Bertukar Tubuh

Maya melangkah melewati Dinda yang masih membeku di ambang pintu kamarnya. Tidak sekalipun dia berkedip memandang ke arah tubuhnya yang tergolek di atas ranjang.

Sebisa mungkin dia mencoba mengajak otaknya untuk berpikir tentang apa yang terjadi. Dia ada di sini, tapi mengapa dirinya juga ada di sana?

"Bangun kau, Pemalas! Jangan pikir karena ini adalah hari libur, kau bisa bermalas-malasan!" hardik Maya menggoyangkan tubuh Dinda, berulang kali hingga gadis itu membuka mata.

"Ibu...," suara Dinda tercekat, kerongkongannya kering, mengucek mata berusaha menerima cahaya yang masuk.

Dia melihat ke arah Maya dengan mata memicing, lalu ke arah Dinda yang masih di sana. Sepertinya kakinya sudah berakar menembus lantai kamar.

"Lihat'kan Dewa, ini lah alasan Ibu tidak menyukai istrimu ini!" Ucap Maya melihat ke arah tubuh Dewa yang ada di ambang pintu. "Selamanya ibu akan tetap tidak bisa menerima wanita itu!" Ucap Maya melangkah pergi, dan saat melewati sosok Dewa yang dia lihat diambang pintu, Maya berhenti. "Segeralah bercerai, dan menikah dengan Gina!"

Hati Dinda perih mendengar hal itu, dikepalnya tinju, menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Perkataan mertuanya kembali membawanya pada masa itu, awal kakinya melangkah ke rumah yang memberinya kesedihan.

"Saaaah!" Teriakan para tamu undangan sekaligus saksi di acar pernikahan itu menjadi penanda kalau Dewa dan Dinda kini sudah menjadi suami istri. Senyum bahagia dan lega terlihat di wajah Dewa, sementara Dinda hanya bisa terisak haru. Terlebih saat mendengar nasehat ayah dan ibunya.

"Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Ikut apa kata suamimu, karena sekarang dia adalah suamimu. Hargai dan sayangi mertuamu, karena sekarang mereka juga adalah orang tuamu," ucap sang ayah memeluk putrinya sesaat setelah Dewa usai mengucapkan janji suci atas Dinda.

Semua tamu sudah pulang. Pernikahan itu memang tidak dilangsungkan secara besar-besaran, hal itu sesuai permintaan Maya karena melihat kondisi Dinda saat ini.

Reni juga setuju. Mereka hanya memikirkan kesehatan Dinda, tidak ingin terlalu lelah yang nantinya bisa berakibat buruk terhadap gadis itu.

"Kamu belum ganti baju, Din?" Tanya Dewa saat mendapati istrinya itu sedang duduk di tepi ranjang kamar Dewa yang kini menjadi kamar mereka bersama.

Dinda mengangkat kepalanya melotot pada Dewa, lalu menunduk kembali. Dia masih kesal pada suaminya itu. Demi cinta dia ikut dalam sandiwara Dewa, membohongi orang tuanya.

Dewa mendekat, berjongkok di depan gadis itu dan mengangkat dagu Dinda. "Kamu marah ya, sama aku? Aku minta maaf, Sayang. Aku lakukan itu karena ingin mendapatkan izin dan restu agar kita bisa menikah," ucap Dewa dengan lembut.

Hanya karena mengatakan Dinda sedang hamil, maka kedua orang tua mereka mengizinkan pernikahan itu terjadi.

"Tapi gimana kalau sampai orang tuamu tahu kalau kita bohong?" Tanya Dinda, ada ketakutan dalam suaranya.

Dewa bangkit, duduk di sebelah Dinda, menarik tubuh gadis itu agar bersandar di pundaknya.

"Kita akan menjelaskan hal itu," jawab Dewa seolah tidak yakin. Dia juga sebenarnya bingung bagaimana menjelaskan pada ibunya.

Kekhawatiran Dinda terbukti. Selama berbulan menikah, mereka menyembunyikan rahasia itu, berharap bahwa Dinda akan segera hamil, hingga tidak perlu mengungkap kebenaran.

Namun, setelah enam bulan pernikahan yang begitu bahagia, Maya bertanya mengenai tubuh Dinda yang tidak berubah. Perutnya tetap datar, tidak ada tanda kehamilan.

"Sudah menikah enam bulan, kenapa perutmu belum juga membesar? Apa benar kalian sudah periksa?" Tanya Maya siang itu. Dia sudah memperhatikan menantunya belakangan ini. Bersikap seperti bukan wanita yang sedang hamil. Pulang kuliah biasanya dia masuk kamar, entah mengapa kali ini dia menemani mertuanya merawat tanamannya.

"Itu... Mmmm..." Dinda benar-benar bingung. Dia harus jawab apa. Dewa juga sedang tidak ada di rumah. Pria itu mulai bekerja begitu wisuda semester lalu.

Maya meletakkan gunting tamannya, menoleh ke arah Dinda dan duduk di samping gadis itu, tanpa Maya sadari dia sudah memberikan tekanan pada Dinda.

"Jangan-jangan sebenarnya kamu tidak hamil? Selama ini kalian bohongi kami? Jawab!" Bentak Maya. Suara keras Maya membuat Dinda yang dibawah tekanan dan perasaan bersalah, menangis terisak. Dia turun dari kursinya lalu sudut menyentuh kaki Maya.

"Aku minta maaf, Ibu. Aku bersalah karena sudah berbohong pada Ibu selama ini," ucapnya disela tangisnya. Dia tidak menyangka kalau kebohongan yang mereka simpan selama enam bulan ini akan terbongkar juga hari ini.

Amarah sudah menguasai Maya. Dia menatap penuh amarah dan jijik pada Dinda. Pada awalnya dia memang tidak menyukai Dinda karena menganggap Dinda lah yang mempengaruhi Dewa untuk menikah muda.

Plak!

Tamparan pertama yang Dinda terima dari mertuanya. Dinda tersentak, menatap mertuanya dengan memegangi pipinya yang memerah dan terasa sakit.

"Firasatku yang mengatakan bahwa kau adalah wanita tidak benar, terbukti sudah. Seandainya aku tahu bahwa kau sudah menipu kami, seujung kuku pun aku tidak akan menyetujui kau menjadi menantuku!" Umpat Maya dengan emosi yang menyala.

Tanpa iba, Maya mendorong tubuh Dinda dengan kakinya hingga gadis itu terdorong dan Maya bisa melewatinya.

"Maafkan aku, Ibu. Aku gak bermaksud membohongi kalian," ratap Dinda, tapi nyatanya hal itu tidak berpengaruh pada Maya. Kebenciannya semakin berurat setelah mendengar kenyataan pahit ini.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah memaafkan mu!" Maya bergegas masuk ke dalam rumah setelah meneriakkan kalimat itu.

Tinggal'lah Dinda meratapi nasibnya. Dadanya sesak. Pada awal Dewa mengatakan rencananya perihal kebohongan ini, Dinda sudah menolaknya, tapi Dewa mohon agar mau melakukan demi bisa menikah. Lihatlah, buah dari kebohongan mereka, Dinda yang akhirnya dibenci oleh mertuanya kini.

Dewa ingin kembali mengempaskan tubuhnya ke kasur setelah dipastikan Maya sudah pergi, tapi penggalan ingatan saat melihat ke arah Dinda yang ada di ambang pintu membuatnya batal melakukan niatnya, justru menegakkan tubuhnya dan menatap lekat pada Dinda yang sudah menutup pintu dan berjalan ke arahnya, sama pucat nya dengan dirinya.

"I-ini, A-apa yang terjadi, Din? Kenapa begini?" Tanya Dewa hampir tanpa suara. Meraba dadanya yang kini lebih berisi, membusung ke depan lalu bergegas melihat ke balik selimut, membuka celana pendek yang dia kenal sangat disukai Dinda saat tidur.

"Gak... Ini gak mungkin kan? Dindaaaaaaa!" jeritnya menatap sang istri yang juga seperti mayat hidup. Hanya saja Dinda lebih kehilangan suara saat shock seperti ini.

"Ya, Tuhan.... Apa yang sudah terjadi? Kenapa tubuhku ada padamu, dan aku dalam tubuhmu?" Pekiknya menjambak rambut Dinda seperti yang biasa dia lakukan pada rambutnya.

"Lepaskan tanganmu, dari rambutku!" Tukas Dinda menarik tangan Dewa dari rambut indahnya.

"Kau bisa sesantai ini? Apa kau tahu artinya ini? Gak... Ini gak mungkin terjadi!" Dewa masih dirasuki kebingungan, bagaimana berpikir tetap saja tidak bisa diterima akal sehat.

"Ini seperti cerita dalam film yang aku tonton!" Desis Dinda kembali melirik benda di balik celana yang saat ini melekat pada tubuh Dewa.

"Maksud kamu?"

"Swap Body," tukas Dinda yang kini sudah kembali akal sehatnya dan kemudian keduanya sama-sama berteriak.

Mungkin semesta ingin menciptakan cerita berbeda dari mereka. Pertengkaran hebat terjadi malam sebelumnya. Keduanya sudah sama-sama diambang batas kesabaran masing-masing. Sama-sama penuh ego dan merasa paling benar.

Dinda pergi malam itu juga dari rumah, kembali ke rumah orang tuanya. Dua hari tanpa ada komunikasi, Dewa akhirnya menjemputnya, meminta untuk bicara berdua, demi kebaikan kedua anak kembar mereka.

"Jadi kau tetap akan menikah dengan Gina?" tanya Dinda dengan rasa sakit. Malam itu dia memilih bar tempat mereka bicara.

"Kau tahu betul ini keinginan Ibu, lagi pula mungkin ini yang terbaik bagi kita. Sadarkah kau beberapa tahun belakangan ini, kita selalu bertengkar? Tidak ada rasa nyaman dalam hubungan kita lagi," jawab Dewa yang membuat Dinda mengepal tinju di sisi tubuhnya. Luka dalam hatinya kembali menganga.

"Baiklah, kalau begitu, silakan kau menikah, tapi ceraikan dulu aku!" ucap Dinda dengan segenap rasa kecewa, sakit dan harga dirinya, seraya menghabiskan minuman dalam gelasnya.

Terpopuler

Comments

Ririn Santi

Ririn Santi

dewa mah hrs nya bertanggungjawab dong atas kebohongannya

2023-04-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!