Menjalani Takdir

"Ayo buruan masuk, Mas! Kita harus bisa balik lagi seperti semula! Aku gak mau terjebak tubuhmu sementara kau sebentar lagi akan menceraikanku dan menikah dengan Gina ucap Dinda terus menarik tangan dewa memasuki parkiran bar menuju kolam yang mereka lihat kemarin malam.

Dewa menyentak tangan Dinda hingga gadis itu berhenti berjalan lalu memutar tubuhnya melihat ke belakang.

"Ada apa lagi, sih? ayo buruan," ucapnya berkacak pinggang.

"Tunggu dulu, memangnya siapa yang mengatakan kalau kita akan bercerai? Aku tidak akan pernah menceraikanmu apalagi ada anak-anak kita!" seru Dewa dengan mimik wajah tidak

"Terus apa kau pikir aku akan mau menerima madumu? Tinggal satu atap, dan terus ditindas ibumu?" Keberanian Dinda berada di level atas, terlebih saat jiwanya berada di dalam tubuh Dewa. Bukankah seorang pria harus bersikap tegas? Ada untungnya juga dia menjadi Dewa. Eh, tapi?

"Sudah! Nanti kita bahas lagi. Sekarang terpenting kita ke sana dulu," lanjut Dinda mengabaikan protes Dewa.

Tiba di depan kolam, keduanya terpelongo. Kolam itu dalam keadaan kosong.

Pupus sudah harapan mereka. Selama merenung di kamar, keduanya akhirnya menyadari, mungkin kalau mereka menyentuh air kolam itu, maka keduanya kembali ke tubuh masing-masing.

"Habis lah kita, bagaimana ini?" tanya Dinda memucat, tubuhnya membeku, hampir saja dia tidak bisa menopang berat tubuh nya. Menyentuh tangan Dewa menjadi pegangannya.

"Kamu tenang dulu, Din. Jangan panik," ucap Dewa yang sebenarnya kata aneh itu lebih tepat untuknya karena saat ini wajahnya tidak kalah mengerikan dari Dinda.

"Ada apa kalian kemari?" suara serak mengagetkan mereka. Serentak memutar tubuhnya melihat ke belakang.

Pria itu dengan pakaian lusuh, memakai celana monyet dan topi ala seniman tampak menenteng ember kecil di tangan kiri dan sekop kecil di tangan kanan.

"Maaf, kenapa dengan kolamnya?" tanya Dinda setelah bisa menguasai diri. Dia yakin bahwa pria tua itu adalah salah satu tukang yang akan memperbaiki kolam karena di dalamnya sudah terdapat alat-alat tukang.

"Kolamnya rusak tersambar petir tadi malam, memecahkan patung yang biasanya ada di atas sana," tunjuknya pada patung cupid yang tampak panahnya lepas dari genggaman tangannya.

"Hah? Rusak? Jadi kapan ini bisa selesai diperbaiki?" Dinda semakin histeris bagaimana mereka bisa mendapatkan air kolam itu tidak mungkin selamanya bisa menjalani hidup dengan tubuh Dewa.

"Mungkin bulan depan itu kan kalau bisa selesai karena mengerjakannya harus dengan hati jawab Pak tua dengan mengeringkan matanya lalu berlalu meninggalkan mereka."

"Tunggu, apa ada kolam di sekitar sini? Maksudku, kolam yang lain? Kami hanya ingin menyentuh airnya saja. Kami butuh air kolam," sambar Dewa yang sudah menghalangi langkah bapak tua itu. Bagaimanapun mereka harus mendapatkan air kolam yang berada di dekat bar.

"Di bar ini hanya ada satu kolam, dan sekarang sedang rusak. Mungkin sebaiknya kalian bersabar dan menjalani apa yang sudah ditakdirkan harus kalian jalani," ujar Pak tua penuh misteri, kembali melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi ke arah pasangan suami istri itu.

"Bagaimana ini, sebulan katanya? Tidak mungkin selama waktu itu kita harus bertukar peran?" tanya Dinda dengan mata berkaca-kaca. Dia mulai frustrasi. Belum lagi dia harus menyelesaikan kuliahnya, jadi saat tiba nanti berpisah dengan Dewa dia sudah bisa berdiri di kaki sendiri.

"Aku juga bingung. Coba kita tanya pri tua itu, siapa tah...."

Kalimat Dewa menguap di udara. Ketakutan melanda dirinya, wajahnya pucat bak baru saja bertemu hantu. Begitu pun dengan Dinda, yang memucat seolah aliran darah berhenti di tubuhnya.

"Ke-mana pria tua itu, Din?" tanya Dewa terbata, seketika bulu kuduknya merinding.

***

"Kalian dari mana saja? Seharian pergi, tanpa kabar, tanpa permisi, mau kalian apa sih? Ku lagi, Dinda, ngapain kamu mengekor suami kamu? Gak ingat kamu punya anak? Masa gak apa-apa gak!" Raung Maya menyambut kedatangan pasutri itu ketika baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu.

"Ibu, nanti saja bicara, aku lelah," jawab Dewa yang langsung dipelototi oleh Maya. Dia terkejut karena menantunya itu berani menjawab perkataannya.

Maya berusaha untuk bersabar. Tidak mungkin terang-terangan menyiksa Dinda di depan Dewa.

"Wa, tolong lihat anak mu. Apa mereka sudah tidur? Tadi nangisnya kencang banget," ucap Maya meminta Dinda pergi. Gadis itu sempat melongo, menatap ke arah Dewa.

Barulah Dinda sadar bahwa yang diminta pergi adalah dirinya yang kini ada di tubuh Dewa. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Dinda, segera berlalu dari sana.

Lagi-lagi ada untungnya juga dia terjebak ditunggu Dewa setidaknya bisa menjadi tamengnya untuk terhindar dari siksaan mertua gilanya.

"Ke sini kau!" Maya menarik tangan Dewa dalam wujud tubuh Dinda. Menarik tangan dewa ke dapur.

"Berani-beraninya kau menjawab ucapanku! Kau sudah bosan hidup?" tanya Maya menjambak rambut Dewa dengan sekuat tenaga sampai wanita itu merintih kesakitan.

"Lepaskan Bu. Apa yang Ibu lakukan? Kepalaku sakit. Bisa-bisa aku botak kalau begini," ucap Dewa mencoba melerai tangan ibunya dari rambutnya. Kulit kepalanya seolah sobek ikut terangkat.

"Biar kamu tahu, bagaimana hukuman melawan perintah ku! Apa gak cukup Minggu lalu aku menamparmu? Belum sadar juga?"

"Apa? Ibu menampar Dinda?" batin Dewa terkejut. Apa yang selama ini tidak dia ketahui di rumah tangganya?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!