"Tuan-Tuan, sepertinya saya harus pergi sekarang menemui Pak Indra," ucap Wika.
"Oh, ayolah Wika ... Kami masih betah berbincang-bincang denganmu di sini. Biarlah atasanmu beristirahat lebih lama lagi," kata Pak Toro yang berusaha melararang Wika pergi.
"Benar, Wika. Di sini saja lebih lama," sahut Pak Tedi.
Wika hanya tersenyum. "Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan. Saya harus menemui Pak Indra dulu," pamitnya.
Kepergian Wika membuat sekelompok lelaki itu terlihat kecewa. Mereka sangat senang berbicara dengan wanita cantik dan cerdas serta mengerti tentang seluk beluk bisnis. Jarang ada wanita seperti Wika di kalangan mereka.
Wika melangkah dengan percaya diri menuju ke kamar yang Indra tempati. Tepat di ujung lorong, ia berhenti melihat seorang lelaki yang tengah menunggunya.
"Bagaimana? Apa Pak Indra sudah masuk ke kamarnya?" tanya Wika.
"Sudah, Bu." lelaki tersebut memberikan secarik kertas bertuliskan enam digit nomor kepada Wika.
Wika tersenyum menerimanya. Ia memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan kepada lelaki itu. Melihat situasi yang sepi, Wika lantas masuk ke kamar Pak Indra dengan menekan nomor kode yang diberikan padanya.
"Aku sudah melakukan yang Anda minta." lelaki itu menghampiri Dili yang tengah bersembunyi di dekat sana.
Dili memang menyuruh lelaki itu menukar kode kamar milik ayahnya dengan kamar sebelahnya.
"Terima kasih, ya," ucapnya. Dili memberikan upah yang pantas kepada lelaki itu.
Sejenak Dili memandangi pintu kamar yang Wika masuki. Ia sangat ingin menghabisi wanita itu secepatnya agar tidak mengganggu ayahnya. Namun, ia sadar bahwa tergesa-gesa itu sama sekali tak ada gunanya.
"Silakan menikmati malammu dengan lelaki asing, Nona Wika. Kalian pasti sama-sama haus belaian malam ini," ucap Dili dengan tatapan puasnya.
Ia lantas berjalan mendekati kamar yang ditempati oleh ayahnya. Ia menekan kode nomor yang telah diingatnya.
Kamar itu terlihat remang-remang. Ia menekan saklar agar penerangan di kamar bisa lebih terang.
"Ah, siapa itu?"
Indra terusik dengan cahaya kamar yang tiba-tiba terang. Ia memijit kepalanya sembari berusaha bangkit dan melihat siapa yang ada di sana.
"Kamu siapa?" tanya Indra lagi. Ia tidak mengenali sosok wanita berpakaian pelayan yang ada di kamarnya.
Dili membuka masker yang menutupi wajahnya.
"Dili?" tanya Indra. Ia sampai mengucek matanya untuk meyakinkan yang dilihatnya.
"Ayah sakit, ya?" tanya Dili seraya berjalan mendekat menghampiri ayahnya.
"Iya. Kepala ayah sedikit pusing. Tapi, kenapa kamu berpakaian seperti ini dan berada di sini?" tanya Indra heran.
"Aku di sini karena mengkhawatirkan Ayah," ucapnya.
Indra tersenyum. Ia merasa bahagia diperhatikan oleh putri semata wayangnya. "Duduk sini!" pintanya.
Dili duduk di samping ayahnya.
"Sebenarnya ayah sangat heran dengan perubahan sikapmu akhir-akhir ini. Tapi, ayah tidak membencinya. Terima kasih telah menyayangi ayah, mengkhawatirkan ayah, meskipun rasanya sedikit aneh dibuntuti anak ayah sendiri. Kesannya kamu sedang mencurigai ayah melakukan sesuatu yang buruk," ujar Indra.
Dili menggeleng. "Ayah kan sudah tua, aku hanya takut saja terjadi apa-apa."
"Hahaha ... Ayah memang sudah tua, tapi tidak serenta itu kalau hanya untuk beraktivitas saja ayah masih kuat!"
"Ini buktinya, Ayah sakit, kan?" kata Dili menyalahkan.
"Ah, kalau ini mungkin karena ayah kurang tidur saja. Akhir-akhir ini memang banyak lemburan."
Dili memeluk ayahnya. Ia bersyukur wanita itu tidak berhasil menyentuh ayahnya malam ini. "Ayah, kita pulang sekarang, ya!" ajak Dili.
"Baiklah, aku akan menghubungi sekertaris ayah dulu." Indra meraih ponselnya hendak menghubungi Wika.
Dili menahan ayahnya agar tidak menggunakan ponselnya. "Sebaiknya Ayah tidak mengganggunya. Aku lihat tadi Nona Wika masuk ke kamar dengan seorang lelaki tampan. Sepertinya malam ini mereka ingin bersenang-senang."
Indra mengerutkan dahinya. "Benarkah?" ia merasa terkejut anaknya yang polos bisa mengatakan hal semacam itu.
"Kalau Ayah tidak percaya, kita bisa masuk ke kamar sebelah. Tapi, mungkin mereka sedang tel anjang dan ...."
Indra membungkam mulut suci putrinya. "Sudah, sudah. Jangan dilanjutkan!" pintanya.
Dili langsung terdiam.
"Baiklah, kita pulang sekarang!" ajak Indra. Ia tidak jadi memberitahu Wika jika ia lebih dulu pulang.
Wika tersenyum senang.
***
"Selamat siang, Pak!" sapa Wika.
Selera makan Dili hilang saat melihat wanita itu menghampiri ayahnya. Jarang ia bisa makan siang bersama ayahnya dan momen itu dirusak oleh kehadiran seorang wanita berpenampilan se ksi itu.
"Maaf mengganggu waktu makan siang Anda. Saya ingin menginformasikan bahwa ada jadwal rapat yang mengalami perubahan. Pertemuan dengan perusahaan XXX akan dimajukan hari ini selepas istirahat siang. Apa sekiranya Anda setuju dengan perubahan mendadak ini?" tanya Wika sembari memperlihatkan tablet di tangannya.
"Oh, begitu? Apa hari ini tidak ada jadwal yang bentrok dengan peru ahan schedule?"
"Kebetulan tidak ada, Pak. Saya sudah mengeceknya."
"Kalau begitu, tidak masalah."
"Baik, Pak. Akan saya konfirmasi ulang jadwal ini. Selamat melanjutkan makan siang dengan putri Anda yang cantik ini, saya permisi."
Wika berbicara dengan nada yang lembut dan sopan. Sikapnya juga terlihat sangat santun. Dili merasa orang tidak akan percaya jika wanita itu jahat.
"Ayah ...," panggil Dili.
"Hm?"
"Apa tidak ada sekertaris lain yang Ayah miliki? Kenapa harus dia?" tanyanya.
"Memangnya kenapa?" Indra berbicara sembari menikmati makan siangnya.
"Ya, tidak apa-apa ... Kalau bisa kan cari sekertaris yang lelaki saja, Yah ...," ujar Dili.
Indra tersenyum. "Wika itu sangat bagus kerjanya, itu yang menjadi alasan utama dia dipilih saat seleksi di perusahaan."
"Bukan karena dia cantik dan se ksi ya, Yah?" sindir Dili.
Indra tertawa. "Untuk apa? Ayah ini sudah tua apa masih pantas memikirkan wanita lain? Apalagi dia hampir seumuran denganmu. Kalau ayah menganggapnya sudah seperti putriku sendiri."
Dili masih merasa cemas dengan keberadaan wanita itu. Apalagi Wika merupakan sekertaris ayahnya.
"Ayah, aku benar-benar tidak suka kalau Ayah menikah lagi," ucap Dili.
"Memangnya siapa yang mau menikah?" kilah Indra.
"Pokoknya aku hanya menegaskan, aku tidak suka Ayah menikah lagi!" tegas Dili.
Ia tidak bisa melupakan bagaimana manusia-manusia kejam seperti Wika dan Adli menghancurkan hidupnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya ia dan ayahnya mati.
"Ayah juga tidak ada niatan ke sana. Ayah masih menganggap istri Ayah adalah ibumu, Kartika. Dan Ayah hanya menunggu waktu saja untuk kembali bertemu dengannya," ucap Indra.
"Ayah ...." Dili menjadi terharu mendengar ayahnya menyebut tentang ibunya.
"Percayalah, hidup yang ayah jalani sekarang hanya untuk kamu. Kehidupan ayah sudah tidak ada artinya lagi sejak ibumu meninggal. Makanya, sebelum ayah pergi, ayah ingin memastikan kalau kamu bisa hidup dengan bahagia dengan orang yang tepat."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Lie Hia
dasar Wika berkepribadian ganda, seribu muka dan seribu cara utk menjebak Indra, semoga tdk tercapai yaa aksi jahatmu...nnti karma akan membalasmu
2023-04-03
0
fifid dwi ariani
trus sukses
2023-04-02
0
Aida Sefti
mantap Thooor
semangat
2023-04-01
0