Rumah baru

Nabila berkemas. Memasukkan baju -bajunya ke dalam koper. Mengabaikan Rifky yang terus berbicara dengan Linda melalui sambungan ponsel. Percuma saja mengingatkan, pasti pria itu akan marah padanya. 

Setelah selesai, ia duduk di sofa menunggu sang suami yang tampaknya menyudahi pembicaraannya. Memeriksa beberapa pesan masuk dari teman-temannya juga membalas satu persatu. Mengatakan pada mereka akan kembali bekerja setelah urusannya beres. 

Mengabaikan pertanyaan yang menyangkut tentang malam pertama. Mengalihkan pembahasan ke arah lain. Membahas agenda minggu depan saat libur.

''Mulai hari ini kita akan tinggal bersama. Tapi, kamu tidak boleh ikut campur urusanku. Begitupun sebaliknya,'' ucap Rifki mengingatkan. 

''Iya,'' jawab Nabila singkat. Ia pun tidak ingin membantah yang pasti akan berujung perdebatan. 

Menelpon Rumi dan berbicara serius. Mungkin setelah ini, mereka akan jarang bertemu. Menyuruh untuk menghubunginya jika membutuhkan sesuatu. Melarang sang ibu cemas dengan keadaannya.

''Ingat, Nabila. Seorang istri harus nurut apa kata suami. Tidak boleh membangkang, dan juga tidak boleh menolaknya jika dia memintamu untuk melayaninya. Kamu harus patuh dan menjaga kehormatan suamimu,'' tutur Rumi panjang lebar. 

''Iya, Bu.'' Lagi-lagi Nabila hanya menjawab dengan singkat dan padat. 

Sedikitpun tak ingin menyinggung tentang hubungannya dengan Rifki yang jauh dari kata baik. Itu hanya akan membuat ibunya terus memikirkan nasibnya. Lebih baik menjalaninya dan mengikuti ke mana alur membawa. 

Mereka keluar dari hotel. Rifki langsung melajukan mobilnya menuju rumah barunya. Dalam perjalanan tidak ada percakapan di antara mereka, saling membisu layaknya orang asing. Masing-masing bergelut dengan pikirannya. 

Kedatangan Nabila dan Rifki disambut hangat dua asisten rumah tangga. Mereka menurunkan semua barang bawaan sang majikan. Menyapa, keduanya  juga memperkenalkan diri satu persatu serta tugasnya. 

Rumah yang akan menjadi tempat tinggal Nabila memang sangat  mewah dan berkelas, namun seakan tidak ada kenyamanan di sana. Selain tak ada ibunya, ia juga tak akan mendapatkan kasih sayang dari sang suami. 

''Eits, mau ke mana,l kamu?'' Rifki menghentikan Nabila yang hampir masuk ke kamarnya. 

''Kamarmu bukan di sini, tapi di atas.'' Tangan Rifki menunjuk ke arah lantai dua. 

Tanpa kata,  Nabila langsung ke lantai dua, membantu bubi  membawa barang-barangnya. 

Setibanya di ujung tangga, Rifky memanggilnya lagi. Nabila menoleh tanpa turun. Malas jika terus berdekatan dengan pria tersebut.

''Nanti malam ada teman-temanku yang akan ke sini. Kamu masak untuk mereka,'' suruh Rifki. 

''Iya,'' jawab Nabila santai. Toh, itu bukan pekerjaan yang berat. Meski di rumah ada dua asisten rumah tangga, ia tak mau membantah perintah Rifki, takut berujung perdebatan. 

''Jangan diambil hati, Non. Den Rifki memang seperti itu, suka nyuruh-nyuruh gak jelas. Kalau nyonya tahu, pasti bakalan marah dengan sikapnya,'' papar bibi dengan suara pelan. Takut Rifki mendengarnya. 

''Nggak, Bi. Lagipula aku juga suka memaksa kok, tapi bantuin aku ya.'' Membuka pintu kamarnya. Memasukkan semua barangnya ke dalam. Meminta bibi untuk mengganti spreinya karena tak suka warna gelap. 

Usai membereskan semua bajunya, Nabila berbaring untuk mengurai rasa lelah. Berharap nanti saat bangun bisa menghirup udara yang lebih segara dari sekarang. 

Suara ketukan pintu yang memburu mengusik ketenganan Nabila. Terpaksa ia  terbangun dan membuka matanya lagi menatap malas seseorang yang berdiri di depannya. Siapa lagi kalau bukan Rafael, suaminya yang sombong dan arogan itu.

''Apa kamu tidak punya kegiatan lain selain menggangguku,'' pekik Nabila ketus. 

''Kamu pikir ini rumah nenek moyang kamu bisa tidur seenaknya. Aku tuan rumah di sini, terserah kamu mau ngapain? Kenapa kamu yang sewot,'' bantah Rifki. 

Nabila meggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lupa, bahwa sekarang dia bukan lagi anak Rumi yang bisa seenaknya di rumah, namun adalah istri Rifky yang harus patuh pada suaminya. 

''Ada apa?'' tanya Nabila lebih membut. 

''Bantu aku beresin kamar.'' Belum juga selesai, Rifki sudah memutar badan memunggungi Nabila. 

Tidak ada jawaban, Nabila mengikuti langkah Rifki menuju kamar utama di bawah. Ia masuk dan mengikuti perintah sang suami. Memasukkan semua baju pria itu ke dalam lemari. Setelah itu, membereskan barang-barang yang teronggok di meja. 

Tak sengaja, ia melihat foto Rifki bersama dengan Linda terpajang di dinding, tepatnya di atas peraduan. Seharusnya itu tempat yang paling favorit untuk meletakkan foto pernikahan, namun sayang justru di tempati bersama pacarnya. 

Tidak apa, Nabila pun tak peduli dengan itu, hanya saja membayangkan reaksi kedua orang tua Rifkijika melihatnya. 

''Kamu dan Linda sudah pacaran lama?'' tanya Nabila kepo.

''Bukan urusanmu, cepat bersihkan setelah itu keluar dari sini,'' jawab Rifki ketus. 

Awas kamu ya, kamu pikir aku akan diam saja diperlakukan seperti ini, aku akan balas.  

Memutar otak, mencari cara untuk membalas perbuatan Rifki yang sangat kejam padanya. Sekali-kali memberi pelajaran pada pria tersebut. 

Dengan jahilnya, Nabila menjulurkan kakinya ketika melihat Rifki berjalan ke arahnya. Pura-pura tak melihat dan tetap memasukkan baju-bajunya ke lemari. Sedikit berjongkok agar Rifki tak menyadarinya. 

Karena fokus tersenyum dengan layar ponselnya, pria itu tak sadar ada penghalang di bawah. Kakinya tersandung seketika dan membuatnya jatuh tersungkur. Ponsel yang ada di tangannya lepas dan menghantam pintu balkon. Alhasil benda pipih itu pecah menjadi beberapa bagian. 

Aaawww

Nabila pura-pura meringis saat Rifki menatapnya tajam. Mengusap kakinya yang terasa nyeri akibat bertumpu pria itu. Sesekali melirik ke arah sang suami yang masih betah tengkurap di atas lantai. 

''Kalau jalan lihat-lihat dong, kakiku sakit nih,'' omel Nabila menyalahkan.  

Rifki mengerutkan alis. Ia yang merasa menjadi korban kenapa justru dia yang kau marah, membingungkan. Bukankah itu terbalik? Seharusnya dia yang marah, bukan Nabila. 

''Kamu yang taruh kaki sembarangan. Rifki terbangun dan mengambil benda pipihnya. 

Berdecak kesal. Melihat kondisi ponselnya yang sudah tak bisa dipakai lagi. Mendekati Nabila yang tampak meringis mengelus kakinya yang terlihat baik baik saja. Tidak ada luka sedikitpun, aneh? 

''Kamu tahu berapa harga benda ini?" Menunjuk benda pipihnya yang terbelah itu di depan Nabila. 

''Tahu,'' jawab Nabila santai, buku tak bisa membelinya ia sangat hafal dengan harga-harga ponsel yang sering digunakan orang kaya, termasuk seperti milik suaminya. 

''Berapa?'' tanya Rifki basa-basi. 

''Empat puluh lima juta. Memangnya kenapa. Kamu bisa beli lagi, 'kan?" Memasang wajah pemberani. 

Rifki semakin geram dengan sikap istrinya. Ia pikir wanita itu akan diam saja dan memilih pergi saat dimarahi, justru berani melawannya bahkan tak merasa bersalah karena sudah menghancurkan benda kesayangannya. Sungguh, merasa nasibnya benar-benar sial setelah menikah dengan Nabila.

Terpopuler

Comments

lovely

lovely

good job jangan mau diinjak harga diri lawan aja suami lucnuttt macam s rifki😡

2023-05-18

0

Puja Kesuma

Puja Kesuma

nanti klo rifky beli handphone lg kau pecahi lg ya nabila biar gk bs rifky komunikasi dgn linda

2023-04-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!