Dili yang baru pulang dari kampus dengan rambut dikepang dua dan kacamata tebalnya memperlambat langkah saat melihat ada tamu di ruang tamu. Ayahnya tampak tengah berbincang-bincang dengan seorang wanita cantik yang terhitung masih muda. Pakaian wanita itu sangat modis dan se ksi bak model yang sering tampil di majalah-majalah.
"Dili, kemarilah!" pinta sang ayah sembari melambaikan tangan memberi isyarat.
Dili yang pemalu memberanikan diri untuk mendekat. Ia duduk di samping ayahnya. Ia memang selalu merasa canggung dengan orang baru.
"Oh, apakah ini putri Anda?" tanya wanita itu.
Senyumnya terlihat manis, tutur bicaranya terdengar lembut di telinga. Dili penasaran siapa wanita yang ayahnya ajak pulang saat ini.
"Benar, dia putri tunggalku. Dia sedang menyelesaikan semester akhirnya di kampus XXX jurusan Aktuaria." Indra mengenalkan putrinya pada wanita itu.
"Wah, hebat sekali. Anda mempersiapkan putri Anda dengan baik untuk masuk ke perusahaan," puji wanita itu.
"Sayangnya, dia tidak tertarik untuk masuk ke perusahaan," Indra terlihat muram saat mengatakannya.
"Kenapa begitu? Perusahaan Anda sedang menanjak di posisi yang sangat baik. Dukungan putri Anda pasti akan sangat membantu." wanita itu seperti keheranan.
"Dia lebih suka belajar di perusahaan orang lain."
"Oh, begitu. Mungkin dia ingin menambah pengalamannya," ucap Wanita itu.
"Aku sampai lupa mengenalkan kalian. Dili, dia Wika, sekertaris baru ayah di kantor."
Wika mengulaskan senyum. Tanpa sungkan, ia mengulurkan tangan terlebih dahulu. "Halo, aku Wika. Senang bisa bertemu langsung denganmu," ucapnya.
Dili membalas jabatan tangan itu. "Saya Dili," jawabnya.
"Dili, kami ingin bicara serius denganmu," kata Indra.
Mendengar nada bicara ayahnya yang terdengar berbeda, Dili merasa ada hal penting sampai ayahnya membawa Wika datang ke rumah. Setelah 7 tahun ibunya meninggal, ayahnya tak pernah membahas tentang wanita lain di hadapannya. Hari itu, ia merasa ada yang berbeda.
"Mungkin kamu akan terkejut mendengarnya. Tapi, Ayah harus tetap menyampaikannya."
Perasaan Dili semakin tidak enak.
"Ayah ... Melakukan sebuah kesalahan pada Wika. Dia sedang mengandung anak ayah."
Dili membulatkan mata terkejut dengan pengakuan ayahnya.
"Ayah akan menikahi Wika. Aku harap kamu bisa menerimanya sebagai ibu tirimu," kata Indra.
Dili mer emas-rem as jemarinya untuk menghilangkan kegugupan. "Kalau Ayah memang maunya seperti itu, aku setuju saja," ucapnya. Ia bahkan tidak berani mengucapkan rasa keberatannya.
Wajah Indra dan Wika terlihat lega. Ternyata Dili tak menentang hubungan mereka.
"Kami akan menikah minggu depan, Dili."
*
*
*
"Tidak ...."
Dili terbangun dari tidurnya. Napasnya tampak terengah-engah. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya. Ia seakan merasa baru bermimpi buruk.
"Itu tidak boleh terjadi ... Tidak boleh ...," gumamnya sembari memegangi kepalanya yang terasa pening.
Baru saja Dili memimpikan kejadian di masa lalunya. Ia bermimpi tentang sang ayah yang mengenalkan Wika kepada dirinya. Mimpi itu terasa begitu nyata sampai membuatnya ketakutan.
Dili bangkit dari atas ranjang. Ia langsung melihat ke arah kalender. Masih di tahun yang sama sebelum kematiannya. Itu artinya, masih ada kesempatan untuk mencegah sang ayah bertemu dengan wanita itu.
Dili bergegas keluar dari kamarnya menuju kamar ayahnya. "Ayah ... Ayah ...." ia mencari keberadaan sang ayah di dalam kamar dan kamar mandi. Ayahnya tidak ada.
Di atas meja tergeletak sebuah kertas undangan yang bentuknya terlihat mewah. Dili penasaran dan membacanya. Sebuah undangan pesta bagi para pengusaha.
Firasat buruk memenuhi pikirannya. Ia merasa ayahnya bisa saja bertemu dengan wanita itu di sana. Tanpa banyak berpikir lagi, Dili turun ke bawah untuk menyusul ayahnya.
"Pak, antar aku ke Hotel XXX!" perintahnya kepada Pak Umar, sopir pribadinya.
"Baik, Nona."
Perjalanan dari rumah ke hotel itu memakan waktu sekitar 30 menit. Dili mengenakan topi dan masker wajah agar tidak ada yang mengenali. Ia kebingungan mencari cara untuk bisa masuk ke tempat acara yang pasti memiliki keterbatasan akses tamu.
Tiba-tiba ia terpikir untuk menyamar sebagai pelayan hotel. Ia bergegas menuju ke tempat para pelayan hotel mengganti pakaian mereka. Situasi hotel yang sangat sibuk membuat mereka tidak akan mungkin sempat jika ada penyusup yang ikut.
"Eh, kamu bawa meja ini ke tempat acara!" perintah salah seorang koki.
Sepertinya dewa keberuntungan masih berpihak pada Dili. Ia dengan muda mendapatkan cara masuk ke dalam sana.
Acara yang digelar di hotel tersebut terlihat megah. Banyak pengusaha dan artis-artis yang hadir di sana. Dili tak ada waktu untuk mengagumi kemewahan acara itu. Ia fokus mencari keberadaan ayahnya.
"Boleh aku meminta minumannya?" tanya salah seorang tamu.
"Oh, silakan," ucap Dili. Ia sampai lupa jika dirinya kini tengah melakukan penyamaran.
Ia menawarkan minumannya kepada beberapa tamu yang dilewatinya. Sisa minuman yang dibawanya diletakkan di atas meja dengan rapi.
Setelah mencari beberapa saat, akhirnya ia bisa menemukan ayahnya. Namun, sangat disayangkan snag ayah nampaknya sudah lebih dulu bertemu dengan wanita bernama Wika itu.
"Apa aku sudah terlambat?" gumamnya lirih. Ia seakan ingin menyerah dan merasa kalah.
Ia melihat gelagat tidak baik dari seorang Wika. Wanita itu tampak memasukkan sesuatu ke dalam minuman ayahnya.
Wika tampil se ksi mengenakan pakaian minim yang memperjelas lekukan tubuhnya. Cara bicara dan gestur tubuhnya seakan berusaha menggoda lawan jenis.
Dili melihat ayahnya tak tertarik dengan usaha wanita itu. Justru rekan bisnis ayahnya yang lain yang tampaknya tergoda. Namun, Wika seperti telah menargetkan ayahnya.
Dili tidak akan membiarkan wanita itu berjalan dengan mulus. "Kamu mau berusaha tidur dengan ayahku dan hamil supaya dinikahi, kan? Itu tidak akan terjadi di kehidupan ini!"
Dili berjalan menghampiri tempat Wika dan ayahnya berada. Ia tetap menyamar sebagai pelayan hotel yang mengambil gelas-gelas kosong dan meletakkannya pada troli yang didorongnya.
"Pasti sangat menyenangkan bekerja dengan Nona Wika. Wanita cantik bisa menjadi asupan semangat untuk bekerja."
"Hahaha ... Pak Reynald bisa saja. Tapi, atasan saya bukan orang seperti itu. Pak Indra tidak pernah tertarik dengan wanita manapun. Beliau sangat setia dengan mendiang istrinya."
"Indra memang sepertinya ada kelainan. Mana mungkin tidak tertarik dengan Nona Wika yang secantik ini."
Indra mengabaikan percakapan mereka. Ia datang hanya untuk menghormati undangan koleganya. Ia meneguk minuman di gelasnya hingga habis. Wika tersenyum lebar melihatnya.
"Aku mau istirahat sebentar di kamar. Kepalaku sedikit sakit," ucap Indra.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanya Wika khawatir.
"Jangan mencemaskan aku. Aku hanya butuh sedikit istirahat. Kamu temani saja mereka bicara. Setelah pulih, aku akan kembali," kata Indra.
"Ah, baik, Pak."
Indra berjalan meninggalkan kelompoknya. Ada kamar-kamar di hotel tersebut yang memang dipesankan untuk para tamu yang butuh istirahat. Indra masuk ke dalam kamar 303 dengan menekan kode yang diberikan padanya.
Tanpa sepengetahuan Indra, Dili masih membuntuti sampai ayahnya masuk kamar. "Pasti di acara ini kan, yang membuat wanita itu hamil? Mau berbuat licik pada ayahku rupanya."
Dili melihat ke sekeliling. Saat suasana lengang, ia mencabut nomor kamar yang tertempel di pintu. Ia menukarnya dengan nomor kamar sebelahnya. Melihat nomor kamar yang tertukar, ia merasa lega. Minuman yang ayahnya minum juga sudah sempat ditukar dengan minuman lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Lie Hia
wika2...manusia culas...ada yaa org seperti itu
2023-04-03
1
fifid dwi ariani
trusbceria
2023-04-02
0