Mencari seorang laki-laki tak dikenal adalah pekerjaan yang sangat sulit, bahkan ketika kau baru membayangkannya. Begitulah anggapan Nora sehingga dia belum bergerak sejak dimarahi Naina satu jam yang lalu.
Meskipun begitu, Nora bukannya sedang duduk santai sambil makan es krim seperti kebiasaannya ketika gabut. Kini dia sedang mondar-mandir di ruangannya sambil mencari cara agar bisa menemukan laki-laki itu.
"Oki masih di sana, siapa tau dia bisa membantuku," gerutu Nora sambil menelepon nomor Oki.
Tidak ada tanda-tanda Oki akan menjawab panggilannya. Dia sudah mencoba hingga lima kali dan semuanya gagal.
"Teman macam apa dia ini," umpat Nora sambil melempar ponselnya ke atas sofa di samping kaca.
Kaki Nora terasa kram, barulah dia memutuskan untuk duduk di kursi kerjanya. Membuka laptop yang berisi puluhan hujatan netizen oleh penilaiannya terhadap restoran Daisy. Beberapa orang membela Nora. Nora yakin orang-orang itu adalah orang jujur yang tidak dibayar oleh pemilik restoran untuk memalsukan penilaian mereka.
Nora menghela napas. Sekacau apa pun keadaan di media sosialnya, ada yang lebih kacau lagi dari semua itu. Kekacauan itu berdampak pada gajinya selama lima bulan yang akan segera ditahan. Nora tidak mau bekerja secara cuma-cuma selama lima bulan ke depan.
Nora bangkit dengan tegap. Dia sudah memutuskan untuk mendatangi Zenaya Company, siapa tau laki-laki berkemeja biru itu masih di sana, sedang dieksekusi oleh para pihak keamanan. Dia harus cepat-cepat kembali sebelum pria itu pergi.
"Eh," pekik Nora saat sudut matanya tak sengaja melirik ke arah arloji di tangan kirinya. "Ini sudah jam empat, waktunya pulang," gerutunya sambil berpikir.
Dia melihat dari kaca pintu, para karyawan mulai berjalan ke arah lift untuk turun. Mereka akan pulang dan bersantai di rumah, kenapa dia masih harus susah-susah bekerja?
Nora mengedikkan bahu tak peduli. Dia ingin merendam tubuhnya di bak mandi panas setelah pulang nanti agar seluruh beban di pundaknya menghilang.
Nora mengemasi seluruh barang-barangnya. Menatap layar ponsel, mengira ada notifikasi dari nomor Oki, tapi ternyata tidak ada. Dia berjalan keluar sambil menenteng tasnya.
Nora ikut berdesakan di lift berkapasitas lima belas orang itu. Posisinya sangat menyedihkan di pojokkan. Karena dalam keadaan lelah dan frustasi, dia memilih diam alih-alih bercerita dengan rekan kerja di sampingnya.
Lift terbuka dua menit kemudian, Nora mengantri keluar. Ternyata lantai satu sudah kosong entah sejak kapan.
"Lihat, mereka sangat bersemangat untuk pulang. Aku masih terlalu rajin karena pulang paling terakhir. Jadi, kenapa aku harus lembur hanya untuk mengambil kamera di tempat yang tidak pasti?"
Nora memuji diri sendiri dalam hati saat dia berjalan ke arah pintu keluar.
"Nora!" sapa Kenan saat Nora melakukan absen finger print tepat di depan pintu. "Kau lihat Oki?"
Nora menatap syok. "Oh tidak, aku lupa bilang kalau dia masih belum kembali dari Zenaya C."
Kenan mengerling. "Kenapa? Memangnya dia ikut demo?"
"Ya ...," sahut Nora dengan nada menggantung. Dia tidak tega mengatakan sejujurnya bahwa Oki sedang berduaan dengan laki-laki lain sehingga lupa pulang. Kenan dan Oki baru beberapa minggu lalu jadian setelah lebih dari tujuh tahun berteman. Nora tidak mau tanggung jawab dengan kerusakan hubungan mereka.
"Kenapa dia ikut demo? Dia tidak punya hubungan apa-apa dengan kasus di sana?"
Nora menampilkan ekspresi tak mengerti. "Sebaiknya kau cari tau sendiri," katanya sambil menepuk bahu Kenan untuk menenangkan pria itu.
Kenan menatap frustrasi.
Nora lebih dulu keluar sehingga dia tidak tahu apa yang Kenan lakukan selanjutnya. Nora lebih mementingkan kegelisahannya yang sudah tak sabar sampai rumah. Dia hanya menginginkan satu hal, ketenangan.
***
Mobil hitam Nora masuk ke sebuah area luas yang merupakan taman sekaligus parkiran di samping rumahnya. Nora sadar keputusannya kembali ke rumah untuk mencari ketenangan tidak sepenuhnya benar. Ternyata ada tamu yang sedang mampir ke rumahnya. Dia melihat dua buah mobil terparkir di ujung parkiran. Mungkin sekitar lima sampai enam orang.
Nora menatap ke arah pintu utama yang terbuka lebar. Dia tidak akan masuk lewat sana, apa pun yang terjadi. Karena itulah dia memilih untuk masuk lewat pintu belakang, pintu yang langsung berhubungan dengan dapur.
Para pelayan sedang bekerja ekstra membuat banyak makanan ketika Nora masuk.
"Ada apa ini?" tanya Nora ke arah para pelayan itu.
"Ada tamu, Non," sahut salah satu pelayan. "Calon suaminya Non Andin."
Nora mengangguk takjub. Andin adalah kakak perempuan yang usianya empat tahun lebih tua darinya. Dia bahkan tidak tahu kalau Andin yang polos dan naif itu punya pacar dan mereka akan segera menikah.
Nora harus masuk melewati ruang tamu mencapai tangga menuju kamarnya. Dengan sangat hati-hati, dia melalui ruang tamu tanpa menoleh sedikitpun ke arah kesepuluh orang di sofa sana. Dia tidak mau ikut berinteraksi, apalagi acara ini sama sekali tidak ada kaitan dengannya.
"Dia Nora, adiknya Andin," kata Eza, sang ayah, sambil menunjuk Nora yang masih pura-pura tak mendengar.
Nora semakin mempercepat langkahnya agar dia segera keluar dari jarak pandang mereka. Setelah mencapai tangga kelima belas, barulah dia menghela napas lega. Suara di bawah sana tersisa sayup-sayup jika di dengar dari sini.
Karena agak gugup, Nora hanya mengingat satu hal dari ucapan tamu-tamu itu. Mereka memuji Nora mirip Andin, padahal dia sangat berbeda dengan Andin. Andin naif dan polos, sedangkan Nora keras kepala dan pemarah. Sangat tidak mirip.
Nora melempar tasnya ke atas ranjang. Melepas pakaian luarnya dan berlarian ke kamar mandi untuk menyiapkan ritual mandinya.
Begitu tubuhnya masuk ke dalam bak panas berisi busa dan beraroma menyejukan, barulah dia bisa merasakan ketenangan hidup di dunia ini. Suasana ini adalah satu-satunya hal yang bisa membuat Nora lupa segala masalahnya. Namun, kenapa kali berbeda? Kenapa saat dia menutup mata untuk menikmati kehangatan, justru yang muncul dalam kegelapan adalah wajah si laki-laki berkemeja biru itu?
Nora menggeram marah. Berusaha rileks lagi. Lalu dia gagal lagi.
"Siapa sebenarnya pria itu? Apa kau pernah melihatnya sebelumnya?" pikir Nora yang akhirnya kehilangan kesabaran.
Nora sama sekali tidak menikmati berendam air hangat sore ini. Bukannya tenang, justru dia semakin frustrasi. Karena itulah dia mengakhiri kegiatan itu dua kali lebih awal daripada biasanya.
Nora lekas memakai pakaian gantinya dan kembali ke kamar tidur. Rupanya, ada sang ayah sedang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar dan menusuk. Nora pun mengalihkan pandangan karena gugup.
"Kau tau apa yang harus dilakukan ketika ada tamu?" tanya Eza dengan nada dalam dan tegas. "Setidaknya, tersenyum. Jika kau tidak mau menyapa."
Nora mengakui kesalahannya dalam hati. Ini adalah pelajaran kesekian kalinya yang ayahnya berikan dalam satu hari terakhir.
"Bersihkan ruang tamu sebelum kau tidur. Para pelayan sibuk membuat makanan!" perintah Eza sambil berlalu dari ambang pintu.
Nora tau itu adalah sebuah hukuman atas kesalahannya. Mau tak mau dia harus melakukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
titiek
pantes gak ad cowok yg deket. lah nora mukanya masem 🤭🤭
2023-04-23
0