Bab 2
"Mas mau makan apa?" tawar Tiara pada sang suami sebelum mereka membeli makan malam di luar.
Karena Tiara sudah kelelahan, wanita itu pun lagi-lagi memilih untuk membeli makanan di luar. Tiara sudah tidak mempunyai tenaga untuk mengurus rumah. Tiara ingin segera menyantap makan malam dan menikmati istirahat sebelum dirinya kembali dihadapkan dengan pekerjaan menumpuk esok hari.
"Kita beli makan malam di luar?" tanya Dimas pada sang istri.
Tiara merasa aneh dengan pertanyaan Dimas. Biasanya juga begitu. "Kenapa, Mas? Mas nggak pengen makan di luar?" tanya Tiara balik.
Dimas menghela napas sejenak. Setelah berbicara dengan sang ibu, kini giliran pria itu yang harus meminta pengertian dari istrinya. Tidak hanya Bu Ismiyati saja yang dituntut oleh Dimas untuk memahami Tiara, tapi Dimas juga berharap Tiara bisa memahami keinginan ibunya.
"Kalau sekali-sekali masak juga nggak ada masalah, kan? Mas bosen sama makanan warung," sahut Dimas.
Tiara mulai mengerti arah pembicaraan sang suami. Dimas juga tidak ingin melihat Tiara dan ibunya berdebat setiap hari hanya karena pekerjaan rumah. Lagi pula saran dari ibunya juga tidak terlalu buruk. Bu Ismiyati hanya ingin Tiara lebih rajin dalam mengurus rumah. Menurut Dimas itu bukan hal yang sulit untuk dilakukan oleh Tiara.
"Kenapa? Mas pengen aku masak? Mas pengen aku bangun pagi? Mas pengen aku cuci baju dan beres-beres rumah?" sindir Tiara.
Dimas mengusap kepala sang istri dengan lembut. Pria itu juga tidak ingin memaksa. Hanya saja Dimas berharap Tiara mau belajar sedikit demi sedikit.
"Nggak ada yang salah, kan? Mas nggak akan maksa. Tapi kamu bisa coba, kan? Kamu bisa bangun lebih pagi, kan? Masak, cuci baju, bersih-bersih bukan pekerjaan yang terlalu sulit, kan?" tukas Dimas. "Tolong kamu juga mengerti permintaan Ibu. Ibu nggak minta yang aneh-aneh juga, kan? Lagian nggak ada ruginya juga kamu bangun pagi. Nggak ada ruginya juga kamu masak sama cuci baju sendiri."
Meskipun Dimas membela Tiara di depan ibunya, tapi Dimas juga berharap istrinya bisa menurut pada kemauan Bu Ismiyati. Selama permintaan Bu Ismiyati mempunyai tujuan baik, Dimas merasa harus membujuk istrinya untuk patuh.
"Gimana, Tiara? Kamu bisa masak sekali-sekali, kan? Atau bangun lebih pagi lagi, kan?" pinta Dimas.
Tiara hanya diam. Wanita itu hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Setelah seharian bekerja, Tiara tidak akan sanggup jika Dimas dan Bu Ismiyati masih menuntut dirinya untuk memasak dan mengurus rumah.
"Kamu nggak perlu memaksakan diri. Tolong bangun lebih pagi dan masak sarapan buat aku. Buat sekarang cukup itu aja dulu. Bikin sarapan yang simple aja. Nasi goreng atau roti juga udah cukup," sambung Dimas.
Meskipun Tiara ingin sekali menolak, tapi wanita itu akan mencoba mempertimbangkan. Tidak ada salahnya juga Tiara mencobanya sekali dua kali.
"Besok aku akan coba bangun lebih pagi," sahut Tiara kemudian.
Dimas menyambutnya dengan senyum sumringah. "Terima kasih ya Tiara! Kamu bisa mulai pelan-pelan."
Keesokan harinya, Tiara benar-benar bangun lebih pagi dari biasanya. Meskipun tubuhnya masih lelah, tapi Tiara memaksa untuk membuka mata dan bergegas membersihkan rumah sekenanya.
"Kamu udah bangun?" tegur Bu Ismiyati pada Tiara yang tengah memegang sapu.
"Iya, Bu!"
"Kalau mau nyapu, bangun lebih pagi lagi! Rumah udah Ibu sapu tadi," timpal Bu Ismiyati.
Tiara pun menghentikan gagang sapu yang tengah ia ayunkan. Padahal menurut Tiara ia sudah bangun cukup pagi. Tapi ternyata bagi Bu Ismiyati, bangunnya Tiara masih kurang pagi. Meski begitu, setidaknya Tiara sudah mencoba menuruti kemauan dari Bu Ismiyati.
"Kamu mau ngapain?" tanya Bu Ismiyati pada Tiara yang mulai menyambangi dapur.
"Mau masak sarapan, Bu!" sahut Tiara.
"Mau masak sarapan apa? Kamu aja nggak belanja sayur! Kamu nggak pernah belanja sayur, kan?" tukas Bu Ismiyati kembali melayangkan sindiran pada Tiara.
Padahal Tiara sudah berusaha untuk berbenah. Tapi di mata Bu Ismiyati, apa pun yang ia lakukan tetap saja salah. Wanita paruh baya itu terus saja mencari celah dan masalah.
Tiara hanya bisa diam dan membiarkan Bu Ismiyati menekan dirinya. Lama-kelamaan Tiara semakin tidak tahan. Ia harus menahan rasa lelah, dan masih harus mendengarkan omelan ibu mertuanya yang tidak juga merasa puas dengan apa pun yang ia lakukan.
*****
"Udah, Mas! Jatahnya udah cukup!" sahut Tiara mencoba menghentikan suaminya yang masih berusaha menerkamnya di atas ranjang.
"Aku udah capek! Istirahat dulu!" sambung Tiara sembari mendorong suaminya yang kini masih terbaring di sampingnya.
Nampaknya pasangan suami istri itu baru menyelesaikan ritual rutin mereka. Usai mencapai kepuasan bersama, Tiara dan Dimas pun menikmati waktu santai sejenak sembari berbincang di atas ranjang.
"Aku boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Tiara memecah keheningan.
"Apa? Tanya aja."
"Kapan Ibu balik ke kampung?" tanya Tiara kemudian.
"Kenapa? Ibu bikin kamu gak betah di rumah?" tanya Dimas balik. Tanpa bertanya pun, harusnya Dimas sudah tahu jawabannya. Terlebih lagi Dimas juga melihat sendiri bagaimana Bu Ismiyati menekan Tiara.
"Aku bukannya nggak suka sama Ibu, Mas. Aku senang kok Ibu di sini. Cuma beberapa hari ini aku mulai merasa nggak nyaman," sahut Tiara.
Dimas tidak memiliki pilihan lain selain meminta istrinya itu untuk tetap bersabar. "Tiara, Ibu sama kamu mempunyai pola pikir yang berbeda. Cuma itu masalahnya. Buat Ibu, istri itu tugasnya mengurus rumah. Mengurus suami. Memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah, buat Ibu itu tugas wajib seorang istri."
"Buat aku, selama ada makanan di meja makan dan semua baju tertata rapi, harusnya itu udah cukup kan, Mas? Mau aku beli di warung, atau aku laundry baju, yang penting kita ada makanan dan baju kita bersih, kan? Nggak ada masalah, kan? Tujuannya tetap sama. Tapi kenapa Ibu terus maksa aku buat ngerjain semuanya sendiri?" timpal Tiara.
"Mas paham. Mas ngerti kok. Mas juga selama ini nggak pernah protes, kan?" sahut Dimas.
"Mas cuma nggak ingin keluarga kita jadi nggak akur cuma karena masalah sepele seperti ini. Tolong paham kalau Ibu agak rewel, ya? Di kampung Ibu memang para istri di sana kebanyakan ibu rumah tangga yang rajin mengurus rumah," sambung Dimas.
"Tapi bukan berarti Ibu bisa maksa aku buat ikutin prinsipnya, kan? Aku juga kerja, Mas. Aku bukan ibu rumah tangga. Aku nggak kuat kalau harus kerja dan masih harus ngurus rumah. aku capek, Mas," keluh Tiara.
"Iya, Tiara. Mas paham. Nanti mas coba ngomong lagi sama Ibu, ya?" bujuk Dimas. "Gimana pun juga Ibu itu tetap Ibu Mas dan Mas nggak mungkin usir Ibu dari sini. Mas nggak mungkin maksa Ibu pulang ke Sukoharjo sendiri. Tolong kamu mengerti posisi Mas juga, ya?"
Posisi Dimas mulai terjepit diantara istri dan juga ibunya. Dimas juga ingin menjadi suami yang baik, tapi Dimas juga tidak mau menjadi anak durhaka. Solusi terbaik yang bisa Dimas tawarkan saat ini hanyalah meminta istrinya untuk mengalah dan bersabar.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Raudatul zahra
ini selalu terjadi di antara menantu perempuan dan ibu mertua..
dari sabang sampai Merauke kayaknya permasalahan nya ini terus deh..
yaaahh gimana ya,, sbg seorang ibu yg melahirkan dan menjaga anak laki² nya dari bayi sampai dewasa, mencurahkan segenap cinta & usaha terbaik nya, wajar siih kalau ibu² agak kesel ngelihat anak nya nggak diperlakukan semaksimal dia memperlakukan anaknya.. kita juga pasti nanti gitu,, sama anak kita, kita usahakan yg terbaik, dan kita juga nggak mau kalau anak kita dapat pasangan yg apa² beli, apa² laundry. kasian pasti ngelihat anak kita, capek² kerja, tp istri keluar duit terus.. tapi yaa,, terkadang mertua juga ngomong nya kelewatan. terlalu kasar mungkin..
sama-sama introspeksi diri ajasiih kayaknya baiknya..
2023-08-23
0
blecky
mertuaq trlalu ikut cmpur jga g baek buat rmh tangga Anak...
2023-04-20
0
Puspa Trimulyani
nih mertua harus diremos mulutnya....pedes amat,... harus nya sampaikan dg halus dan hati hati,jgn ngomong asal jeplak saja
2023-04-02
2