Tawaran Teman

Happy reading...

Tidak bisakah hidup Elsa mendapat ketenangan? Setiap hari selalu saja ada masalah yang datang ke dalam hidupnya. Elsa seolah merasa terancam, mau pergi ke mana-mana malah was-was. Takut ketemu dengan salah satu rentenir.

Pada akhirnya orang-orang suruhan rentenir pun pergi meninggalkan rumahnya. Elsa menahan Rian agar tidak sembarangan pergi membuka pintu. Siapa tahu para pria itu sedang membuat rencana dengan memancing Rian agar ke luar. Setelah itu Rian akan menjadi bulan-bulanan mereka.

"Aman. Tidak ada orang," kata Rian kembali ke kamar setelah memastikan di depan rumahnya sepi tidak ada siapa-siapa.

"Kamu yakin, Mas? Kamu sudah benar-benar memastikannya?" Elsa meminta Rian memeriksa ke luar lagi lewat jendela rumah mereka.

"Sudah, Sa. Kalau kamu tidak percaya, kamu periksa sendiri saja sana!" seru Rian kesal.

Elsa menghela napas kasar. Ia tanya baik-baik tapi jawaban Rian malah membuat Elsa kesal lagi. Tadi bukannya mereka tengah berdebat hanya karena soal makanan? Namun karena kedatangan pria-pria tadi, Rian menarik dirinya ke kamar, lantas mengunci pintu dari luar.

Elsa tidak mau menanggapi ucapan kesal Rian tadi. Karena jika Elsa membalasnya, maka pertengkaran di antara mereka tidak bisa dihindari.

Elsa melangkah ke luar kamar menuju ke jendela rumahnya. Elsa menyibak tirai jendela yang telah usang. Sepasang mata Elsa membeliak lebar, kata siapa pria-pria itu sudah pergi? Nyatanya di luar pintu ada satu orang pria badan besar jalan wara-wiri di depan pintu rumahnya. Kalau pria itu bukan salah satu penagih, lalu kenapa masih ada di situ?

Tubuh depan Elsa berputar setengah lari-lari masuk ke dalam kamarnya. Ia hendak memberitahu Rian kalau jangan keluar dulu. Karena salah satu pria berbadan besar tersebut masih wara-wiri di rumah mereka seorang diri.

"Aku bilang apa! Masih ada orang di depan rumah kita. Penampilannya sama seperti pria-pria tadi. Itu alsanannya kenapa aku tidak memperbolehkan kamu pergi ke luar, Mas. Kalau terjadi sesuatu dengan kamu, bagaimana?" omel Elsa panjang lebar.

Rian terkejut mendengar ucapan istrinya baru saja. Ia berani bersumpah bahwa ia telah memeriksa keadaan di sekitar rumah. Rian melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau ia tidak melihat siapa pun.

"Aku bilang jangan keluar dulu sampai situasi di luar benar-benar meyakinkan. Aku tidak mau terjadi sesuatu kepada kamu, Mas. Kamu harus sadar, ada istri dan anak yang harus kamu lindungi." Elsa tetap bersikeras.

Terjadi perdebatan di antara pasangan suami dan istri tersebut. Elsa hanya tidak ingin Rian pergi ke mana-mana selama masih diincar oleh para rentenir. Tidak bisakah Rian mengerti kalau Elsa takut? Setiap hari Elsa harus menekan rasa takut

. "Sudahlah, Sa! Kamu jangan terlalu cerewet. Apa-apa tidak boleh. Begini dilarang!" amuk Rian mengibaskan tangannya ke udara. "Bukannya kamu sendiri yang tanya sampai kapan kita harus sembunyi dari para penagih itu?" cecar Rian kepalang marah.

Pertengkaran lagi-lagi terjadi di rumah mereka. Tidak ada yang mau mengalah, Rian pun keras kepala diberitahu oleh istrinya. Padahal kan Elsa cuma ingin Rian selamat. Ia tahu sepak terjang para rentenir ketika menagih akan seperti apa. Namun Rian malah menganggap Elsa cerewet.

"Terserah kamu lah, Mas! Kamu selalu egois, menganggap diri kamu paling benar, tapi kamu tidak pernah sadar bahwa kamu tidak pernah berguna sebagai kepala rumah tangga. Sudah tidak bisa memberi kehidupan enak, susah diberitahu pula! Aku sungguhan muak hidup bersamamu! Jika aku tahu hidup sama kamu cuma bisa mendapatkan susah, aku tidak akan bersedia menikah dengan kamu!" oceh Elsa meluapkan seluruh amarahnya. Selama ini ia cuma bisa menahan diri, ia takut melukai harga diri Rian. Namun agaknya Rian kurang tahu diri.

"Sa ... tega kamu!" Rian menatap Elsa dengan sorot mata sedih. Tidak ia sangka kalau Elsa akan mengatakan hal kasar kepadanya. Jadi, selama ini Elsa menganggap Rian sebagai kepala rumah tangga yang tidak berguna?

Sudut-sudut bibir Rian terangkat membentuk senyum sinis. Elsa menyadari bahwa ucapannya terlalu kasar untuk ia lontarkan kepada suaminya. Sungguh, Elsa tidak bermaksud berkata demikian. Namun ia lepas kendali, hingga akhirnya ke luar kata-kata pedas tersebut.

Sepasang mata Rian berkaca-kaca. Sebagai seorang suami, perasaan Rian terluka. Apa lagi orang yang melukai hatinya adalah istrinya sendiri.

Sekarang ia tahu seperti apa dirinya di mata sang istri. Jadi, begini ... entah siapa yang salah, siapa yang berhak mencecar.

"Mas ... aku," gumam Elsa penuh sesal. "Aku tidak bermaksud. Aku cuma ... sedang kesal. Aku lelah hidup begini terus menerus! Sekali pun kita bukan orang kaya, setidaknya kita tidak berutang. Aku malu selalu menjadi bahan omongan ibu-ibu di kampung ini. Mereka bukan cuma mencecarku, tapi kamu juga sebagai suami. Kamu pikir aku tidak ikut sakit hati?"

Sekesal apa pun Elsa kepada Rian karena belum bisa memberikan kehidupan yang layak, Elsa dan Rian tetaplah suami dan istri. Siapa yang mengejek Rian, Elsa pastilah tidak terima. Elsa ikut sakit hati atas cemoohan yang dilontarkan orang-orang kepada suaminya.

Ada yang mengatakan kalau Rian itu pemalas, tidak mau bekerja. Sukanya enak-enak di rumah tanpa memikirkan istri yang dimarahi pemilik warung akibat terlalu banyak utangnya.

Rian diam seribu bahasa. Tidak peduli dengan penjelasan Elsa, Rian sibuk dengan dirinya sendiri. Rian seolah tutup mata. Tahu istrinya juga dalam kesusahan karena dirinya, harus berutang di sana dan sini supaya mereka tetap makan. Namun, Rian lupa kalau yang namanya utang tetap harus dibayar. Mau selama apa pun, namanya tetap utang.

Rian lagi-lagi menghindari Elsa. Kali ini ia tidak bisa pergi ke luar rumah karena di depan pintu masih ada penagih utang. Rian tidak mau ambil risiko. Karena itu Rian pergi ke ruang tamu, tidur di atas tikar tipis sembari menutup kedua matanya menggunakan sebelah lengannya.

"Wah! Ganteng sekali! Siapa namamu, Sayang?"

"Brian, Tante," jawabnya.

"Jangan Tante dong! Panggil Sayang saja bagaimana?" pintanya diiring senyum menggoda.

Bak tidak ingat usia, wanita berusia di akhir empat puluhan tersebut diketahui suka sekali mengoleksi pria muda tampan yang harusnya lebih cocok menjadi putranya.

Sementara itu di sebuah sofa, Tante Maya mengamati temannya dari tempat duduknya. Wanita itu menggoyangkan gelas minumannya, mengamati teman-temannya yang heboh.

"Hay, May," sapa temannya yang lain. "Jangan diam di sini terus, lah! Kamu tidak ingin icip brondong baru itu?" goda temannya lalu terkekeh.

"Baru apanya? Dia pernah aku sewa satu tahun yang lalu. Aku bosan dengan barangnya," ujar Tante Maya mengibaskan tangannya ke udara. "Rasanya bosan melihat penampilan pria muda di kota. Sesekali aku ingin mencoba seorang pria lugu dari desa. Biasanya mereka lebih alami," gumam Tante Maya.

"Mau aku carikan pria baru, May? Sesuai kriteria kamu?" pancing temannya semangat.

BERSAMBUNG...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!