanya Jali yang tidak sabar untuk mengetahui Nara, yang sepertinya sakit otak.
“Se-jak tadi, iya sejak tadi. memangnya tidak boleh, ya.” Jawa Nara yang sekarang berubah jadi polos.
"Apa ini teman Nara?" dalam hatinya Nara bertanya-tanya jika benar ia pun harus waspada agar tidak ada yang tahu, tentang dirinya yang sekarang.
"Gak panas kok, tapi kenapa elo seperti tulang lunak, Nara."
"Jangan pegang-pegang," seru Nara.
"Sepertinya otakmu perlu di ruqyah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Maya●●●
🤣🤣🤣🤣🤣
2023-05-05
0
Maya●●●
ya malah bersyukur dong😅
2023-05-05
0
꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂
aku kembali kk, semangaaaaaaaaaat
2023-04-14
0